Oleh Benni Setiawan
Opini, Republika, Selasa, 18 November 2014.
"Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan" menjadi tema dalam Milad ke-105 H/102 M Muhammadiyah (18 November 1912-18 November 2014). Tema ini diambil sebagai bentuk keprihatinan Muhammadiyah terhadap kebangsaan akibat kebangsaan semakin memudar dan rapuh. Kebangsaan jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Kondisi ini mendorong keprihatinan Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang lebih tua dari umur republik ini, Muhammadiyah terpanggil menyelesaikan persoalan tersebut.
Dalam Pidato Milad Muhammadiyah tertulis, "Muhammadiyah mengajak seluruh elite bangsa untuk benar-benar berkiprah optimal untuk memajukan kehidupan bangsa guna mewujudkan cita-cita nasional di seluruh bidang kehidupan. Kepada semua pihak, lebih-lebih para pemimpin bangsa, mari tunjukkan sikap konsisten antara kata dan tindakan, menjunjung tinggi moral yang utama, menunaikan amanat rakyat, serta memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri, kelompok, dan golongan. Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, termasuk Muhammadiyah, dan mampu menunjukkan jiwa kenegarawanan yang utama".
Pidato tersebut menegaskan posisi dan peran Muhammadiyah dalam kebangsaan. Muhammadiyah sebagai bagian dari civil society perlu mengingatkan pemerintah. Bahwasanya mereka dipilih untuk menjadi pemimpin, bukan menjadi seorang pejabat. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa merasa gelisih jika tidak mampu bekerja optimal. Mereka merasa malu jika tidak berprestasi. Senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna kemakmuran bangsa dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Karena itu, seorang pemimpin selayaknya menyemai kebajikan setiap saat. Dalam kesejarahan, Muhammadiyah telah mewariskan semangat juang menjadi pelayan dari kepemimpinan AR Fachruddin. Pak AR, begitu ia disapa, menjadi simbol dai ikhlas, bersahaja, dan tawadhu. Ia senantiasa hadir sendiri memenuhi undangan menjadi penceramah dengan motor butut. Motor berwarna merah bermerek Yamaha 70 itu menjadi teman setia Pak AR.
Ia pun senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui bahasa-bahasa sederhana. Ia senantiasa ingin dekat dengan umat. Ia sering mengunjungi desa dan menyapa masyarakat. Kesederhanaan, ketulusan, dan ketelatenan menyapa masyarakat menjadi ciri utama kepemimpinan Pak AR. Melalui sikap yang demikian, Presiden Soeharto pun seakan tunduk pada wejangan Pak AR.
Selayaknya pemimpin bangsa ini dapat belajar dari kepemimpinan Pak AR. Melalui hal tersebut, seorang pemimpin akan terus dikenang rakyatnya. Karena, ia senantiasa bekerja optimal untuk bangsa dan negara, bukan didasarkan pada niatan "busuk" guna memuluskan kepentingan pribadi dan golongan.
Lebih lanjut, kebangsaan hari ini akan kokoh jika pemimpinnya mampu menjadi teladan. Sebaliknya, ketika keteladanan menghilang dan hanya menjadi kata tanpa ucapan, maka kebangsaan akan runtuh.
Sebagai organisasi modern yang usianya lebih tua dari Republik, selayaknya bangsa dan negara ini belajar dari Muhammadiyah. Muhammadiyah telah membuktikan diri tumbuh dan berkembang bersama bangsa lebih dari seabad. Muhammadiyah juga telah meletakkan dasar keunggulan bagi kemakmuran bersama. Salah satunya adalah melalui bidang pendidikan dan ekonomi kreatif.
Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah terbukti mampu mendidik putra-putra terbaik bangsa. Pendidikan Muhammadiyah yang bersumber pada epistemologi Islam berkemajuan hingga kini terus menggelora hingga ke pelosok negeri.
Model pendidikan tersebut selayaknya dikembangkan oleh pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan nasional. Hal ini penting di tengah semakin mengguritanya ideologi Islam berwajah garang terhadap budaya bangsa. Bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya jika wajah Islam nusantara berubah menjadi Islam Arab yang kaku dan rigid.
Dalam hal pendidikan, selayaknya pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mau membuka lembaran keunggulan konsepsi pendidikan Muhammadiyah. Pemerintah tidak perlu berkiblat kepada Barat yang tentu nuansa dan spirit pendidikannya berbeda dengan realitas keindonesiaan.
Muhammadiyah pun hingga saat ini terus menggelorakan ekonomi kreatif. Pembangunan gedung pendidikan, rumah sakit, dan panti asuhan lebih diusahakan oleh warga persyarikatan dibandingkan menengadahkan tangan kepada pemerintah. Ekonomi kreatif inilah yang memandirikan Muhammadiyah.
Kemandirian Muhammadiyah inilah yang menjadikan persyarikatan konsisten melakukan kritik membangun kepada pemerintah. Kritik Muhammadiyah itu bukan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah. Namun, untuk meneguhkan komitmen amar makruf nahi mungkar.
Salah jika ada anggapan bahwa Muhammadiyah melakukan kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK karena tidak mendapat kursi di kabinet atau posisi lain. Bukan watak Muhammadiyah jika mengkritik mempunyai maksud mendapat posisi atau kedudukan.
Muhammadiyah berdiri dan tumbuh dari rahim nusantara. Maka, keprihatinan Muhammadiyah pada dasarnya merupakan kegalauan bangsa. Bangsa ini harus diselamatkan dari proses kepemimpinan yang rapuh. Jika bangsa dan negara ini ambruk, Muhammadiyah pun akan roboh.
Muhammadiyah terus berkomitmen menjadi gerakan tajdid. Gerakan pembaruan dengan spirit terus melakukan inovasi menciptakan keunggulan. Kritik Muhammadiyah kepada pemerintah bukanlah kebencian, tapi merupakan komitmen persyarikatan untuk berkontribusi bagi kebangsaan.
Pada akhirnya, semoga milad kali ini semakin mengukuhkan posisi Muhammadiyah dalam proses kebangsaan. Selamat milad Persyarikatan Muhammadiyah. n
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Rabu, 19 November 2014
Tantangan Abad II Muhammadiyah
Oleh Benni Setiawan
"Wacana", Suara Merdeka, Selasa, 18 November 2014.
“Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan saat ini lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi”
MUHAMMADIYAH telah memasuki abad II. Tantangan dakwah abad ini tentu tak kalah rumit dibanding abad I. Pasalnya, Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis sosial kemasyarakatan di Indonesia tapi harus berhadapan dengan berbagai persoalan serius internasional. Persoalan internasional itu merupakan peluang bagi Muhammadiyah untuk makin berkiprah untuk umat.
Dengan bekal pengalaman seabad berorganisasi, Muhammadiyah diharapkan mampu mewarnai jagat pemikiran dan praksis sosial yang dibawanya sebagai role model. Ia bisa menghadapi masalah dan tantangan yang mengadang, betapa pun kompleksnya. Optimisme itu —meminjam istilah Haedar Nashir (2011)— dengan fondasi ideologi reformis dan moderat yang jadi karakter gerakannya plus pandangan Islam yang berkemajuan dan berbagai potensi SDM, amal usaha, dan jaringan.
Tantangan Muhammadiyah adalah mencoba memberikan sesuatu kepada publik internasional dengan modal sosial yang telah dimiliki. Setidak-tidaknya, dapat berperan dalam tiga hal utama, yakni ranah politik, ekonomi, dan kultural. Ranah politik merupakan kajian terhadap pilihan politik Muhammadiyah sejak awal pendiriannya. Seperti saat Kiai Dahlan ìberkompromiì dengan pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan cap ìlegalî pendirian sebuah ormas.
Kiai Dahlan perlu membangun kekuatan di Boedi Oetomo guna memperkuat dukungan agar Muhammadiyah tidak mendapatkan resistensi dari pemerintah kolonial. Dalam perjalanan selanjutnya, Muhammadiyah turut serta dalam kancah politik tahun 1955. Muhammadiyah menjadi anggota aktif Partai Masyumi dengan semboyan ìBerpolitik dengan Masyumi, Berdakwah dengan Muhammadiyahî. Peran kebangsaan dalam bidang politik pun terus bergulir pada era Orde Baru, tatkala Kiai AR Fachruddin menerima asas tunggal Pancasila. Pak AR, sapaan ketua terlama PPMuhammadiyah itu, dengan lobi kuat menelurkan istilah politik helm, yang menjadi cara untuk mendekatkan diri kepada pemerintah. Melalui ijtihad itu, Muhammadiyah pun selamat dari ìpemberedelanî ala Soeharto.
Ijtihad politik itu kini memasuki jihad konstitusi. PPMuhammadiyah mengajukan serangkaian uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terkait UU yang tak berpihak kepada umat, seperti UU Migas. Ranah ekonomi merupakan kajian terhadap sistem ekonomi Muhammadiyah, ormas pemilik amal usaha terbanyak di dunia. Amal usaha itu merupakan sistem ekonomi yang tak dimiliki ormas lain. Sistem ekonomi yang tak bergantung mutlak kepada pemerintah inilah yang menguatkan jejaring ormas tersebut.
Merunut ke belakang, Kiai Dahlan sebagai founding father mengajarkan bahwa ekonomi umat harus dibangun sebagai implementasi teologi al-Maun dan al- Ashr. Ekonomi umat Muhammadiyah selayaknya kuat untuk menopang sistem ibadat yang membutuhkan uang. Pasalnya, setelah shalat kita diperintah-Nya membayar zakat. Itu artinya, umat Muhammadiyah diperintahkan jadi ”orang kaya” supaya mampu menghidupi diri dan orang lain melalui teologi filantropinya. Menyesuaikan Waktu Menilik sejarah, pada awal pembentukannya Muhammadiyah dikomandani para pedagang, yang kemudian menjadi penopang persyarikatan.
Berbekal spirit dan mentalnya, mereka menjadi lokomotif dakwah dan penyebaran Muhammadiyah ke seluruh penjuru negeri. Namun kini, etos dagang itu sedikit memudar. Pimpinan Muhammadiyah lebih banyak jadi birokrat (PNS), dan ini mengundang kritik. Mitsuo Nakamura misalnya, mengkritik dengan mengatakan bahwa corak awal persyarikatan itu sedikit memudar karena spirit dagang tak lagi menjadi locus Muhammadiyah.
Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi sehingga untuk mengumpulkan pimpinan perlu menyesuaikan waktu mereka. Arti pentingnya mental pedagang persyarikatan ini perlu mendapat perhatian serius generasi terkini. Pasalnya, melalui spirit tersebut bangunan sistem ekonomi persyarikatan dapat kembali tegak.
Muhammadiyah tak perlu meminta-minta ke pemerintah untuk terus berkarya dalam bidang kemasyarakatan. Gerakan kultural Muhammadiyah dibangun dari amal usaha dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah menjadi sumber inspirasi dunia dalam menjalankan ranah itu. Sekolah Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan corak khasnya.
Sekolah ormas itu yang pada awal pendiriannya ala Barat kini bermetamorfosis menjadi lembaga unggulan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun kini kehadiran sekolah Muhammadiyah tersaingi sekolah lain, semisal sekolah internasional Gulen Movement sehingga sekolah Muhammadiyah kerap dianggap nomor dua. Apalagi kini pemerintah menggalakkan sekolah negeri gratis. Banyak orang tak lagi memercayakan putra-putrinya dididik oleh sekolah Muhammadiyah. Inilah tantangan dalam bidang kultural (pendidikan) untuk bisa kembali menampilkan keunggulan di bidang pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selamat Milad Ke-102 Muhammadiyah, jayalah persyarikatan. (10)
"Wacana", Suara Merdeka, Selasa, 18 November 2014.
“Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan saat ini lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi”
MUHAMMADIYAH telah memasuki abad II. Tantangan dakwah abad ini tentu tak kalah rumit dibanding abad I. Pasalnya, Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis sosial kemasyarakatan di Indonesia tapi harus berhadapan dengan berbagai persoalan serius internasional. Persoalan internasional itu merupakan peluang bagi Muhammadiyah untuk makin berkiprah untuk umat.
Dengan bekal pengalaman seabad berorganisasi, Muhammadiyah diharapkan mampu mewarnai jagat pemikiran dan praksis sosial yang dibawanya sebagai role model. Ia bisa menghadapi masalah dan tantangan yang mengadang, betapa pun kompleksnya. Optimisme itu —meminjam istilah Haedar Nashir (2011)— dengan fondasi ideologi reformis dan moderat yang jadi karakter gerakannya plus pandangan Islam yang berkemajuan dan berbagai potensi SDM, amal usaha, dan jaringan.
Tantangan Muhammadiyah adalah mencoba memberikan sesuatu kepada publik internasional dengan modal sosial yang telah dimiliki. Setidak-tidaknya, dapat berperan dalam tiga hal utama, yakni ranah politik, ekonomi, dan kultural. Ranah politik merupakan kajian terhadap pilihan politik Muhammadiyah sejak awal pendiriannya. Seperti saat Kiai Dahlan ìberkompromiì dengan pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan cap ìlegalî pendirian sebuah ormas.
Kiai Dahlan perlu membangun kekuatan di Boedi Oetomo guna memperkuat dukungan agar Muhammadiyah tidak mendapatkan resistensi dari pemerintah kolonial. Dalam perjalanan selanjutnya, Muhammadiyah turut serta dalam kancah politik tahun 1955. Muhammadiyah menjadi anggota aktif Partai Masyumi dengan semboyan ìBerpolitik dengan Masyumi, Berdakwah dengan Muhammadiyahî. Peran kebangsaan dalam bidang politik pun terus bergulir pada era Orde Baru, tatkala Kiai AR Fachruddin menerima asas tunggal Pancasila. Pak AR, sapaan ketua terlama PPMuhammadiyah itu, dengan lobi kuat menelurkan istilah politik helm, yang menjadi cara untuk mendekatkan diri kepada pemerintah. Melalui ijtihad itu, Muhammadiyah pun selamat dari ìpemberedelanî ala Soeharto.
Ijtihad politik itu kini memasuki jihad konstitusi. PPMuhammadiyah mengajukan serangkaian uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terkait UU yang tak berpihak kepada umat, seperti UU Migas. Ranah ekonomi merupakan kajian terhadap sistem ekonomi Muhammadiyah, ormas pemilik amal usaha terbanyak di dunia. Amal usaha itu merupakan sistem ekonomi yang tak dimiliki ormas lain. Sistem ekonomi yang tak bergantung mutlak kepada pemerintah inilah yang menguatkan jejaring ormas tersebut.
Merunut ke belakang, Kiai Dahlan sebagai founding father mengajarkan bahwa ekonomi umat harus dibangun sebagai implementasi teologi al-Maun dan al- Ashr. Ekonomi umat Muhammadiyah selayaknya kuat untuk menopang sistem ibadat yang membutuhkan uang. Pasalnya, setelah shalat kita diperintah-Nya membayar zakat. Itu artinya, umat Muhammadiyah diperintahkan jadi ”orang kaya” supaya mampu menghidupi diri dan orang lain melalui teologi filantropinya. Menyesuaikan Waktu Menilik sejarah, pada awal pembentukannya Muhammadiyah dikomandani para pedagang, yang kemudian menjadi penopang persyarikatan.
Berbekal spirit dan mentalnya, mereka menjadi lokomotif dakwah dan penyebaran Muhammadiyah ke seluruh penjuru negeri. Namun kini, etos dagang itu sedikit memudar. Pimpinan Muhammadiyah lebih banyak jadi birokrat (PNS), dan ini mengundang kritik. Mitsuo Nakamura misalnya, mengkritik dengan mengatakan bahwa corak awal persyarikatan itu sedikit memudar karena spirit dagang tak lagi menjadi locus Muhammadiyah.
Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi sehingga untuk mengumpulkan pimpinan perlu menyesuaikan waktu mereka. Arti pentingnya mental pedagang persyarikatan ini perlu mendapat perhatian serius generasi terkini. Pasalnya, melalui spirit tersebut bangunan sistem ekonomi persyarikatan dapat kembali tegak.
Muhammadiyah tak perlu meminta-minta ke pemerintah untuk terus berkarya dalam bidang kemasyarakatan. Gerakan kultural Muhammadiyah dibangun dari amal usaha dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah menjadi sumber inspirasi dunia dalam menjalankan ranah itu. Sekolah Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan corak khasnya.
Sekolah ormas itu yang pada awal pendiriannya ala Barat kini bermetamorfosis menjadi lembaga unggulan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun kini kehadiran sekolah Muhammadiyah tersaingi sekolah lain, semisal sekolah internasional Gulen Movement sehingga sekolah Muhammadiyah kerap dianggap nomor dua. Apalagi kini pemerintah menggalakkan sekolah negeri gratis. Banyak orang tak lagi memercayakan putra-putrinya dididik oleh sekolah Muhammadiyah. Inilah tantangan dalam bidang kultural (pendidikan) untuk bisa kembali menampilkan keunggulan di bidang pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selamat Milad Ke-102 Muhammadiyah, jayalah persyarikatan. (10)
Muhammadiyah dan Kabinet
Oleh Benni Setiawan
"Pendapat" Koran Tempo, Selasa, 18 November 2014
Sejak awal, doktrin perserikatan Muhammadiyah adalah gerakan sosial kemasyarakatan amar makruf nahi mungkar. Khitah Denpasar, Bali, pada 2002, memuat pernyataan, "Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat, sebagaimana tujuan Muhammadiyah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya."
Pernyataan itu merupakan jiwa Muhammadiyah. Khitah tersebut menjadi panduan dan gerak langkah perserikatan yang kini berusia 102 tahun (18 November 1912-18 November 2014). Khitah itu juga menjadi semangat Muhammadiyah untuk terus berkarya (work) dan bertindak (action) untuk bangsa dan negara.
Kekaryaan dan tindakan Muhammadiyah tak akan pernah surut. Walaupun Muhammadiyah kini tak mempunyai seorang kader pun di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Ketiadaan kader Muhammadiyah dalam kabinet Jokowi tak akan menyurutkan langkah persemaian peradaban membangun masyarakat.
M. Amien Rais (2009) menyebutkan, membangun masyarakat lebih sulit daripada membangun negara. Membangun negara memang lewat pemegangan kekuasaan dari sebuah bangsa. Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Tapi masyarakat itu jauh lebih lestari. Pasalnya, masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita.
Membangun masyarakat, melalui amal usaha, menjadi pilihan Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan. Muhammadiyah tak akan kekurangan saat tak memiliki wakil di pemerintahan. Muhammadiyah pun tak akan merengek kepada penguasa agar memberi "jatah" kepada organisasi modern pemilik amal usaha terbanyak di dunia ini.
Kekuasaan bagi Muhammadiyah bukanlah "selendang kebesaran". Selendang kebesaran Muhammadiyah adalah mewujudkan cita mulia membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu masyarakat yang terbangun atas transformasi gagasan, keilmuan, dan amal saleh berbasis kemanusiaan.
Inilah perjuangan Muhammadiyah berbasis teologi al-Maun dan al-Ashr. Muhammadiyah berjuang melalui jalan sunyi. Jalan sunyi ini tak akan pernah menghilangkan entitas Muhammadiyah dalam kebangsaan. Bahkan jalan sunyi inilah yang menjadikan di setiap derap langkah bangsa dan negara senantiasa ada jejak dan peran Muhammadiyah.
Meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif, inilah politik garam Muhammadiyah. Muhammadiyah senantiasa menjadi bagian penting dalam proses kebangsaan. Ia tak terlihat, namun terasa. Muhammadiyah menjauhi politik gincu, politik lipstik penuh tipu daya, politik yang menjadikan seseorang harus terbungkus dan menjadi orang lain untuk mendapatkan "kekuasaan".
Karena itu, saat kader Muhammadiyah tak menduduki pos kementerian, hal itu bukanlah akhir dari proses pengabdian. Muhammadiyah telah membina masyarakat jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Proses kreatif Muhammadiyah itu membuktikan bahwa perserikatan "dapat hidup" tanpa harus menduduki posisi sentral dalam rahim kekuasaan.
Pada akhirnya, peran kebangsaan membangun masyarakat menjadi lokus tindakan Muhammadiyah. Muhammadiyah sejak awal memposisikan diri sebagai pegiat civil society. *
"Pendapat" Koran Tempo, Selasa, 18 November 2014
Sejak awal, doktrin perserikatan Muhammadiyah adalah gerakan sosial kemasyarakatan amar makruf nahi mungkar. Khitah Denpasar, Bali, pada 2002, memuat pernyataan, "Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat, sebagaimana tujuan Muhammadiyah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya."
Pernyataan itu merupakan jiwa Muhammadiyah. Khitah tersebut menjadi panduan dan gerak langkah perserikatan yang kini berusia 102 tahun (18 November 1912-18 November 2014). Khitah itu juga menjadi semangat Muhammadiyah untuk terus berkarya (work) dan bertindak (action) untuk bangsa dan negara.
Kekaryaan dan tindakan Muhammadiyah tak akan pernah surut. Walaupun Muhammadiyah kini tak mempunyai seorang kader pun di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Ketiadaan kader Muhammadiyah dalam kabinet Jokowi tak akan menyurutkan langkah persemaian peradaban membangun masyarakat.
M. Amien Rais (2009) menyebutkan, membangun masyarakat lebih sulit daripada membangun negara. Membangun negara memang lewat pemegangan kekuasaan dari sebuah bangsa. Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Tapi masyarakat itu jauh lebih lestari. Pasalnya, masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita.
Membangun masyarakat, melalui amal usaha, menjadi pilihan Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan. Muhammadiyah tak akan kekurangan saat tak memiliki wakil di pemerintahan. Muhammadiyah pun tak akan merengek kepada penguasa agar memberi "jatah" kepada organisasi modern pemilik amal usaha terbanyak di dunia ini.
Kekuasaan bagi Muhammadiyah bukanlah "selendang kebesaran". Selendang kebesaran Muhammadiyah adalah mewujudkan cita mulia membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu masyarakat yang terbangun atas transformasi gagasan, keilmuan, dan amal saleh berbasis kemanusiaan.
Inilah perjuangan Muhammadiyah berbasis teologi al-Maun dan al-Ashr. Muhammadiyah berjuang melalui jalan sunyi. Jalan sunyi ini tak akan pernah menghilangkan entitas Muhammadiyah dalam kebangsaan. Bahkan jalan sunyi inilah yang menjadikan di setiap derap langkah bangsa dan negara senantiasa ada jejak dan peran Muhammadiyah.
Meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif, inilah politik garam Muhammadiyah. Muhammadiyah senantiasa menjadi bagian penting dalam proses kebangsaan. Ia tak terlihat, namun terasa. Muhammadiyah menjauhi politik gincu, politik lipstik penuh tipu daya, politik yang menjadikan seseorang harus terbungkus dan menjadi orang lain untuk mendapatkan "kekuasaan".
Karena itu, saat kader Muhammadiyah tak menduduki pos kementerian, hal itu bukanlah akhir dari proses pengabdian. Muhammadiyah telah membina masyarakat jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Proses kreatif Muhammadiyah itu membuktikan bahwa perserikatan "dapat hidup" tanpa harus menduduki posisi sentral dalam rahim kekuasaan.
Pada akhirnya, peran kebangsaan membangun masyarakat menjadi lokus tindakan Muhammadiyah. Muhammadiyah sejak awal memposisikan diri sebagai pegiat civil society. *
Minggu, 09 November 2014
Muhammadiyah dan Kabinet Kerja
oleh Benni Setiawan*)
"Opini" Kedaulatan Rakyat, Jumat Kliwon, 7 November 2014. Halaman 12.
Tulisan Mukhijab, “Muhammadiyah dan Kekuasaan Jokowi’, KR, 3 November 2014 menyarankan agar Persyarikatan melakukan metamorfosis dalam politik. Ia menyatakan menjadi penonton tak selamanya enak. Bagi dosen Universitas Islam Indonesia ini, Muhammadiyah perlu masuk dalam pusaran politik agar tidak terjadi manipulasi kekuasaan politik.
Bagi saya, Muhammadiyah tidak perlu melakukan itu. Karena Khittah Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai organisasi sosial masyarakat. Tanpa masuk politik pun, Muhammadiyah dapat berkhidmat dalam proses kebangsaan.
Muhammadiyah, sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tak lagi mendapat “jatah menteri”. Bahkan, banyak pengamat menyebut hubungan SBY dengan Muhammadiyah sempat renggang. Hal itu dibuktikan dengan banyak kegiatan utama Muhammadiyah tak dihadiri secara langsung oleh Presiden.
Setelah era SBY berakhir, warga Persyarikatan dapat menjalin hubungan baik dengan pemerintahan baru. Geliat politik yang dimotori Dien Syamsuddin (sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan Ahmad Syafii Maarif, mengguratkan sebuah cita, hubungan ini akan mulus dan baik. Namun, setelah pengumuman Kabinet Kerja, tampaknya Muhammadiyah belum mendapat tempat istimewa di Republik. Padahal, Muhammadiyah telah berkarya dan bertindak melalui bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang diakui oleh dunia.
Namun, tak mendapatkan jatah menteri bukanlah akhir dari kisah pengabdian Muhammadiyah untuk bangsa dan negara. Muhammadiyah tidak akan kewirangan dan Kapiran tanpa masuk kabinet. Dalam konteks ora kewirangan (malu, aib), Muhammadiyah akan tetap berdiri tegak. Muhammadiyah tak akan mengemis jabatan. Kerja sosial Muhammadiyah yang dimulai oleh komunitas pedagang tak akan surut. Komunitas dagang bercorak (man action), akan menjadi spirit utama Persyarikatan.
Melalui semangat itu, Muhammadiyah tidak akan “kapiran”, miskin atau kekurangan. Bahkan, kerja Muhammadiyah akan semakin solid. Spirit “urunan” akan terus menggelora dalam detak jantung Persyarikatan. Spirit itulah yang hingga kini terpelihara dengan baik dalam rahim organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan lebih dari seabad lalu. Muhammadiyah mampu membangun sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi, rumah sakit, panti-panti sosial, berkat kerja keras seluruh lapisan persyarikatan.
Penyeimbang
Oleh karena itu, ketidakterwakilan Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja bukanlah kiamat. Muhammadiyah tetap terus berkarya membangun kebangsaan dan kemanusiaan. Muhammadiyah akan terus mendidik anak bangsa, menyantuni orang miskin, dan memberikan pelayanan maksimal kepada orang-orang yang sakit dengan spirit Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Muhammadiyah pun akan menjadi mitra strategis bagi pemerintah. Sebagaimana amanat Milad Muhammadiyah, Muhammadiyah akan menjadi pengingat dikala pemerintah lalai, penyemangat di kala lesu, penggerak di saat berhenti.
Posisi Muhammadiyah saat ini sangatlah strategis. Artinya, Muhammadiyah dapat bertindak sebagai “penyeimbang” jalannya pemerintahan Jokowi-JK. Penyeimbang bukan berarti oposisi, karena tugas itu telah melekat pada Koalisi Merah Putih (KMP). Penyeimbang di sini, merupakan kerja berbarengan, dalam ranah atau wilayah yang berbeda. Pemerintah mengurusi jajaran birokrasinya, Muhammadiyah membina umat (warga bangsa).
Muhammadiyah akan terus mengingatkan pemimpin saat ini untuk menjadi negarawan. Bukan pemimpin partisan yang bekerja untuk kepentingan diri sendiri dan golongan. Negarawan adalah mereka yang lantang menyuara perubahan dengan turut serta terjun di dalamnya. Mereka tidak hanya bekerja di balik meja dan setumpuk agenda rutinitas. Saat Jokowi-JK dan jajaran kabinetnya tak mampu mewujudkan itu. Berarti ia telah mengingkari janji kepemimpinan. Mereka seakan menjilat ludahnya sendiri. Kepemimpinan pun akan runtuh.
Keruntuhan Republik tentu akan berdampak kepada Muhammadiyah. Oleh karenanya,
Muhammadiyah akan terus menyokong Republik ini agar tetap tegak. Republik tak boleh ambruk oleh kepemimpinan yang rapuh. Muhammadiyah, akan menjadi kekuatan penyangga untuk meneguhkan entitas kebangsaan dan kenegaraan.
Pada akhirnya, ketiadaan kader Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja, tak akan menyurutkan langkah Persyarikatan berkarya dan bertindak nyata untuk bangsa. Muhammadiyah tak hanya sekadar bekerja. Namun, ia terus menyemai benih peradaban untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam.
"Opini" Kedaulatan Rakyat, Jumat Kliwon, 7 November 2014. Halaman 12.
Tulisan Mukhijab, “Muhammadiyah dan Kekuasaan Jokowi’, KR, 3 November 2014 menyarankan agar Persyarikatan melakukan metamorfosis dalam politik. Ia menyatakan menjadi penonton tak selamanya enak. Bagi dosen Universitas Islam Indonesia ini, Muhammadiyah perlu masuk dalam pusaran politik agar tidak terjadi manipulasi kekuasaan politik.
Bagi saya, Muhammadiyah tidak perlu melakukan itu. Karena Khittah Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai organisasi sosial masyarakat. Tanpa masuk politik pun, Muhammadiyah dapat berkhidmat dalam proses kebangsaan.
Muhammadiyah, sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tak lagi mendapat “jatah menteri”. Bahkan, banyak pengamat menyebut hubungan SBY dengan Muhammadiyah sempat renggang. Hal itu dibuktikan dengan banyak kegiatan utama Muhammadiyah tak dihadiri secara langsung oleh Presiden.
Setelah era SBY berakhir, warga Persyarikatan dapat menjalin hubungan baik dengan pemerintahan baru. Geliat politik yang dimotori Dien Syamsuddin (sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan Ahmad Syafii Maarif, mengguratkan sebuah cita, hubungan ini akan mulus dan baik. Namun, setelah pengumuman Kabinet Kerja, tampaknya Muhammadiyah belum mendapat tempat istimewa di Republik. Padahal, Muhammadiyah telah berkarya dan bertindak melalui bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang diakui oleh dunia.
Namun, tak mendapatkan jatah menteri bukanlah akhir dari kisah pengabdian Muhammadiyah untuk bangsa dan negara. Muhammadiyah tidak akan kewirangan dan Kapiran tanpa masuk kabinet. Dalam konteks ora kewirangan (malu, aib), Muhammadiyah akan tetap berdiri tegak. Muhammadiyah tak akan mengemis jabatan. Kerja sosial Muhammadiyah yang dimulai oleh komunitas pedagang tak akan surut. Komunitas dagang bercorak (man action), akan menjadi spirit utama Persyarikatan.
Melalui semangat itu, Muhammadiyah tidak akan “kapiran”, miskin atau kekurangan. Bahkan, kerja Muhammadiyah akan semakin solid. Spirit “urunan” akan terus menggelora dalam detak jantung Persyarikatan. Spirit itulah yang hingga kini terpelihara dengan baik dalam rahim organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan lebih dari seabad lalu. Muhammadiyah mampu membangun sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi, rumah sakit, panti-panti sosial, berkat kerja keras seluruh lapisan persyarikatan.
Penyeimbang
Oleh karena itu, ketidakterwakilan Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja bukanlah kiamat. Muhammadiyah tetap terus berkarya membangun kebangsaan dan kemanusiaan. Muhammadiyah akan terus mendidik anak bangsa, menyantuni orang miskin, dan memberikan pelayanan maksimal kepada orang-orang yang sakit dengan spirit Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Muhammadiyah pun akan menjadi mitra strategis bagi pemerintah. Sebagaimana amanat Milad Muhammadiyah, Muhammadiyah akan menjadi pengingat dikala pemerintah lalai, penyemangat di kala lesu, penggerak di saat berhenti.
Posisi Muhammadiyah saat ini sangatlah strategis. Artinya, Muhammadiyah dapat bertindak sebagai “penyeimbang” jalannya pemerintahan Jokowi-JK. Penyeimbang bukan berarti oposisi, karena tugas itu telah melekat pada Koalisi Merah Putih (KMP). Penyeimbang di sini, merupakan kerja berbarengan, dalam ranah atau wilayah yang berbeda. Pemerintah mengurusi jajaran birokrasinya, Muhammadiyah membina umat (warga bangsa).
Muhammadiyah akan terus mengingatkan pemimpin saat ini untuk menjadi negarawan. Bukan pemimpin partisan yang bekerja untuk kepentingan diri sendiri dan golongan. Negarawan adalah mereka yang lantang menyuara perubahan dengan turut serta terjun di dalamnya. Mereka tidak hanya bekerja di balik meja dan setumpuk agenda rutinitas. Saat Jokowi-JK dan jajaran kabinetnya tak mampu mewujudkan itu. Berarti ia telah mengingkari janji kepemimpinan. Mereka seakan menjilat ludahnya sendiri. Kepemimpinan pun akan runtuh.
Keruntuhan Republik tentu akan berdampak kepada Muhammadiyah. Oleh karenanya,
Muhammadiyah akan terus menyokong Republik ini agar tetap tegak. Republik tak boleh ambruk oleh kepemimpinan yang rapuh. Muhammadiyah, akan menjadi kekuatan penyangga untuk meneguhkan entitas kebangsaan dan kenegaraan.
Pada akhirnya, ketiadaan kader Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja, tak akan menyurutkan langkah Persyarikatan berkarya dan bertindak nyata untuk bangsa. Muhammadiyah tak hanya sekadar bekerja. Namun, ia terus menyemai benih peradaban untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam.