Sinar Harapan, 14 Januari 2006
Menggugat Sekolah Sehari Penuh
OlehBenni SetiawanSekolah dengan sistem full day (sehari penuh) menjadi tren masyarakat modern yang semakin sibuk. Ia rela mengeluarkan banyak uang untuk membiayai sekolah untuk pendidikan anak-anaknya. Orang tua telah banyak sibuk beraktifitas di luar rumah. Kondisi yang demikian telah dimanfaatkan oleh pengelola sekolah untuk melakukan (baca: menyediakan) pendidikan secara maraton dari pagi hingga sore hari.Sekolah sehari penuh juga menjadi keprihatian bagi kondisi orang tua sekarang ini. Orang tua telah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak-anaknya kepada sistem sekolah. Ia tidak mau tahu lagi bagaimana anaknya. Artinya, tidak ada waktu lagi bagi orang tua untuk bercengkerama dan berdiskusi kecil dengan anaknya. Anak telah lelah dengan sekolah hingga sore, demikian pula orang tua telah lunglai dengan pekerjaan yang menumpuk.Sekolah telah mencabut kewajiban orang tua mendidik anak-anaknya. Kewajiban mendidik anak ada pada orang tua, bukan sekolah. Yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan psikis anak dan yang lain adalah karena didikan orang tua, bukan sekolah. Sekolah hanya fasilitator dan pengembang terhadap potensi yang dimiliki anak. Sekolah sehari penuh juga telah mencabut kedaulatan anak. Artinya, anak usia dini 5-13 adalah masa pencarian dengan bergembira dengan teman-teman sebayanya. Ia akan sangat keberatan dengan sekolah sistem sehari penuh, di mana mereka hanya dihadapkan pada mata pelajaran dan buku-buku. Hanya sedikit waktu untuk bergurau dan bermain bersama kawan-kawannya. Hakikat PendidikanKerugian lainnya adalah habisnya waktu mereka untuk bersama keluarga sebagai tempat bernaung. Keluarga hanya dijadikan tempat meminta uang saku dan uang bulanan sekolah. Keluarga tidak tahu bagaimana anak-anak mereka beraktifitas dengan bebas. Sekolah jenis ini konon memadukan sistem pendidikan nasional dengan pendidikan agama. Budi pekerti juga tidak terlepas dari problem sosial yang sudah mendarahdaging, yaitu mahalnya biaya pendidikan. Bahkan lebih mahal dari pada universitas negeri sekalipun. Orang tua anak diformat sedemikian rupa untuk mau membayar uang bulanan dan biaya pengasuhan anak. Paparan di atas adalah sedikit dari gambaran kelemahan sistem sekolah sehari penuh di samping kelebihannya, seperti, membangun sikap disiplin dalam belajar, kutu buku dan seterusnya. Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa orang tua sekarang sudah banyak disibukkan dengan aktifitas pribadinya dan melupakan anak dan keluarganya. Ia hanya mengejar kebahagiaan dunia yang tidak akan ada habisnya. Mereka bekerja siang dan malam tanpa memikirkan aspek-aspek yang selama ini telah memperburuk kondisi bangsa indonesia. Mengembalikan hakikat pendidikan mungkin adalah solusinya. Artinya, hakikat pendidikan pada dasarnya terletak atau menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tualah yang bertanggung jawab mencetak dan membentuk anak menjadi orang yang beriman, preman, penjahat, koruptor dan seterusnya. Pendidikan orang tua adalah esensi dari pendidikan. Meluangkan WaktuKecenderungan orang tua zaman sekarang yang telah sibuk dengan materi selayaknya menjadi keprihatinan bangsa Indonesia. Indonesia ternyata mempunyai generasi yang dididik bukan dari orang tuanya secara langsung melainkan oleh ”pembantu” yang dibayar dan diperintah kapan pun. Orang tua yang baik adalah yang mampu menyeimbangkan pekerjaan dan mendidik anak. Ketika salah satu timpang maka yang terjadi adalah kerusakan rumah tangga—kalau tidak mau disebut broken home. Orang tua harus meluangkan waktunya untuk mendidik anak. Mendidik anak tidak melulu menanyakan apakah hari ini ada PR atau tidak, atau hanya bertanya dapat nilai apa hari ini. Mendidik juga berupa sikap orang tua yang perhatian terhadap anaknya. Ambil contoh, ia selalu membangunkan anaknya di pagi hari dan mengajaknya untuk beribadah tepat pada waktunya, mengajak menyapu, bersosialisasi dengan keluarga dan tetangga.Semua itu dapat dilakukan dengan banyaknya waktu luang antara orang tua dan anak. Orang tua harus sudah pulang sebelum petang atau siang hari dan menyiapkan makan untuk anak-anaknya ketika pulang sekolah. Demikian juga anak, ia harus segera pulang ke rumah, ketika tidak ada kepentingan penting yang harus dikerjakan.Kondisi ini tentunya paradoks dengan sistem full day school. Anak dipaksa pulang sore hari dan istirahat menjelang petang, bertemu dengan orang tua sudah larut malam. Ia tidak lagi sempat bercengkerama dengan orang tuanya karena ia harus segera tidur dan menyiapkan segala sesuatunya untuk esok hari. Kondisi yang demikian juga membuat anak didik tidak lagi dapat bersosialisasi dengan keluarga atau tetangganya. Waktunya habis untuk sekolah dan belajar. Ia akan menjadi anak yang buta terhadap realitas sosial dan menjadi anak yang individualistik.Oleh karena itu, sudah selayakanya keberadaan sekolah sehari penuh ini ditinjau kembali. Artinya, kewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak utamanya menjadi tanggung jawab orang tua, bukan guru.
Penulis adalah pemerhati pendidikan, tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar