Berat rasanya meninggalkan tahun 2008, namun kita tetap harus meninggalkannya.
2008 telah menjadi sejarah bagi kita
Maka, marilah kita ucapkan Selamat Jalan 2008 Selamat Datang 2009
Semoga Terang Cahaya Ilahi Selalu Menyertai Kita di tahun 2009 ini
Berikut saya lampirkan beberapa karikatur sebagai penggambaran sejarah tahun 2008
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Rabu, 31 Desember 2008
Selasa, 23 Desember 2008
Memulihkan Martabat Guru
WACANA, Suara Merdeka, Senin, 22 Desember 2008
BARU-baru ini media massa cetak dan elektronik menyoroti perilaku menyimpang oknum guru Erwin Ronaldo di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Guru sekolah dasar (SD) itu tega melakukan pelecehan seksual terhadap peserta didiknya.
Dua orang peserta didik dipaksa untuk melakukan oral seks di depan teman-temannya yang lain. Karena perbuatan oknum guru ini, sebuah media cetak memasang judul ”Guru Cabuli Siswi di Depan Kelas”, ”Guru Oral Seks di Depan Kelas”, dan sebagainya.
Berita-berita lain yang mendiskreditkan guru dan lebih ”sadis” lainnya sangat banyak. Seperti guru memukuli muridnya hingga pingsan, guru bercinta dengan murid di kantor, pelecehan seksual seorang kepala sekolah, guru menghamili siswinya, dan masih banyak lagi.
Ketika mendengar dan membaca liputan berita tersebut, hati saya langsung berontak. Apakah tidak ada bahasa yang lebih santun untuk menyampaikan sesuatu.
Apalagi peristiwa tersebut menimpa seorang guru, yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengajarkan baca tulis bagi seorang jurnalis.
Lebih dari itu, mengapa media massa lebih senang menyoroti perilaku menyimpang oknum guru daripada meliput pemberitaan mengenai perjuangan seorang guru untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarganya dengan gaji yang tidak memadai.
Seperti Preman
Guru dalam pemberitaan tak ubahnya seperti preman yang melakukan kejahatan. Martabat mereka sama, sebagai komoditas berita yang layak jual. Lebih dari itu, guru dan preman dianggap sama seperti penjahat, yang wajib dihukum sesuai dengan produk perundang-undangan yang berlaku.
Jika demikian adanya, betapa malang nasib ”pahlawan tanpa tanda jasa” ini. Kebaikan mereka dalam mendidik bangsa Indonesia dikalahkan oleh kesalahan kecil yang tidak dilakukan oleh semua guru.
Padahal sebagaimana kita ketahui, bangsa ini didirikan oleh para guru. Sebut saja, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’arie, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Natsir, dan seterusnya. ”Kemarau satu tahun kalah dari hujan sehari”, kira-kira demikian bunyi peribahasanya.
Guru yang harus berjuang di tengah penatnya hidup dan minimnya gaji seakan hilang begitu saja dengan ulah oknum guru. Guru yang harus mengayuh sepeda tuanya agar dapat bertemu dengan peserta didiknya tak pernah dihargai. Namun, berita kecil mengenai perilaku menyimpang oknum guru dibesar-besarkan.
Mungkin media massa saat ini masih menganut falsafat good news no news, bad news is news. Ketika falsafah ini masih mendominasi cara kerja jurnalis kita, dan yang ditulis mengenai perilaku oknum guru, maka martabat guru sebagai seorang pendidik akan hilang.
Guru tidak lebih sebagai komoditas berita yang sama ”harganya” dengan selebritis, anggota DPR, koruptor, dan seterusnya. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah seperti ini balasan seorang murid (peserta didik) kepada gurunya (pendidik).
Tentunya seorang jurnalis yang pernah dididik oleh guru akan menyatakan protes terhadap pemberitaan yang dibesar-besarkan ini. Pemberitaan yang negatif tentang guru sepertinya tidak berimbang dengan perjuangan guru yang maha berat.
Guru-guru yang baik dan dapat memberi inspirasi bagi orang lain luput dari pemberitaan. Seperti bagaimana seorang guru yang juga kepala SD di Jakarta harus menjadi pemulung guna mencukupi kebutuhan sehari-harinya; guru di pedalaman Kalimantan Barat yang rela gajinya dipotong untuk membangun sekolah layak huni; dan guru di Papua yang harus berjalan puluhan kilometer untuk memenuhi dahaga ilmu anak-anak usia produktif.
Ada lagi guru dan kepala SD berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang menjadi tukang becak, sebagaimana penulis temui sekian bulan lalu di Solo. Ketika guru yang berstatus PNS saja harus mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bagaimana dengan guru non-PNS?
Genit
Media massa kita kelihatannya ”genit” dalam menyikapi perilaku menyimpang oknum guru, yang mestinya mampu menjadi teladan (digugu) bagi orang lain. Lebih dari itu, media massa sepertinya ingin ”menghukum” guru, tanpa pernah berfikir bahwa karena didikan gurulah mereka dapat membaca dan menulis (membuat berita).
Maka dari itu, sudah saatnya media (baca: jurnalis) sadar bahwa apa yang mereka lakukan saat ini sangat menyakitkan —kalau tidak mau disebut merongrong (meminjam istilah Soeharto dengan Orde Barunya) wibawa guru.
Media massa sudah saatnya tidak genit dan menyamakan guru dengan profesi lain dalam pemberitaan.
Guru adalah pendidik bangsa. Mereka juga manusia biasa yang tak luput dari khilaf. Namun demikian, tidaklah pantas pelaku media menurunkan berita-berita yang mendiskreditkan guru.
Sekiranya ingin ”mendidik” masyarakat, alangkah baiknya pemberitaan mengenai guru berimbang. Tidak hanya yang ”jelek-jelek” saja yang diliput, tetapi juga mengangkat prestasi guru. Sehingga guru tidak hanya menjadi komoditas pasar dalam pemberitaan yang negatif.
Guru juga perlu dipulihkan martabatnya dengan banyaknya pemberitaan mengenai ketulusan seorang guru yang bekerja tanpa digaji, sebagaimana teman penulis di Lamongan Jawa Timur yang rela digaji dengan ayam kampung oleh orangtua peserta didik setiap enam bulan sekali.
Masih banyak guru yang hidup di bawah garis kemiskinan, gaji guru yang masih di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK), dan seterusnya. Dengan demikian, guru tidak hanya dilukiskan dengan ”tinta merah”, namun guru juga perlu dilukiskan dengan ”tinta emas”. Selamat berjuang guruku. (32)
—Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia” (2006) dan ”Agenda Pendidikan Nasional” (2008).
Wajah Lain Muhammadiyah
Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 20 December 2008
Pada usianya yang semakin senja,99 tahun (8 Dzulhijjah 1330 H–8 Dzulhijjah 1429 H), Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai persoalan yang muncul di tengah warganya.
Persoalan seperti mulai terkikisnya ideologi Muhammadiyah karena telah disusupi paham atau ideologi lain,seperti Ikhwanul Muslimin (PKS) dan HTI,pernah menjadi perbincangan hangat pada awal 2006 hingga awal 2008.
Kini persoalan Muhammadiyah semakin berkembang dengan semakin kuatnya paham fundamentalisme-konservatif di tubuh organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini. Paham fundamentalisme konservatif telah menggusur tokoh-tokoh pemikir beraliran progresif-liberal dalam tubuh Muhammadiyah.
Sebut saja Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdul Munir Mulkhan,dan M Amin Abdullah.Paman SAM, begitu mereka sering disebut, tidak dipakai lagi––kalau tidak mau disebut disingkirkan–– dalam tubuh Muhammadiyah. Mereka dianggap sebagai ikon paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Selain itu,pahampaham mereka yang cenderung ìliberalî diharamkan. Bahkan, para ìpengikutnyaî pun harus menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari Muhammadiyah.Sebut saja Moh Shofan.
Shofan dipecat dari kedudukannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) karena ia mengucapkan selamat Natal melalui sebuah artikel di harian Surya, Jawa Timur, dan Indo Pos, Jakarta, pada bulan Desember 2006.
Shofan dianggap menyebarkan paham pluralisme yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui musyawarah nasional pada 26–29 Juli 2005 yang juga diamini Muhammadiyah. Pluralisme bagi Muhammadiyah merupakan kata ìangkerî yang perlu dijauhi dan diperangi.
Penganjur pluralisme dalam Muhammadiyah menjadi pihak tertuduh yang harus hengkang dari tubuh Muhammadiyah. Muhammadiyah sekarang mungkin sangat berbeda dengan Muhammadiyah di masa awal kelahirannya.
Di masa awal,KH AhmadDahlan,berani menafsirkan surat Al- Ma’un dengan mendirikan sekolahan, panti asuhan,dan rumah sakit dan itu merupakan tafsiran yang melampaui zamannya. Namun,Muhammadiyah kini begitu garang terhadap pemikiran-pemikiran nyleneh. Bahkan, tanpa membuka ruang dialog, Muhammadiyah mampu menjadi hakim di dunia dalam proses keberagamaan seseorang.
Maka,tidak aneh jika M Dawam Rahardjo, mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, harus ìdipecatî dari keanggotaan organisasi yang didirikanolehKH AhmadDahlanini walaupun sampai sekarang suratpemecatannya belumjuga ada.
Namun,dalamkatapengantarnya, Dawam, tetap beriktikad, sekali Muhammadiyah tetapMuhammadiyah. Muhammadiyah tidak lagi menampakkan wajah humanis dan modernis lagi. Hal ini dikarenakan ruang dialog dan tukar pikiran tidak lagi menjadi tradisi.Tradisi yang berkembang adalah saling menyalahkan dan menghukum seseorang yang belum tentu benar.
Melalui buku ini, Moh Shofan, sebagai seorang kader muda Muhammadiyah, sepertinya ingin menegaskan bahwa paham pluralisme harus terus diperjuangkan. Dengan paham ini,seseorang akan mampu melihat realitas secara lebih nyata dan indah.
Pluralisme yang dirancang oleh Shofan dan kawan-kawan dalam buku ini menjadi semacam resistensi terhadap kekuasaan pimpinan Muhammadiyah periode 2005–2010. Pimpinan Pusat MuhammadiyahsaatiniyangmenurutPradana Boy lebih dekat dengan paham fundamentalismekonservatif seakan dikritik secaraapikdankonstruktifoleh kader-kader mudanya.
Melalui buku ini juga,Moh Shofan yang sekarang aktif di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) ingin menegaskan bahwa keragaman berpikir di Muhammadiyah tidak tunggal dan tidak menjadi hegemoni kaum tua. Shofan sepertinya ingin membangun sebuah tradisi berpikir yang berbeda dengan arus utama yang ada selama ini.
Walaupun tidak banyak yang baru––untuk tidak menyebut tidak ada sama sekali–– dari apa yang diulas Moh Shofan dan kawan-kawan dalam memandang pluralisme dalam beragama dan bermasyarakat, buku ini merupakan bentuk ìpemberontakanî terhadap fundamentalismekonservatifdidalamtubuhMuhammadiyah.
Lebih dari itu, buku ini menjadi menarik untuk diperbincangkan karena arus utama pemikiran di tubuh Muhammadiyah tidak mengakomodasi hal-hal seperti ini. Selain beberapa kelebihan di atas,buku ini juga memiliki kelemahan. Di antaranya masih banyaknya salah ketik seperti kata ìpluralismeî yang ditulis ìpruralisme” di bagian belakang buku ini dan penempatan nama penulis yang tidak konsisten seperti bergaris dan tidak bergaris.
Meski demikian, buku ini semakin menguatkan apa yang dikatakan A Mukti Ali dalam kata pengantar buku karya Mitsuo Nakamura berjudul The Cresent Arises Over the Banyan Tree.A Mukti Ali menandaskan bahwa ”Muhammadiyah is multi-faced movement”,Muhammadiyah adalahgerakanyangmemiliki banyak wajah.
Muhammadiyah kini memiliki wajah fundamentalis-konservatif, progresif-liberal,dan sebagainya. Inilah wajah-wajah Muhammadiyah yang senantiasa menghiasi proses sejarah organisasi yang kini dipimpin oleh Din Syamsuddin ini.
Benni Setiawan,
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Jumat, 12 Desember 2008
Turunkan Bendera Parpol di Lokasi Bencana!
Oleh Benni Setiawan
Pikiran Rakyat, Jum'at, 12 desember 2008
Bencana alam sepertinya tidak bosan melanda negeri ini. Setelah serangkaian bencana alam yang menghancurkan semesta alam Aceh (2005), Jember dan Banjarnegara (2006), Yogyakarta dan Jawa Tengah (Mei 2006), Jakarta (Februari 2007), kini banjir dan tanah longsor menerpa semesta alam Jawa Barat. Seperti tanah longsor di Cianjur yang menewaskan belasan jiwa dan banjir yang melanda wilayah Bandung dan sekitarnya.
Banjir dan tanah longsor di Cianjur dan Bandung Jawa Barat ini menambah deret panjang data bencana alam di Indonesia. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banjir dan tanah longsor mendominasi bencana 2006-2007, khususnya di Pulau Jawa. Bencana itu terjadi di lebih dari 2.850 desa pada 61 kabupaten/kota. Jumlah bencana itu meningkat jika dibandingkan dengan periode tahun 2000-2003, yakni 1.288 desa.
Banyaknya bencana alam di Indonesia ini tentunya selalu meninggalkan duka yang mendalam bagi korban. Mereka ada yang kehilangan sanak keluarga, harta benda, dan cita-cita yang diimpikan sejak lama. Akan tetapi, ada yang bertepuk tangan dengan senyum riang gembira ketika musibah tahunan ini melanda beberapa daerah. Mereka adalah partai politik.
Arena bermain
Partai politik sepertinya menemukan gelanggang atau arena bermainnya. Dengan adanya bencana alam, mereka beralasan inilah saat yang tepat mendekatkan diri dengan konstituen. Kehadiran mereka pun dapat berguna bagi masyarakat yang sedang membutuhkan dan mencitrakan diri sebagai partai politik yang dekat dan peduli kepada rakyat.
Partai politik berebut simpati dengan menampung dan menyalurkan bantuan, mendirikan banyak posko, memberikan layanan kesehatan dan pertolongan cepat tanggap selama 24 jam. Di balik "misi mulia" tersebut mereka juga tidak lupa melakukan aksi pemasangan seribu satu bendera di berbagai sudut lokasi bencana alam. Dengan telah tertancapnya bendera-bendera tersebut mereka merasa telah memerhatikan korban bencana alam dan turut serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ironisnya, banyak di antara mereka yang tidak mengeluarkan keringat sedikit pun.
Keadaan ini dapat kita jumpai pada banjir dan tanah longsor yang meluluhlantakkan bumi Cianjur Jabar, beberapa waktu lalu. Di sepanjang jalan, di pojok kampung selalu ada bendera parpol yang berkibar sepanjang hari. Bahkan, pemasangan bendera parpol di berbagai tempat strategis menjadi rebutan kader-kader partai.
Lebih lanjut, partai politik tidak hanya mengibarkan bendera di berbagai lokasi bencana. Sebagai aksi simpatik dan pernyataan bahwa daerah ini "telah dikuasai" parpol tertentu, kader partai ada yang kerjaannya berkeliling lokasi bencana menggunakan mobil yang dipenuhi atribut parpol. Ironis memang, di tengah penderitaan yang tak kunjung usai, ada sebagian masyarakat lain yang merasa diuntungkan atas peristiwa ini.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dikerjakan oleh partai politik tersebut sebagai bukti pemihakan dan perhatiannya kepada wong cilik?
Pemihakan semu
Kehadiran parpol dengan misi pemasangan seribu bendera di lokasi bencana alam hanyalah bentuk pemihakan semu. Mereka tampaknya ingin cuci tangan terhadap dosa-dosa politik yang telah mereka lakukan.
Parpol ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa dirinya adalah lembaga yang patut untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan model pemasangan bendera di lokasi bencana alam. Akan tetapi, mereka melupakan satu hal, bahwa rakyat sekarang tidak mudah dibohongi dengan janji-janji politik yang muluk-muluk.
Rakyat sekarang sudah dapat menilai perilaku anggota dewan, sebagai representasi parpol. Berkat kehadiran media elektronik (televisi) dan media cetak (koran) rakyat mengetahui wakil-wakil rakyat di Senayan.
Betapa tidak, di tengah semakin banyaknya sekolah roboh akibat dimakan usia, gedung DPR RI yang masih megah dan kokoh dibiayai dengan anggaran APBN sebesar Rp 32 miliar. Belum lagi uang tunjangan yang diberikan kepada anggota dewan yang terhormat sebagai ganti uang sewa rumah dinas yang sedang direnovasi dan kunjungan kerja ke luar negeri yang tidak ada manfaatnya. Hal tersebut dilakukan anggota dewan di tengah penderitaan 49,5 persen penduduk miskin di Indonesia (versi Bank Dunia, dengan indikator penghasilan di bawah 2 dolar Amerika Serikat per hari).
Mereka menutup mata atas penderitaan dan rintihan rakyat. Rakyat hanya berarti bagi mereka ketika musim pemilihan umum datang. Setelah itu, rakyat adalah rakyat dengan penderitaan, dan anggota dewan adalah "putra terbaik bangsa" yang patut menikmati berbagai fasilitas dan tunjangan.
Kehadiran parpol di lokasi bencana dengan pemihakan semu pada dasarnya semakin menyayat hati rakyat. Rakyat dibuat bingung oleh rekayasa politik yang "menjijikkan".
Bendera Merah Putih
Sudah selayaknya semua pihak sadar mengenai hal ini. Bendera parpol di lokasi bencana alam saatnya diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih. Kehadiran bendera parpol di lokasi bencana hanya akan semakin mengerdilkan peran dan fungsi partai politik. Lebih dari itu, kehadirannya hanya akan meninggalkan konflik di tengah masyarakat.
Hal ini tentunya berbeda jika yang ada di tengah lokasi bencana alam adalah bendera Merah Putih. Bendera ini sebagai pengikat bahwa kita merasakan penderitaan dan beban berat korban bencana alam. Dengan hadirnya bendera Merah Putih diharapkan mampu memupuk rasa nasionalisme dan rasa memiliki bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini mulai luntur. ***
Penulis, peneliti sosial pada Lentera Institute.
Rabu, 10 Desember 2008
Revitalisasi Plus di Tengah Kejumudan Berpikir
Koran Tempo, Selasa, 09 Desember 2008.
Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Artikel Asep Purnama Bahtiar berjudul "Muhammadiyah dan Revitalisasi Plus" (Koran Tempo, 30 November 2008) sangatlah ideal. Asep mengancang dalam tubuh Muhammadiyah tumbuh apa yang dinamakan manajemen rasional. Dengan manajemen rasional, Asep mengimpikan peneguhan ideologi dan konsolidasi kader dan warga Muhammadiyah akan semakin kukuh. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana revitalisasi plus dalam bentuk manajemen rasional tersebut dapat diterapkan di tengah semakin kuatnya pendulum fundamentalisme-konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah?
Terpilihnya Din Syamsuddin dalam Muktamar ke-45 di Malang pada 2005, menurut Pradana Boy dalam tesisnya In Defence of Pure Islam: the Conservative-Progressive Debate within Muhammadiyah yang ia pertahankan di Australian National University (ANU), menjadi bukti nyata dominasi kelompok fundamentalisme-konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah. Dominannya kelompok ini dengan nyata telah menggusur pemikir-pemikir Islam dalam Muhammadiyah, seperti Ahmad Syafi'i Ma'arif, Abdul Munir Mulkhan, dan M. Amin Abdullah (atau Paman SAM). Tradisi pemikiran yang digagas oleh Paman SAM sekarang hilang entah ke mana. Kelompok-kelompok pendukung mereka seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dikafirkan dan dianggap bukan bagian dari Muhammadiyah.
Bukti nyata semakin kuatnya kelompok fundamentalisme di Muhammadiyah adalah dipecatnya M. Dawam Rahardjo dari keanggotaan Muhammadiyah dan M. Shofwan dari Universitas Muhammadiyah Gresik. Tradisi berpikir di dalam Muhammadiyah menjadi homogen. Tradisi pemikiran yang "nyeleneh" tidak lagi mendapat tempat dalam tubuh Muhammadiyah. Homogenitas tradisi berpikir inilah yang kemudian meninggalkan kejumudan dalam tubuh Muhammadiyah. Muhammadiyah sepertinya kehilangan progresivitas dalam berpikir. Lebih dari itu, Muhammadiyah sekarang lebih tradisionalis daripada saudara tua NU. Hal ini dikarenakan, di tengah dinamisnya gerakan pemikiran NU yang dipelopori oleh Gus Dur dkk, Muhammadiyah sepertinya ingin memposisikan diri dalam status quo pemikiran Islam. Gerakan modernis yang dicita-citakan oleh KH Ahmad Dahlan tidak lagi menjadi spirit gerak Muhammadiyah.
Jika yang terjadi demikian, apakah manajemen rasional yang dicoba ditawarkan oleh Asep dapat diterapkan di Muhammadiyah? Dalam pandangan saya, amat sulit--kalau tidak mau disebut tidak bisa--manajemen rasional diterapkan dalam tubuh Muhammadiyah, jika tidak dibarengi dengan keterbukaan berpikir dengan mengakomodasi "suara-suara lain" dalam tubuh Muhammadiyah. Bagaimana mungkin manajemen rasional diterapkan jika cara pandang terhadap persoalan sosial hanya dijelaskan dengan nash-nash normatif tanpa historisitas--meminjam istilah M. Amin Abdullah. Yang ada hanyalah manajemen rasional yang telah direduksi sedemikian rupa, sehingga menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan.
Manajemen rasional harus didukung oleh semakin banyaknya ragam berpikir dan cara pandang dalam tubuh Muhammadiyah. Dengan demikian, pluralisme dalam tubuh Muhammadiyah menjadi hal yang niscaya. Karena dengan semakin banyak ragam berpikir, akan semakin banyak pula cara menyelesaikan masalah. Warga Muhammadiyah mempunyai banyak pilihan untuk menyelesaikan masalahnya. Ia tidak lagi fanatik terhadap produk pemikiran yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Namun, jika pendulum Muhammadiyah semakin ke kanan dan bahkan mengharamkan pluralisme, sekularisme, dan liberalisme sebagaimana dalam keputusan MUI dalam Musyawarah Nasional pada 26-29 Juli 2005, tamatlah riwayat Muhammadiyah. Dan ancangan manajemen rasional pun hanya tinggal dalam angan-angan. Lebih dari itu, semangat "liberalisme" ala KH Ahmad Dahlan akan hilang.
KH Ahmad Dahlan di masa awal menempatkan diri sebagai seorang tokoh yang berani keluar dari norma-norma yang ada di tengah masyarakat. Kiai Dahlan berani mengubah arah kiblat di Masjid Gede, Yogyakarta. Kiai Dahlan juga berani menafsirkan surat Al-Maun dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Keberanian berpikir yang berbeda dengan tradisi masyarakat kala itu menjadikan (baca: menempatkan) Muhammadiyah sebagai gerakan modernis yang mampu memecahkan kebuntuan cara berpikir masyarakat.
Alangkah naifnya jika pendiri Muhammadiyah saja berani keluar dari tradisi masyarakat kala itu dan menjadi ikon baru dalam tradisi pemikiran Islam, Muhammadiyah sekarang di bawah komando Din Syamsuddin mengajarkan fundamentalisme-konservatif yang mengedepankan emosi daripada rasionalitas. Jika Muhammadiyah sekarang ingin membangun manajemen rasional, Muhammadiyah harus berani keluar dari kubangan fundamentalisme-konservatif yang membelenggu. Muhammadiyah harus mengakomodasi tradisi pemikiran yang agak "nyeleneh" sebagaimana telah digawangi oleh Paman SAM. Artinya, tradisi pemikiran yang berangkat dari pendekatan filosofis, historis, dan sosiologis harus ditempatkan dalam kerangka berpikir rasional dan mengalahkan kerangka berpikir yang didasarkan pada emosi.
Warga (pimpinan) Muhammadiyah tampaknya harus kembali membuka lembaran sejarah (risalah) awal berdirinya Muhammadiyah sebagai pendobrak kebuntuan berpikir masyarakat kala itu. Masyarakat yang irasional diajak menuju cara berpikir yang rasional. Cara berpikir rasional adalah menempatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori secara arif dan bijaksana. Maka dari itu, di tengah semakin kuatnya desakan sistem keberagamaan yang bercorak fundamentalisme-konservatif, Muhammadiyah harus berani keluar dan menyatakan diri sebagai gerakan modernis. Gerakan modernis merupakan gerakan yang tidak sektarian, mampu mengakomodasi ragam pemikiran yang berkembang, dan menjadi pelopor bagi kesejahteraan umat. Tanpa hal ini, revitalisasi plus yang diancang dengan manajemen rasional hanyalah mimpi di siang bolong. *
Senin, 01 Desember 2008
Memanusiakan Guru Honorer
WACANA Suara Merdeka, 01 Desember 2008
Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah. Mereka mempunyai potensi yang luar biasa.
Oleh Benni Setiawan
”Bangsa ini tinggal menunggu hancurnya. Karena bangsa ini ini diatur oleh sistem birokrasi yang rusak dan tidak kapabel”.
KALIMAT di atas meluncur dari seorang teman yang masih kuliah di Program Pascasarjana Administrasi Publik UGM Yogyakarta. Dengan panjang lebar, dia bercerita mengenai kondisi pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Ia juga menyinggung masalah guru honorer yang akhir-akhir ini kembali muncul dalam liputan media massa akibat demonstrasi di sejumlah kota.
Sang teman beranggapan, pengangangkatan guru honorer menjadi PNS (guru berstatus negeri) juga akan makin menambah beban bangsa. Sejenak saya terdiam, sembari membuka beberapa kliping artikel opini. Setidaknya saya menemukan dua tulisan yang menyatakan hal yang senada.
Namun, saya tidak begitu puas dengan sejumlah keterangan yang disampaikan di dalam artikel tersebut dan argumentasi teman di atas. Dalam artikel ini, saya ingin berusaha menjelaskan bahwa guru honorer bukanlah orang yang akan makin menambah beban bangsa.
Beberapa orang berpandangan bahwa pengangkatan guru honorer menjadi PNS akan menutup kemungkinan untuk mendapat guru dengan kualitas terbaik. Logikanya, orang-orang yang mau bekerja dengan gaji murah (ada yang hanya Rp 50.000 per bulan) selama puluhan tahun adalah mereka yang kemampuan dan etos kerjanya rendah. Benarkah anggapan ini?
Semoga ini bukan sentimen dalam memandang rendah guru honorer. Saya berpandangan, semoga ini merupakan kritikan bagi pembuat kebijakan yang sampai saat ini tidak pernah berpihak kepada sistem pendidikan (guru honorer).
Sistem pendidikan inilah yang senantiasa dipinggirkan oleh pemerintah sampai saat ini. Pemerintah berlomba menaikkan anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun tidak pernah membangun sistem pendidikan, sebagaimana kritik yang dilontarkan Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan.
Maka, tidak aneh apabila berapa pun jumlah anggaran pendidikan dalam APBN, dunia pendidikan di Indonesia akan tetap sama seperti sekarang, jika tidak dilakukan perbaikan sistem. Bahkan, anggaran pendidikan akan diperebutkan atau dijadikan ”bancakan” bagi pemegang proyek pendidikan.
Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah, sebagaimana dituduhkan beberapa pengamat pendidikan dan kebijakan publik.
Mereka mempunyai potensi yang luar biasa. Sungguh tidak bijak jika mereka disebut akan makin menyulitkan proses belajar mengajar jika diangkat menjadi PNS.
Kita tentu dapat membandingkan dengan politikus atau calon anggota legislatif yang mendaftar untuk Pemilu 2009. Banyak di antara mereka (sependek yang saya ketahui) tidak mempunyai visi hidup yang jelas. Mereka mendaftar hanya didasari semangat untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapat gaji layak.
Kemampuan atau kualitas mereka sama sekali belum teruji. Bahkan mereka yang kini mendatar kembali menjadi anggota dewan, dengan dalih ingin melanjutkan program kerja yang belum usai, tidak lebih baik dari pendaftar (politisi) pemula.
Hal ini tentunya berbeda dengan guru honorer. Mereka telah teruji dan tahan banting mengemban amanah kemanusiaan untuk mendidik anak bangsa. Seorang teman alumnus perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, rela mengajar di taman kanak-kanak (TK) tanpa mendapat gaji.
Keikhlasan dia mengajar TK dikarenakan tidak ada guru yang mau mendidik anak-anak. Dia lulusan terbaik di angkatannya. Dia hanya ingin mendarmabhaktikan ilmu dan hidupnya untuk pendidikan anak-anak di pedesaan.
Dengan demikian, jangan anggap enteng guru honorer. Siapa yang dapat mengukur tinggi rendahnya etos kerja? Apakah tinggi rendahnya etos kerja hanya diukur dari nrimo digaji rendah? Etos kerja tidak mudah diukur dengan angka-angka statistik, apalagi hanya dilihat dari sekilas saja.
Lebih lanjut, apakah pemerintah hanya akan mencari tenaga beretos kerja tinggi melalui sistem seleksi CPNS yang sarat dengan kecurangan. Apakah sistem seleksi semacam ini yang diinginkan oleh mereka yang memandang guru honorer dengan sebelah mata, mencari orang-orang yang belum jelas latar belakang dan belum teruji kredibilitasnya?
Jika memang demikian, betapa sistem pendidikan Indonesia akan semakin tidak karuan, kalau tidak mau disebut amburadul. Mengangkat orang-orang yang belum berpengalaman dan menafikan orang-orang yang telah rela mendarmabaktikan ilmunya untuk mendidik anak bangsa.
Maka, yang kita butuhkan sekarang adalah bagaimana membangun sistem pendidikan di negeri ini. Sistem pendidikan yang memihak. Sistem pendidikan yang tidak hanya berorientasi uang. Sistem pendidikan yang mementingkan meningkatkan kualitas para guru dan tenaga administrasinya daripada membuat sekolah-sekolah berstandar internasional yang tidak jelas juntrungan-nya.
Sistem ini dapat dimulai dengan segera mengangkat guru honorer yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun. Atau mengangkat mereka yang telah memenuhi standar kualifikasi tanpa harus mengerdilkan fungsi dan peran guru honorer lainnya.
Guru honorer juga manusia biasa yang butuh kelayakan sandang, pangan dan papan. Guru honorer bukanlah seseorang yang beretos kerja rendah. Mereka bukan pegawai biasa. Mereka bagaikan malaikat yang selalu patuh dan taat atas perintah Tuhan.
Sudah saatnya martabat guru honorer diangkat ke taraf insani —meminjam istilah Driyarkara. Mereka tidak hanya diperas tenaganya untuk memenuhi dahaga penguasa dan demi kepentingan politik praktis.
Namun, mereka juga perlu diperhatikan hak-haknya sebagai manusia. Manusia yang bermartabat, sebagaimana tenaga-tenaga kependidikan lain yang akan digaji minimal Rp 2 juta per bulan pada tahun 2009. Semoga! (32)
–– Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia” (2006) dan ”Agenda Pendidikan Nasional” (2008).
Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah. Mereka mempunyai potensi yang luar biasa.