Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Minggu, 21 Juni 2009
Selamat Tinggal Dosen S1
Kampus Suara Merdeka, Sabtu, 20 Juni 2009
Saat berkunjung ke kampus Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang, beberapa waktu lalu, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan semua dosen yang berijasah S1 hanya diberi kesempatan selama enam tahun untuk menempuh pendidikan S2. Alasannya, pada tahun 2015, semua dosen harus sudah berijazah minimal S2.
PENINGKATAN kualifikasi dosen dari S1 menjadi S2, menurut Mendiknas, bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Tanah Air. Saat ini komposisi dosen bergelar S2 dan S3 di perguruan tinggi negeri (PTN) sekitar 70 persen, sedangkan di perguruan tinggi swasta (PTS) masih di bawah 50 persen (Suara Merdeka, 13 Juni 2009).
Ancangan peningkatan mutu pendidikan ini menarik untuk dicermati. Artinya, dosen sebagai salah satu pilar penting perguruan tinggi memang sudah selayaknya mempunyai kualifikasi pendidikan lebih. Namun bukan hanya gelarnya saja yang panjang. Lebih dari itu, harus memiliki kompotensi standar atas mata kuliah yang digelutinya.
Untuk menjawab tantangan itu, setidaknya ada dua pertanyaan pokok. Pertama, mengapa masih ada dosen yang belum menempuh pendidikan S2? Kedua, bagaimana dosen dapat mempunyai kompetensi standar atas mata kuliah yang digelutinya?
Ironis memang! Di tengah beasiswa yang melimpah bagi dosen, masih ada tenaga pengajar yang belum menempuh pendidikan S2. Hampir setiap tahun pemerintah memberi kesempatan kepada dosen untuk menempuh S2 melalui Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS).
Prosedur pengajuannya pun mudah. Seseorang yang mempunyai surat keputusan (SK) dari rektor yang menyatakan dirinya seorang dosen, dikuatkan dengan tanda tangan pimpinan Koordinator Perguruan Tinggi Negeri (Kopertin) atau Koordinator Perguruan Tinggi Negeri Swasta (Kopertis), dapat menempuh S2 dengan mudah dan nyaman.
Disebut mudah karena mereka sudah tidak lagi memikirkan biaya per semester. Nyaman, karena selain gratis, mereka juga mendapat living cost (biaya hidup), tunjangan buku, dan kesehatan.
Sibuk ’’Ngamen’’ Tapi, mengapa masih ada dosen yang malas menempuh S2? Salah satu sebabnya, mereka amat disibukkan dengan jam mengajar di kampus, bahkan ’’ngamen’’ di kampus-kampus lain.
Waktu mengajar selama 16-20 jam/minggu yang harus dipenuhi dosen terasa kurang. Ia harus mencari jam tambahan di kampus lain.
Hal ini dilakukan terutama guna menjaga agar dapur keluarga tetap mengepul.
Dengan pendidikan S2, seseorang akan berbagi ilmu dengan peserta program lain. Tukar pengalaman dan ilmu pengetahuan ini tentu makin memperkaya khasanah intelektual seseorang.
Dengan demikian, diharapkan lulusan S2 mempunyai standar kompetensi dalam menganalisis sebuah masalah dengan baik dan bijak. Tidak menutup kemungkinan, jebolan S2 mampu menemukan teori baru sebagaimana diharapkan dalam pendidikan S3.
Tak Serius Untuk memeroleh kompetensi standar, seorang dosen perlu meluangkan waktu untuk belajar. Menurut cerita beberapa teman, banyak dosen PTN/PTS yang memeroleh BPPS seringkali tidak serius belajar.
Mereka kerap memosisikan diri sebagai senior yang patut dihormati dan antikritik. Dalam pembuatan makalah, misalnya, penerima BPPS biasanya asal comot tanpa memahami substansi dari buku yang dikutipnya. Meski sering diingatkan pengampu mata kuliah, ia tetap melakukan hal yang sama.
Jika virus malas menjangkiti dosen dalam proses pendidikan S2, jangan harap mereka bisa membawa perubahan atau meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Menempuh pendidikan S2 kelak hanya sebagai sarana guna memeroleh nilai kum atau kenaikan pangkat. Proses pendidikan tidak menjadi inti dan semangat, namun hanya formalitas.
Maka, apa yang diancang Mendiknas dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan peningkatan kualifikasi dosen S2 perlu dievaluasi dengan saksama. Artinya, gelar S2 tidak dapat dijadikan garansi guna meningkatkan kualitas pendidikan, ketika dalam proses belajar mengajar tidak ada ruh atau semangat meningkatkan mutu diri dan khasanah intelektual.
Evaluasi selanjutnya dapat dilihat melalui dosen yang telah menempuh pendidikan S2/S3. Apakah mereka mampu mengaktualisasikan diri dan ilmunya dengan melakukan penelitian dan kajian mendalam dalam bidangnya atau tidak. Ini dapat dilihat dari karya tulis dalam jurnal ilmiah, media massa, dan buku.
Kualitas dan kuantitas hasil penelitian dosen Indonesia masih kalah jauh dari Jepang, China, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Kita hanya berada satu kelas dengan Vietnam dan Myanmar.
Karena itu, perlu dipikirkan bagaimana dosen tidak hanya menempuh pendidikan S2/S3 sebagai sebuah kewajiban —kalau tidak mau disebut paksaan dari Mendiknas. Salah satunya adalah mengembalikan falsafah pendidikan sebagai sebuah proses menjadi, bukan hasil jadi. (32)
—Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis buku ’’Manifesto Pendidikan Indonesia’’ (2006) dan ’’Agenda Pendidikan Nasional’’ (2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar