Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Kamis, 18 Oktober 2012
Religiusitas Haji
Oleh Benni Setiawan
"Gagasan" Solo Pos, Jum'at, 12 Oktober 2012 , Halaman : 4
Perjalanan ke Tanah Suci sungguh fenomena yang unik. Masyarakat dari berbagai penjuru dunia berkumpul menjadi satu pada waktu dan tempat yang bersamaan. Mereka pun rela antre selama sekian tahun demi mendapat satu kursi untuk berangkat ke Baitullah.
Perjalanan ritual berdimensi sosio-historis ini pun menjadi kebanggaan bagi sebagian orang. Ziarah spiritual ini menjadi penanda “keberhasilan” seseorang dalam bekerja dan atau mengais rezeki. Kebanggaan lainnya, adalah sebutan Pak Haji atau Bu Haji yang disematkan masyarakat Indonesia setelah seseorang menjalankan rukun Islam kelima ini.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana sebenarnya religiusitas haji itu? Mengapa telah banyak haji di Indonesia, namun bangsa ini tetap saja tidak berubah. Masih berkutat pada berbagai masalah sosial dan ekonomi.
Mohammed Arkoun (1983) menyebut haji sebenarnya adalah suatu keberangkatan, bukan perpindahan geografis dari suatu tempat ke tempat lain dalam suatu waktu tertentu, dan bukan perpisahan sementara dari pengembara modern yang mencari keganjilan. Namun, haji adalah pemutusan batiniah, dengan egonya sendiri, lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan yang telah diterima, berbagai “tatanan” sosial dan historis yang dibangun, dan berbagai pengetahuan yang diabadikan.
Suatu pemutusan yang memungkinkan suatu pencarian dinamis yang tidak pernah lagi memutuskan dari Yang Maha Lain. Maksudnya, suatu pertobatan yang terus-menerus dari kesadaran pada peneguran-peneguran regeneratif dari Yang Wujud, pada berbagai manifestasi yang tak terbatas dari alam semesta yang konkret.
Namun, untuk menghayati haji secara utuh dalam semua tingkatan makna dan amalnya, iman yang naif tidak mungkin memadai lagi dewasa ini. Kehidupan religius, dengan cara yang umum, harus diintegrasikan seperti pada Abad Pertengahan—ke dalam sistem tindakan sejarah masyarakat modern, yang dengan mudah [kehidupan religius itu] dipinggirkan bahkan disisihkan.
Perwujudan Cinta Kasih
Dengan demikian, haji tidak hanya sebuah rutinitas ibadah atau spiritual semata. Ia mempunyai dimensi yang lebih filosofis. Keberangkatan haji merupakan perwujudan cinta kasih terhadap diri sendiri dan sekaligus ucapan syukur kepada Allah sebagai Dzat Pemberi rezeki. Ucapan syukur tersebut pun mewujud dalam tingkah laku nyata. Melalui syukur itulah seseorang melepaskan diri dari belenggu primordial yang menimbulkan sekat-sekat egoisme. Inilah perwujudan diri manusia sebagai hamba dengan Sang Khaliq (manunggaling kawula Gusti, wihdatul wujud).
Pancaran Nur Ilahi inilah yang kemudian menjadi jejak langkah yang senantiasa menyinari kehidupan seseorang yang telah bergelar haji. Lahir sebagai manusia baru yang berbuat baik terhadap sesama hidup di manapun ia tinggal (empan papan empan panggonan).
Seorang yang telah pergi haji pun senantiasa melakukan hal-hal bagi bagi lingkungannya. Ia akan terus menjadi silaturahmi terhadap tetangga dan masyarakat umumnya. Setiap lakunya merupakan perwujudan dari sinergi dari kata. Kesesuaian laku dan kata inilah yang kemudian menghasilkan tatanan masyarakat beradab.
Mukhlis
Alumnus haji pun kemudian menjadi “manusia suci”. Pasalnya, dosa-dosanya telah dihapus oleh Tuhan yang kemudian berkreasi dan melakukan darma kebajikan. Ia pun enggan untuk melakukan dosa, karena dosa hanya akan mengaburkan sifat ketuhanan yang telah menjelma dalam diri manusia. Ketika ia melakukan dosa, maka akan ingat kepada Dzat Maha Pengampun dan segera bertobat dan menghentikan perbuatan maksiat tersebut.
Manusia yang telah bergelar haji pun senantiasa memikirkan “ayat-ayat” Tuhan yang membentang luas di bumi dan langit. Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang ada di muka bumi ini dengan sia-sia [QS. Ali Imran, 3: 191]. Keagungan Tuhan inilah yang kemudian menggerakkan batin dan langkah untuk senantiasa melestarikan dan memelihara bumi dari kerusakan.
Orang Berilmu
Semua hal tersebut di atas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang ikhlas (mukhlis). Mukhlis adalah mereka yang telah melewati tahap-tahap keimanan dengan benar dan baik.
Inilah yang kemudian disebut Imam al-Ghazali sebagai puncak dari semua amal. Al-Ghazali menyatakan “Manusia seluruhnya akan hancur, kecuali orang-orang yang berilmu. Semua orang berilmu akan hancur, kecuali orang-orang yang beramal. Semua orang yang beramal pun akan hancur, kecuali orang-orang yang ikhlas dan jujur” (M Athiyah al-Abrasyi, 1987. Marzuki, 2012).
Maka dari itu, jika sampai saat ini masih banyak orang bergelar haji namun masih melakukan perbuatan-perbuatan dosa seperti korupsi, maka mungkin penaknaan hajinya masih sebatas perjalanan ziarah biasa, tanpa mampu memahami setiap jejak langkah yang ditempuh. Hajinya pun hanya sebagai sebuah kisah sukses individu yang tidak pernah mewujud dalam kehidupan keumatan.
Pada akhirnya, semoga generasi haji tahun ini mampu menapak jejak langkah Ibrahim sebagai Bapak Agama Samawi. Sehingga ketika pulang dari Tanah Suci, banyak orang berdiri di depan memimpin perbaikan moral sehingga terwujud masyarakat berperadaban. Wallahu a’lam.