Search

Jumat, 25 April 2014

Satinah dan Diplomasi Kebudayaan

Oleh Benni Setiawan


Esai, Koran Sindo, Minggu, 13 April 2014

Satinah binti Jumadi Ahmad (masih) dalam ancaman. Pembatalan hukuman pancung tidak sertamerta dapat membebaskannya.

Pembatalan qissas itu telah gugur karena keluarga korban menerima pembayaran diyatsebesar7jutariyalatau Rp21 miliar. Kini tenaga kerja wanita (TKW) asal Ungaran, Semarang, Jawa Tengah ini akan menjalani proses hukuman umum. Bebasnya Satinah dari hukuman pancung tentu tak lepas dari gerakan ”Save Satinah” di Tanah Air.

Mereka dengan kerelaan hati mengumpulkan uang sumbangan untuk membebaskan Satinah dan mendesak pemerintah menyelamatkan nyawa TKW di tanah rantau. Perjuangan rakyat membebaskan Satinah seakan menohok jantung pemerintahan. Pemerintah Indonesia seakan gamang— tidak memiliki agenda permanen—dalam membela pahlawan devisa. Hingga saat ini, setidaknya ada265buruhmigran Indonesiayangdivonishukuman mati di negara tempat mereka bekerja. Jumlahyangtaksedikituntuk ukuran kemanusiaan.

Diplomasi Budaya

Namun, pemerintah seakan diam termangu melihat realitas ini. Pemerintah seakan tunduk taklukterhadapsegalaperaturan dimancanegara. Lobikhaspemerintah dengan mengirimkan surat tidak akan pernah efektif. Lobi surat itu menunjukkan kepada masyarakat betapa pemerintah tidak paham sosiologis masyarakat Arab. Dalam sosiologi masyarakat Arab, lobidilakukandengantatap muka.

Sekiranya berkirim surat, maka surat harus di hantar oleh utusan yang dapat dipercaya dan mempunyai kedekatan emosional dengan yang ditujukan surat itu. Bertemu langsung dan membincang masalah yang sedang dihadapi menjadi senjata ampuh meluluhkan hati orang Arab. Saat bertemu itulah, seorang utusan hendaknya dapat menyentuh kepada tuan rumah. Mengusap kepala bagi orang Arab merupakan bentuk penghormatan. Orang Arab merasa terhormat jika seorang tamu mau mengusap kepala. Budaya tersebut telah ada sejak lama.

Bahkan, Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkanseseorangmengusap kepala anak yatim saat bulan Muharam. Sebagaimana hadis, ”Barangsiapa mengusap kepala anak yatim yang semata-mata karena Allah di setiap rambut yang ia usap, Allah berikan kebaikan”. Walaupun hadis di atas dinyatakan doif (lemah), keagungan dan penghormatan orang Arab terhadap seseorang yang berkenan mengusap kepala merupakan sebuah realitas yang tak terelakkan.

Bahkan, dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dinyatakan bahwa ”Sesungguhnya seorang lelaki mengadu pada Nabi Muhammad, SAW, tentang kerasnya hatinya, Nabi bersabda ”Berikan makanan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim”. Hadis di atas secara gamblangmenjelaskanbahwauntuk meluluhkan hati yang keras, mengusap kepala orang lain menjadi hal utama. Mengusap kepala, dengan demikian, mampu mengubah cara pandang seseorang terhadap orang lain.

Dalam kasus diplomasi untuk membebaskan TKI yang dalam ancaman hukuman pancung, pemerintah perlu melakukan hal itu. Datang ke Arab Saudi menemui otoritas pemerintahsetempat dankeluarga guna membincang nasib TKI. Datang dan mengelus kepala mereka menjadi hal wajib yang harus dilakukan jika ingin diplomasinya berhasil. Pemerintah hanya perlu memperhatikan satu hal, orang Arab sangat tidak suka jika dipegang atau tersentuh pantatnya.

Bagi mereka, memegang pantat merupakan bentuk pelecehan. Inilah diplomasi budaya yang dapat ditempuh guna meluluhkan hati orang Arab. Kerja budaya ini perlu menjadi perhatian pemerintah di tengah semakin banyaknya jumlah TKW yang terancam hukuman mati. Menyelamatkan satu nyawa TKW berarti pemerintah telah memberi hak hidup kepada seluruh makhluk di dunia.

Proses penyelamatan nyawa seseorang ini perlu menggunakan pendekatan sosiologis berbasis budaya. Pasalnya, melaluikerjaitu, pemerintah dapat meletakkan posisinya sebagai masyarakat beradab, yaitu masyarakat yang mampu menghormati kebudayaan orang lain.

Momentum Berbenah

Selainkerja-kerja kebudayaan tersebut, pemerintah selayaknya perlu memikirkan formula yang tepat guna mencegah atau setidaknya mengurangijumlahTKW di luar negeri. Semakin banyak TKW (TKI) menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola aset bangsa. Aset bangsa adalah hak warga negara Indonesia dan diperuntuhkan untuk kemakmuran Nusantara. Hal tersebut merupakan bagian dari amanat kebangsaan yang termuat dalam lembaran negara, UUD 1945. Saat aset bangsa mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah, bangsa Indonesia tidak perlu lagi mengais rezeki di negeri orang. Mereka pun tidak perlu lagi bertaruh nyawa untuk menda-patkan penghasilan.

Cukup bekerja sesuai potensi yang dimiliki di tanah air. Pada akhirnya, mencuatnya kasus Satinah selayaknya menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah. Membebani tatanan berbangsa dan ber-negara, agarhajathiduporangbanyakdapat dipenuhi di negeri sendiri. Jangansampaiwargabangsabertaruh nyawa untuk ”memakmurkan” negeri, sedangkanpemerintah acuh terhadap mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar