Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Selasa, 08 Maret 2011
Mengadili keyakinan beragama
Gagasan, Solo Pos, Edisi: Selasa, 08 Maret 2011, Hal.4
Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah ternyata tidak hanya dalam hal fisik namun juga psikis.
Setelah penyerangan Jemaah Ahmadiyah di berbagai daerah yang menimbulkan korban jiwa dan materi, kini muncul surat keputusan (SK) dan peraturan gubernur melarang aktivitas Jemaah Ahmadiyah.
Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Pakde Karwo begitu biasa ia disapa, mengeluarkan SK No 188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktivitas Jemaah Ahmadiyah.
Larangan tersebut mencakup empat hal. Yaitu larangan menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan dan media elektronika; Memasang papan nama organisasi JAI di tempat umum; memasang papan nama pada masjid; musala, lembaga pendidikan dan lain-lain dengan identitas JAI; dan menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya. Pakde Karwo berdalih SK di atas diterbitkan demi menjaga keamanan dan ketertiban di Jawa Timur semata.
SK Gubernur semacam itu kemudian diikuti juga oleh Provinsi Banten dan Jabar. Beberapa daerah pun kini sedang menggodok SK serupa, seperti Riau.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa pemerintah daerah berniat mengadili keyakinan pengikut Ahmadiyah dengan SK?
Pelarangan Ahmadiyah dengan SK (sebagai sumber) adalah melanggar hak asasi manusia (HAM). SK ini juga melanggar sumber hukum tertinggi dalam konstitusi di Indonesia, yaitu UUD 1945. UUD 1945 telah mengatur dengan jelas bahwa setiap warga negara berhak hidup dan menjalankan agama yang diyakininya (Pasal 28 E dan Pasal 29 ayat 1).
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapa pun melarang untuk tidak menyatakan mengadili keyakinan beragama seseorang. Ketika keyakinan diadili, yang terjadi disharmoni bangsa, hak-hak minoritas yang dikebiri, dan terganggunya hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan.
Munculnya aturan pemerintah yang melarang kehadiran Ahmadiyah merupakan bentuk diskriminasi. Menurut Pasal 3 Resolusi PBB tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama dinyatakan bahwa, “diskriminasi antarmanusia berdasarkan agama atau keyakinan merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akan dijatuhi hukuman sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dan dinyatakan secara rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, dan sebagai rintangan bagi hubungan persahabatan dan perdamaian antarbangsa”.
Peran negara
Munculnya SK gubernur ini juga semakin menegaskan bahwa pemerintah gamang dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. Pemerintah sepertinya kehabisan akal untuk mengurai persoalan ini. Pemerintah pun terkesan frustrasi. Hal ini karena ia tidak mampu menjadi keharmonisan bangsa. Ketidakmampuan tersebut tercermin dengan mengeluarkan aturan yang justru kontraproduktif.
Sudah seharusnya pemerintah menjalankan amanat UUD dengan baik. Pemerintah juga berkewajiban menjaga keharmonisan seluruh elemen bangsa.
Menurut Bhikhu Parekh dalam Rethinking Multiculturalism, dalam setiap masyarakat, negara mempunyai peran yang penting dalam membantu perkembangan keadilan dan kebersamaan. Dalam masyarakat multikultur, negara merupakan sumber persatuan, memberikan fokus bagi kehidupan bersama-sama yang dimiliki warga dan diharapkan dapat memberi contoh untuk mengatasi prasangka-prasangka dan pandangan-pandangan komunal yang sempit. Lembaga negara seharusnya (dan harus dilihat) bersifat adil dalam memperlakukan anggota komunitas-komunitas yang berbeda.
Lebih lanjut Parekh menyatakan bahwa sebagai satu-satunya sumber keadilan yang aman dan legal dalam masyarakat, negara perlu meyakinkan warganya untuk memperoleh kesetaraan perlakuan dalam seluruh bidang kehidupan seperti pekerjaan, keadilan dalam tindak kriminal, pendidikan dan pelayanan-pelayanan umum.
Kesetaraan negatif mencakup tiadanya diskriminasi langsung atau yang disengaja dan diskriminasi tidak langsung atau terlembagakan. Diskriminasi langsung terjadi manakala pihak pengambil keputusan diarahkan oleh prasangka-prasangka terhadap kelompok tertentu. Sementara itu, diskriminasi tidak langsung terjadi manakala aturan dan prosedur yang mereka jalani mengandung bias diskriminasi yang tidak tampak dan mengakibatkan kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok tertentu.
Ketika negara tidak mampu melakukan hal yang demikian, konflik horizontal merupakan dampaknya. Lagi-lagi masyarakat sipil adalah korbannya.
Lebih lanjut, keragaman multikultur juga akan hilang dari bumi nusantara. Nusantara akan dipenuhi oleh pemaksaan hak dan kewajiban mayoritas atas minoritas. Pemaksaan “kebenaran” mayoritas atas minoritas mencerminkan betapa nilai-nilai agama yang luhur menjadi pembenar atas tindakan yang tak beradab.
Pada akhirnya, keluarnya SK Gubernur tentang pelarangan Jemaah Ahmadiyah merupakan potret betapa pemerintah hendak mengadili keyakinan beragama seseorang. Lebih dari itu, keluarnya peraturan tersebut merupakan bukti nyata bahwa pemerintah daerah tidak mampu menjaga keamanan dan kenyamanan bagi masyarakatnya. Wallahualam. -
Oleh : Benni Setiawan Peneliti, alumnus Program Pascasarjana Univeritas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogja