Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Senin, 04 Juli 2011
Menyoal Korupsi Dana Pendidikan
Joglosemar, Senin, 27 Juni 2011
Kabupaten Sukoharjo kembali mendapat sorotan publik. Setelah menjadi Kabupaten yang menjadi daerah operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror karena konon banyak teroris yang mukim di Sukoharjo, kali ini perhatian masyarakat berkaitan dengan korupsi dana pendidikan untuk siswa miskin tahun 2009-2010 sebesar 6 miliar rupiah.
Ketua LSM Peduli Penegakan Hukum dan HAM MS Kalono mengatakan, setiap siswa miskin mendapatkan alokasi yang berbeda. Untuk siswa SD jumlahnya Rp 360.000/anak/tahun, siswa SMP mendapatkan Rp 540.000/siswa/tahun, sedangkan untuk siswa SMA sederajat Rp 780.000/siswa/tahun. Namun demikian, uang yang alokasinya dari APBN tersebut tidak pernah menerima sepeserpun sejak tahun 2009-2010 (Joglosemar, Selasa, 14 Juni 2011).
Miris rasanya menyimak berita tersebut. Perilaku ini semakin menjadi bukti betapa rakusnya pemimpin bangsa. Dana pendidikan untuk siswa miskin pun tidak luput dari mangsa untuk dikeruk. Sebuah perilaku yang jauh dari rasa kemanusiaan dan keadaban.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa pemimpin bangsa begitu tega merampok uang untuk anak-anak orang miskin?
Perilaku Muja
Dalam Islam, menghardik anak yatim sebagaimana digambarkan dalam Surat al-Maun merupakan perbuatan mendustakan agama. Jika menghardik saja mendustakan agama, bagaimana jika hak-hak anak yatim dan miskin dirampok oleh orang-orang yang seharusnya melindungi, menyayangi, dan mendidik mereka?
Korupsi dan uang sepertinya memang tidak punya “agama”. Artinya, jika ada kesempatan dan banyak celah untuk merampok uang negara maka dengan cara individu maupun berjamaah pundi-pundi siap dikuras, tanpa memedulikan bagaimana nasib orang-orang yang mempunyai hak atas uang tersebut.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Sindhunata. Korupsi tidak ada bedanya dengan perilaku ”muja”. Artinya, mencari kekayaan dengan cepat tanpa memedulikan dari masa sumber kekayaan tersebut.
Lebih lanjut, perilaku muja juga tidak memedulikan keadaan orang lain dan bahkan keluarga. Pemuja makhluk halus, tidak segan mengorbankan keluarganya sebagai tumbal. Sebagai gantinya ia akan mendapatkan kekayaan yang melimpah dalam waktu singkat tanpa harus kerja keras (Benni Setiawan: 2008). Mereka begitu tamak untuk mendapatkan uang dalam tempo singkat sehingga mendapat “penghargaan” dari masyarakat.
Melumpuhkan Bangsa
Maka dari itu, sebagaimana diungkapkan oleh Franz Magnis-Suseno (2009), korupsi secara etis harus dicela dengan dua alasan: Pertama, setiap rupiah yang diperoleh secara korup adalah uang curian. Setiap koruptor adalah seorang pencuri.
Kedua, korupsi adalah ketidakadilan tingkat tinggi, karena terjadi dengan memanfaatkan kedudukan istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Sebagai akibatnya korupsi membuat orang miskin tidak bisa ke luar dari kemiskinan. Korupsi adalah salah satu kecurangan terbesar dalam kehidupan bangsa. Karena korupsi itu orang kecil tidak dapat hidup secara manusiawi. Karena biaya siluman yang membebani perindustrian kita, para buruh kita tidak dapat dibayar secara wajar, ini bukan saja berarti mencurangi orang kecil, tetapi juga membuat tidak berhasil usaha menciptakan lapangan kerja serta produk yang bermutu.
Itulah sisi terburuk korupsi. Orang maupun lembaga yang korup tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Itu fatal. Garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur. Orang menjadi terbiasa menipu, mencuri, main curang, dan tidak bertanggung jawab.
Dengan demikian, korupsi melumpuhkan ketahanan moral bangsa secara keseluruhan. Korupsi merusak karakter bangsa dan jati diri bangsa. Singkatnya, bangsa yang tidak lagi tahu apa itu kejujuran tidak akan bisa maju. Bangsa yang terdiri atas penjahat yang malas, tidak tahu apa itu kompetensi dan hanya ngiler mengambil jalan pendek to make a quick buck, adalah bangsa yang sakit.
Membongkar Korupsi
Bagaimana menjadikan bangsa Indonesia berdaya saing, jika dana pendidikan untuk anak miskin menjadi sasaran empuk pemimpin amoral. Sudah saatnya pemimpin sadar, bahwa jabatan yang ia sandang bukan untuk menumpuk kekayaan pribadi, namun untuk kesejahteraan rakyat banyak.
Mengorupsi dana pendidikan sama artinya dengan mengubur harapan anak bangsa untuk menikmati haknya sebagai warga negara. Anak bangsa semakin bodoh yang pada gilirannya mereka akan semakin miskin sebagaimana orangtuanya.
Kemiskinan akan melunturkan daya tahan bangsa. Karena mereka akan melakukan apa saja demi mempertahankan hidup atau mendapatkan sesuap nasi.
Ketika sektor pendidikan yang mengajarkan arti kejujuran dan tanggung jawab moral saja menjadi ladang korupsi, maka jangan diharapkan bangsa Indonesia dapat mewujudkan cita-cita mulia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Cita-cita besar foundhing fathers akan hancur. Karena tulang punggung bangsa (pendidikan) sudah digerototi manusia rakus yang konon berpendidikan dan mempunyai jabatan strategis.
Kasus korupsi harus dibongkar. Korupsi merupakan perilaku kotor yang wajib dikecam dan dihukum berat. Apalagi mengorupsi dana pendidikan yang menjadi hak anak-anak miskin. Koruptor perlu dimiskinkan agar mereka jera. Hal ini karena, sebagaimana diriwayatkan dari Sumurah Ibn Jundub, dalam Hadis Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Rasulullah memperingatkan agar koruptor tidak dilindungi, disembunyikan, atau ditutupi perbuatannya. Barangsiapa melakukan demikian, maka ia sama dengan pelaku korupsi itu sendiri.
Pada akhirnya, sebagai Kabupaten yang mempunyai jumlah terbesar di wilayah Solo Raya, sudah saatnya Sukoharjo menjadi garda depan pemberantasan korupsi. Kasus korupsi dana pendidikan menjadi awal kebangkitan sekaligus kebangkrutan Kabupaten yang kini dipimpin oleh Wardoyo Wijaya dan Haryanto ini. Wallahu a’lam.
Benni Setiawan
Alumnus Program
Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta,
tinggal Sukoharjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar