Solo Pos, Edisi : Kamis, 22 Mei 2008 , Hal.4
Benarkah pemimpin bangsa ini sehat? Dan mereka lebih beruntung daripada manusia yang secara lahiriah mengalami keterbelakangan mental?
Pemimpin adalah seseorang yang dengan sadar menjalankan amanah yang diemban untuk kepentingan bersama, bukan pribadi dan golongan. Menjadi pemimpin berarti mampu memimpin diri sendiri dan menjadi panutan yang dipimpin. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan amanahnya dengan baik dan benar.
Kemudian apa yang terjadi di negeri yang sedang dilanda krisis kepemimpinan ini? Rakyat dipaksa antre minyak tanah, kekeringan, banjir dan kelaparan. Banyak sekolah roboh, pejabat Indonesia dengan sikap bak kesatria menohok hati rakyat.
Bahkan di tengah kemiskinan yang semakin meningkat, pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi rata-rata 28,7 persen. Menurut hitung-hitungan Revrisond Baswir (Kedaulatan Rakyat , 12 Mei 2008), dalam APBN 2008, harga minyak mentah dipatok senilai 60 dolar Amerika per barel.
Dengan asumsi seperti itu, beban subsidi berjumlah Rp. 45,8 triliun, sedangkan penerimaan minyak bumi (PMB) berjumlah Rp. 84,3 triliun. Selanjutnya, dalam APBN-P 2008, harga minyak mentah dipatok sebesar 95 dolar Amerika per barel. Dengan asumsi baru ini, beban subsidi BBM meningkat menjadi Rp 126,8 triliun, sedangkan PMB meningkat menjadi 149,1 triliun.
Maka sebenarnya BBM tidak perlu dinaikkan, karena Indonesia termasuk negara pengekspor minyak. Kenaikan BBM pada dasarnya merupakan salah bukti kelemahan pemerintah dalam melakukan diplomasi dengan negara asing (kaum neolib).
Negara besar ini harus tunduk patuh pada kekuatan asing yang menjadikan bangsa ini semakin terpuruk, tidak mempunyai kemandirian dan pada akhirnya rakyatnya yang menjadi korban.
Selain diserang dari luar, bangsa ini juga dipaksa menyerah kepada cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam negeri. Mereka membabat hutan Indonesia hingga habis. Maka tidak aneh jika luas hutan Indonesia dari tahun ke tahun semakin menyusut. Menurut data pada tahun 1984 luas hutan Indonesia mencapai 193,1 juta hektare. Pada tahun 1991 turun menjadi 191,8 juta hektare. Pada tahun 2003 luas hutan Indonesia tinggal 123,7 juta hektare dan pada tahun 2005 tinggal 123,5 juta hektare.
Padahal emisi karbon dioksida paling besar disumbangkan oleh sektor kehutanan, sebesar 75 persen dari konversi lahan dan deforestasi (kerusakan hutan), 23 persen dari penggunaan energi sektor kehutanan, dan dua persen dari proses industri sektor kehutanan.
Tidak hanya itu, anggota DPR berbondong-bondong liburan dalam acara kunjungan kerja. Mereka tidak lupa membawa sanak saudara bertamasya ke luar negeri dengan uang rakyat. Padahal di sisi lain banyak masyarakat Indonesia harus mengungsi akibat banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Apa yang terjadi pada pucuk pimpinan negeri ini? Mereka berlomba-lomba merebut simpati rakyat untuk mempertahankan kekuasaan pada tahun 2009. Di dalam negeri mereka tebar pesona dengan mengunjungi petani, nelayan dan Sidak ke pasar-pasar. Mereka juga tebar uang dengan memberikan dana bantuan atas nama pribadi. Bencana alam seperti banjir, gunung meletus, dan kekeringan dijadikan komoditas untuk menaikkan pamor dan ”perhatian” kepada rakyat.
Mereka pun juga saling serang. Entah dengan slogan tebar pesona, tebar kinerja, maupun”saya sudah memesona”. Pemimpin di negeri ini selalu disibukkan oleh agenda politik menuju 2009, sehingga agenda kerakyatan menjadi tidak terurus dan tanpa makna.
Tidak hanya di dalam negeri, mereka juga mencoba menarik simpati luar negeri. Apa yang terjadi? Pemimpin bangsa besar ini kehilangan keberanian untuk menegakkan kedaulatan sebagai bangsa dan negara.
Betapa tidak, di tengah semakin banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) disiksa hingga meninggal dunia, duta olah raga dihajar empat polisi hingga babak belur, batik, angklung dan lagu Rasa Sayange dan baru-baru ini reog Ponorogo dalam proses paten negara tetangga. Mereka (pemimpin bangsa ini) hanya dapat tersenyum dan menyatakan,”permintaan maaf adalah bagian dari kepribadian seseorang.”
Bangsa ini sudah tidak mempunyai kedaulatan lagi. Yang ada hanyalah kekuasaan dalam negeri yang garang terhadap rakyatnya sendiri dan “loyo” menghadapi luar negeri. Kritikan dari dalam negeri dianggap ancaman serius, sehingga harus segera diselesaikan di meja hijau. Akan tetapi, kedaulatan negara yang diinjak-injak melalui perjanjian kerja sama militer, pencaplokan kekayaan bumi nusantara hanya dianggap angin lalu.
Lupa Tuhan
Pemimpin bangsa ini juga telah melupakan eksistensi Tuhan. Ia tidak lagi mempercayai Tuhan sebagai kekuatan di luar manusia. Pemerintah sepertinya melupakan anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Tuhan pun menjadi tidak ada di negeri ini.
Yang ada hanyalah penuhanan terhadap kekuasaan, kekayaan dan jabatan. Pemegang kekuasaan merasa dirinyalah yang paling berjasa di negeri ini. Maka, ia dengan bangga mengajukan kenaikan gaji dan tunjangan di tengah penderitaan dan kelaparan masyarakat Indonesia.
Bahkan, pemerintah dan elite politik sekarang sedang merayakan pesta persiapan menduduki kursi kepresidenan tahun 2009 di tengah berbagai bencana dan pilu air mata rakyat yang belum mengering.
”Sakit”
Patutlah negeri ini sedang dipimpin oleh pemimpin yang ”sakit mental”. Samuel Mulia dalam sebuah media nasional, menyoroti pemimpin yang lupa berterima kasih dengan rasa syukur. Pemimpin yang bangga melakukan kesalahan padahal mereka dibekali akal sehat oleh Sang Kuasa sehingga sebetulnya mampu berpikir kalau kegiatan itu salah, menyengsarakan orang lain, dan terutama tak diberkati Sang Kuasa. Akan tetapi, mereka tetap saja melakukannya dan berani melawan Sang Kuasa.
Jika dibandingkan berat mana ”sakit mental” pemimpin bangsa ini dengan mereka yang benar secara lahiriah mengalami keterbelakangan mental, ternyata yang dialami pemimpin bangsa ini lebih berat. Hal ini dikarenakan, pemimpin bangsa ini sehat secara fisik, tetapi melakukan kegiatan yang jauh dari akal sehat.
Itu lebih parah dari sekadar sakit mental yang membuat manusia hanya bisa meloncat sekian sentimeter dari pijakan awal. Dan yang sebetulnya tidak beruntung adalah pemimpin bangsa ini, bukan mereka yang selama ini dikatakan tidak beruntung.
- Benni Setiawan Alumnus Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar