Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Kamis, 29 Oktober 2009
Menggugat Jatah Menteri Perempuan
Perempuan, Suara Merdeka, 21 Oktober 2009
Setelah melewati audisi pada 16-18 Oktober lalu, Presiden SBY hari ini akan mengumumkan para menteri yang akan membantunya di cabinet. Tapi melihat peserta audisi yang diundang ke Cikeas Bogor, ternyata Cuma ada empat calon menteri perempuan yang akan membantu duet SBY-Boediono selama lima tahun ke depan.
Keempat perempuan itu adalah Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (bakal menempati pos yang sama), Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu (pos sama), Linda Agum Gumelar (ketua umum Kowani, calon Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak), dan Nila Djuwita Anfasa Moeloek (guru besar Fakultas Kedokteran UI, calon Menteri Kesehatan).
Pertanyaannya, mengapa jumlah menteri perempuan Kabinet Indonesia Bersatu II hanya empat orang? Tentu ini bukan sebuah kabar gembira. Sebab, sebagaimana diamanat undang-undang, setiap lapisan organisasi pemerintahan dan swasta wajib menyertakan perempuan minimal 30 persen.
Amanat UU ini setidaknya sudah ditunaikan oleh partai politik dan menyusun kepengurusan dan daftar calon anggota legislatif dalam Pemilu 2009. Meski jumlah anggota DPR belum mencapai 30 persen, tetapi semangat untuk memberikan peluang dan gelanggang lebih luas kepada perempuan sudah disemai.
Ironisnya, semangat ini tidak menular dalam penyusunan komposisi kabinet SBY Jilid II. Tidak aneh jika banyak kalangan menyangsingkan kabinet baru tidak akan banyak membawa perubahan yang baik bagi bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, presiden terpilih masih saja belum mampu keluar dari pasungan partai politik dan tim sukses yang “telah berjasa” mengantarkannya menuju RI-I untuk kedua kalinya. Semangat kabinet kompromistis dan balas budi masih begitu kentara.
Kualitas pribadi dan track record (rekam jejak) calon menteri tidak begitu dipedulikan. Demikian pula desakan agar menambah kursi menteri perempuan pun tidak menjadi agenda.
10 Pos Kementerian
Mestinya, di tengah semangat perubahan ini jatah menteri perempuan minimal 30 persen. Jika ada 34 pos kementerian, berarti setidaknya ada minimal 10 menteri perempuan di dalamnya. Sepuluh pos kementerian ini pun akan melengkapi “jatah wajib” menteri perempuan, seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan.
Menyerahkan tugas beberapa pos kementerian kepada perempuan merupakan suatu bentuk penghargaan dan apresiasi terhadap perempuan terpelajar dan cerdik pandai, yang dimiliki negeri ini.
Selain itu, semakin banyak pos kementerian untuk perempuan sesuai dengan iklim demokrasi yang sedang dirintis di negeri ini. Bukankah demokrasi mengisyarakatkan persamaan hak dan kewajiban? Demokrasi ala Indonesia ditandai dengan one man/women on vote.
Realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Wajar bila jatah menteri perempuan lebih dari empat sebagaimana telah ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu I. Toh, faktanya kinerja menteri perempuan periode 2004-2009 tidak terlalu buruk. Mereka mampu bekerja secara baik dalam bidang masing-masing.
Bahkan, kapasitas Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Pelaksana Tugas Menko Perekonomian juga sudah teruji, sehingga diakui dunia dan layak dipertahankan SBY. Sri Mulyani termasuk salah seorang tokoh perempuan dunia yang memengaruhi kebijakan publik versi Majalah News Week.
Menguatkan Peran
Selain empat pos kementerian yang sudah menjalani audisi dengan pos kementerian masing-masing, terdapat beberapa pos yang mestinya dapat dipercayakan kepada perempuan. Antara lain, Menteri Negara Pembedayaan Aparatur Negara/Kepada Bappenas, Menko Perekonomian, yang juga pernah dijabat oleh Sri Mulyani, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian.
Pos-pos kementerian tersebut patut dan layak dijabat oleh kader-kader terbaik perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia tidak lagi hanya menjadi pendamping suami dalam tugas kedinasan.
Mereka kini telah mampu berkarya untuk nusa dan bangsa. Mereka sudah belajar dan menimba pengalaman dari berbagai penjuru dunia.
Memberikan mandat dan amanat lebih banyak kepada perempuan untuk menduduki posisi di eksekutif akan semakin menguatkan peran serta perempuan dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Sebaliknya, menempatkan posisi Menteri Perempuan dalam pos yang jamak dilakukan perempuan hanya akan semakin membonsai peran publik kaum hawa dalam proses demokratisasi (Benni Setiawan, peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar