oleh Benni Setiawan
Kata menjadi senjata ampuh untuk membunuh. Kata meluncur bak senapan timah panas, menembus ruang batas. Menyerang tanpa ampun dalam relung dan alam bawah sadar manusia. Sehingga seseorang tanpa sadar tergerak setelah membaca dan memahami kata dalam bentuk yang tersirat dan tersurat.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Nusantara, berujar, “sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik.”
Mantra Kehidupan
Kata pun menjadi mantra kehidupan. Kata senantiasa mengguratkan makna. Kata menjadi penanda kepribadian seseorang. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali, berbudi bawa laksana. Setiap kata yang meluncur dari seseorang menjadi sebuah sabda. Tak elok jika ditarik, harus satu antara ucapan dan tindakan. Menarik kata berarti telah melukai orang lain. Kata yang terucap seakan telah terlukis di atas kanvas kehidupan. Ada selalu ada dan terkenang sampai kapan pun.
Kata dengan demikian merupakan janji kehidupan. Jika seseorang tidak mampu memegang hal itu, berarti ia telah berbohong. Setidaknya berbohong kepada diri sendiri dan tentunya orang lain.
Dalam kajian Islam misalnya, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad., s.a.w, kebohongan merupakan cikal bakal kejahatan. Sedangkan kejahatan mengantarkan manusia kepada kebinasaan dan kehancuran (neraka).
Dalam medium pemilhan umum, khususnya jelang pemilihan presiden (pilpres) saat ini, kita seakan dipenuhi kata. Bakal calon presiden (Bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres), Joko Widodo-M. Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Radja, yang kini siap bertarung dalam pilpres 9 Juli nanti, seakan mampu memimpin Republik. Ia pun dengan bangga dan menempuk dada akan mampu memenangkan persaing. Tanpa sadar ia telah mengeluarkan banyak kata. Tak hanya kata, mereka pun tanpa sadar telah melontarkan sejuta satu janji.
Padahal kata itu (janji) tertangkap oleh indera manusia. Indera merekam dan memindai serangkaian kata itu, dan menjadi kekuatan dalam membidik serta membalik keadaan.
Kata (janji) yang terucap merupakan penggalan kalimat yang senantiasa dinanti untuk diwujudkan. Saat kata itu sulit terwujud, maka orang lain akan menganggapnya sebagai sumpah serapah. Sumpah tanpa makna. Sumpah dusta yang terdengar di seantero negeri.
Sebagai sebuah janji kata mengikat manusia ke dalam peradaban agung. Saat semua bersimpuh dalam keangkuhan, kata menjadi pelipur lara.
Oleh karena itu, kata seakan bersinergi dengan kuasa. Kata menjadi medium di mana seseorang mampu menepati janjinya dalam rahim kuasa. Kata yang ditepati akan dikenang hilang akhir peradaban. Sedangkan kata manis tanpa perwujudan hanya akan menjadi sampah kehidupan yang perlu dicatat dalam lembaran hitam.
Kata yang terucap dan sering mencla-mencle (tidak konsisten) hanya akan menjadi sampah di ruang publik. Ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Ruang publik seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warganegara berperan secara demokratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau meminjam istilah Habermas—suatu tempat pengeraman kegelisahan politis warga” (F. Budi Hardiman, 2010)).
Kata seperti itu hanya akan memperkeruh suasana kedamaian dan memantik timbulnya kebencian serta permusuhan. Kata tanpa perwujudan apalagi dilakukan oleh pemegang kuasa hanya akan menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan itu seakan semakin menyempitkan ruang gerak masyarakat untuk berpikir kritis. Masyarakat hanya dijejali janji tanpa realisasi yang memampatkan kebebasan dan kemerdekaan berpikir.
Bung Hatta
Pemimpin saat ini, tampaknya perlu belajar dari Bapak Bangsa (foundhing fathers). Sebut saja, Muhammad Hatta. Bung Hatta, menjadi contoh sejarah baik bagi Nusantara. Ia mengucap kata tidak akan menikah sebelum Republik merdeka. Bung Hatta menepati kata itu.
Bung Hatta pun kini menempati maqam (tempat) orang-orang terhormat. Ia dikenang sebagai Bapak Bangsa yang harum namanya. Kesesuaian kata dan lakunya menginspirasi anak bangsa untuk menjadi seperti dia.
Dengan demikian, kata menjadi sebuah jati diri manusia. Meminjam istilah Jawa, ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (kepribadian seseorang berada dalam ucapan/kata, penampilan mencerminkan kepribadian).
Jika seseorang mampu menjaga lidah, kata, maka ia akan mampu menempati posisi terhormat. Namun, jika lidahnya tak tertata, maka dapat dipastikan ia akan terperosok dalam kegelapan. Kegelapan yang akan memangsa dan mengubur hidup-hidup masa depannya.
Oleh karenanya, kuasa merupakan perwujudan dari kata. Kuasa bukanlah raihan demi harga diri dan kelompok. Kuasa menjadi pertaruhan harga diri yang tercermin dalam setiap kata. Kata bukanlah sebuah permainan lidah untuk menutupi kebusukan diri.
Keberhasilan mewujudkan kata dalam kuasa akan meletakkan posisi seorang pemimpin di atas. Posisi ini tidak akan membuatnya menjadi sombong dan angkuh. Namun, menempatkannya pada manusia yang senantiasa bisa rumangsa, aja rumangsa bisa. Mampu memosisikan diri, mawas diri, dan bertindak dengan akal sehat dan kemampuan.
Saat pemimpin mampu menata kata dan kuasa, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan dipenuhi kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, ketika pemimpin hanya mampu mengumbar kata, tanpa mewujud dalam kebangsaan, maka kehancuran menjadi harga yang layak dibayar.
Kata dan kuasa merupakan dua hal yang berbeda. Namun, ia bersinergi dalam membangun keadaban publik.
Pada akhirnya, kata bukanlah sekadar menggerakkan lidah. Ia akan dicatat dalam proses
kebangsaan. Kata merupakan kuasa yang tak terlihat. Mari mencatat kata. (ID,24-25-05/14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar