Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Senin, 19 Oktober 2009
Akrobat Politik Anggota Dewan
Kedaulatan Rakyat, Kamis, 15 Oktober 2009
Sungguh menyenangkan terpilih menjadi anggota dewan. Betapa tidak, anggaran pelantikan 962 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah 2009-2014 sebesar 11 miliar. Jika dibagi kasar untuk semua calon anggota DPR/DPD, tiap calon terpilih menerima Rp 15,89 juta. Kalkulasi lain menunjukkan, dibandingkan dengan dana pelantikan untuk tiap calon anggota DPR, biaya pelantikan seorang anggota DPR/DPD 38.000 kali lebih besar dibandingkan biaya sosialisasi bagi tiap pemilih.
Selain itu, tiap anggota DPR yang akan dilantik mendapat anggaran perjalanan dinas pindah Rp 46,5 juta. Fasilitas penginapan satu kamar hotel untuk satu anggota DPR pun disediakan. Padahal, 356 (63,57 persen) calon anggota DPR berdomisili di wilayah Jabodetabek, sedangkan 204 (36,43 persen) calon terpilih ada di luar Jabodetabek (Kompas, 9-10/9/2009).
Tidak hanya anggota DPRRI saja, anggota DPRD pun demikian. Seperti anggota DPRD DI Yogyakarta.Anggota dewan yang baru dilantik pada Senin (31 Agustus), keesokan harinya (Selasa, 1 September) sudah mendapatkan gaji. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh sekretariat dewan (Setwan), rata-rata tiap anggota dewan mendapatkan gaji sebesar Rp. 15.737.000. Dengan perincian, uang representasi sebesar Rp. 2.250.000, tunjangan jabatan Rp. 3. 262.000, uang paket Rp. 225.000, tunjangan perumahan Rp. 4.000.000, dan tunjangan komunikasi intensif Rp. 6.000.000. Tunjangan tersebut masih dipotong dengan pajak penghasilan (Pph) 10 persen.
Gaji yang diterima oleh pimpinan dewan lebih besar lagi. Untuk ketua DPRD akan menerima Rp. 17.650.000, sedangkan wakil ketua DPRD menerima pendapatan senilai Rp. 16.128.000. Penghasilan tersebut nantinya masih akan bertambah setelah kelengkapan anggota dewan terbentuk. Sebab, setelah ada kelengkapan dewan, masing-masing anggota akan mendapatkan tambahan tunjangan istri dan anak.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah begitu muliakah anggota dewan sehingga mereka harus digaji sebelum bekerja untuk rakyatnya?
Ilmu terhormat
Aristoteles yang sering dijuluki sebagai perintis ilmu politik, dalam Nichomachean Ethics menyebutkan, politik merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lain. Alasan utamanya karena tujuan dan target akhir politik ialah bagaimana menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sehat, sehingga semua warga negara merasa dilindungi dan dibela hak-haknya untuk menjadi pribadi yang sehat sesuai dengan minat dan bakatnya.
Oleh karena sasaran akhir politik adalah menyejahterakan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, maka menurut Aristoteles semua cabang ilmu lain bersifat melayani ilmu dan aktivitas politik.
Berdasarkan logika ini, para filsuf Yunani kuno umumnya memandang pilitik sebagai sebuah ilmu dan seni yang terhormat dan para politisi harus mempunyai kualitas moral dan intelektual tinggi. Bila para politik tidak bermoral dan tidak memiliki kapasitas intelektual, mana mungkin mereka dapat mendidik dan mendesain masyarakat agar hidup dan berkembang menjadi masyarakat yang beradab? (Komaruddin Hidayat: 2006).
Transaksi illegal
Berdasar rumusan Aristoteles di atas ilmu politik memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena, aktor politik adalah manusia terpilih (the chosen people). Mereka adalah pribadi unggul yang mempunyai hati nurani, kecerdasan, dan kedewasaan yang akan membimbing warga negaranya menjadi lebih maju dan mandiri.
Namun, apa yang terjadi sekarang. Politik dan intitusi politik menjadi sesuatu yang “kotor”. Politik tak ubahnya seperti transaksi illegal yang dihalalkan.
Contohnya, ketika seseorang mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Ia harus berjuang meraih simpati rakyat dengan menggeluarkan biaya yang tidak sedikit. Selian itu, guna memopolerkan namanya, seoarang calon anggota legistatif (caleg) memampang gambar dan fotonya bak selebritis dadakan di pinggi-pinggir jalan. Selain merusak pandangan dan tata kota, gambar-gambar caleg tersebut merusak ekosistem tumbuhan.
Tebar pesona dan tebar janji menjadi hal lumrah di tengah semakin ruwetnya mengurai masalah kehidupan. Saling serang antar caleg pun menjadi “bumbu” dalam setiap persta demokrasi lima tahunan. Kasak-kusuk politik uang menjelang hari pemilihan pun dilakukan. Aksi serangan fajar bahkan telah menjadi budaya dalam masyarakat. Siapa berani bayar lebih, maka peluang menduduki kursi empuk adalah balasan yang setimpal.
Ketika mereka terpilih (pasca-pelantikan), mereka segera mengambil gaji dengan dalih sesuai aturan atau protokoler anggota dewan. Padahal mereka belum bekerja sedikit pun. Janji-janji kesejahteraan rakyat pun hanya menjadi angin lalu.
Masyarakat beradab
Jika realitas politik seperti ini, apa yang dapat diharapkan dari aktivitas politik dan aktor politik? Kita tentunya tidak dapat berharap banyak. Misi politik yang mulia sebagaimana dirumuskan Aristoteles di atas hanya menjadi bahan kuliah yang diseminarkan. Bagaimana dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang beradab, jika aktor politiknya tidak memiliki kecakapan intelektual dan moral?
Masyarakat beradab mungkin hanya ada di dalam riwayat Polis dalam sejarah Yunani kuno. Hal ini karena, pemimpin saat itu adalah seorang filsuf yang mempunyai kebajikan dan kebijaksanaan. Mereka tidak lagi membutuhkan uang guna menghidupi diri dan keluarganya. Semua aktivitas politik dilakukan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Hal ini tentunya berbeda dengan anggota dewan dan pemimpin kita sekarang. Alih-alih untuk memikirkan hajat hidup orang banyak, mereka disibukkan dengan aktivitas mengembalikan dana yang telah dikuras ketika kampanye. Aktivitas politik di negeri ini hanya diwarnai dengan uang, duit, dan rupiah. Falsafah yang mereka pedomani adalah bukan “makan apa hari ini, namun siapa yang kita makan hari ini”.
Inilah realitas politik di bumi Nusantara. Kita tidak dapat berharap banyak dari mereka. Maka dari itu, teruslah berdoa dan bekerja dengan giat. Karena hanya kita sendiri yang mampu menyelamatkan biduk rumah tangga dan masa depan bangsa ini. Lupakan janji-janji yang pernah terucap oleh anggota dewan. Karena janji-janji itu adalah buaian yang melenakan kita.
Benni Setiawan, Peneliti, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar