Search

Sabtu, 14 September 2024

Mila dan Bella

Mbokde Yani tiba-tiba kirim pesan melalui WhatsApp dan juga telp mengabarkan berita duka. Putri tercintanya, Mila Tridayati meninggal dunia. Padahal kami sedang membincang kesehatan Mila. Sebelumnya Mbokde sudah mengabarkan jika Mila sudah lima hari koma di sebuah rumah sakit di Magelang, Jawa Tengah. 

Informasi dari WA Mbokde Yani, Mila berkunjung ke rumah Kakak (Niko) di Magelang. Mila tinggal bersama Ayahnya di Semarang. Setelah di Magelang dia kejang dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sampai di Rumah Sakit, dokter sudah memberi penjelasan bahwa hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Mila. Setelah dirawat beberapa hari, Jumat, 13 September 2024 Allah memanggil pulang ke rumah keabadianNya. 

Kepulangan Mila kepangkuan Sang Khalik bertepatan dengan hari lahir Satriya (anak pertama saya). Satriya kecil tumbuh bersama Mila. Selisih umurnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 6 tahun. Saat Mila SD dia sering main ke rumah atau kami main ke rumah Mbah Saminah (Nenek Mila).  

Mbah Saminah 

Mbah Saminah (Allahu yarham) dengan Ibu saya adalah kakak-adik, beda Ibu, satu Bapak. Mila adalah cucu kesayangan Mbah Saminah. Bersama kakaknya Rahmat sejak kecil Mila diasuh oleh Mbah Saminah dengan cinta tanpa batas. Mbokde Sriyani (Ibunya Mila) merantau ke Jakarta, dan Pakde Misdi (Bapaknya Mila) mengais rizki di Semarang. 

Mbah Saminah adalah sosok simbah yang luar biasa. Di tengah segala keterbasannya dia selalu ingin dan suka menolong orang lain. Suatu ketika kami silaturahmi ke rumah Mbah Saminah bersama Satriya. Tak lupa saat sudah masuk rumah, Mbah Saminah selalu mempersilahkan untuk mengambil makan di dapur. Setelah kami makan dan hendak pamit pulang, selalu saja ada hal yang harus kami bawa pulang dari tangan Mbah Saminah. 

Suatu ketika kami dibawakan satu plastik telor. Kami tahu bahwa Mbah Saminah baru saja membeli itu di warung keliling. “Wis iki gowonen kabeh”, kata Mbah Saminah. “Engko Mila tak tukoke meneh’, sambungnya. Dan kami harus membawa itu, kalau tidak Mbah Saminah pasti tidak suka—untuk tidak menyebut marah. 

Ketulusan Mbah Saminah ini tampaknya menular ke anak dan cucu-cucunya, salah satunya kepada Mila. Mila tumbuh menjadi pribadi baik. Dia tumbuh menjadi gadis yang ringan untuk menolong. Walaupun agak pemalu dan tidak banyak bicara, dia selalu ingin menjadi teman yang baik untuk Satriya kecil.  

Ngemong 

Sebagaimana seorang kakak, dia bisa ngemong Satriya dengan caranya. Saat Satriya rewel, Mila selalu gendong, sampai dia tenang dan bisa diajak main lagi. Mila pun selalu menceritakan kegiatan di sekolahnya kepada Satriya kecil. Mungkin karena dia anak ragil, dari tiga bersaudara. Dia mencurahkan karakter kakak kepada Satriya. Saya kira Satriya beruntung kenal dengan Mila. 

Saat Mila sudah beranjak dewasa, saya ingat sebuah peristiwa saat Mbah Saminah menyerahkan bungkusan “bancakan”. “Iki bancakan opo, Mbah?” tanya saya. “Iki Mila mau ngomong neng wis Men—haid”, jawab Mbah Saminah. Kebiasaan di desa kami, kalau gadis pertama kali haid, maka orangtua mengadakan syukuran dengan memberikan makanan bancakan (nasi, sayuran bercampur potongan parutan kelapa, dan potongan telur). 

“Wis gedhe kowe Mil”, sapa saya. Dengan senyum hangat dia menjawab “iya”. Senyum Mila selalu mengingatkan saya pada sosok artis, Laudya Cynthia Bella. Sejak kecil wajah ayu Mila sangat mirip dengan Bella, artis berdarah Sunda dan menjadi brand ambassador beberapa produk kecantikan. 

Iya Mila memang sangat mirip dengan Bela. Kini Mila sudah menghadap Tuhannya. Saya berdoa semoga Allah mengampuni segala dosanya, mengasihaninya, menghapus semua jejak kesalahannya, menjauhkan dari siksa kubur, dan segala fitnah setelah kematian. 

Selamat jalan ya Nduk Mila. Salam untuk Mbah Saminah, Mbah Cipto, Mbah Reso Suki,  Mbah Tarjo dan semua keluarga kita yang sudah mendahului. Semoga Mila mendapatkan kelapangan kubur dan surga Allah swt. Aamiin

Selasa, 10 Februari 2015

Kebinekaan

Oleh Benni Setiawan


Koran Tempo, Rabu, 04 Februari 2015

Kebinekaan kian rapuh. Itulah hasil diskusi dan peluncuran Jurnal Maarif Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014 pertengahan Januari lalu, yang bertajuk "Masa Depan Politik Kebhinekaan di Indonesia". Hal itu didasari angka intoleransi yang cukup tinggi di republik ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam laporan akhir tahun 2014, menerima 67 berkas pengaduan. Pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi akibat dominasi kelompok intoleran yang menyebarkan kebencian dan intoleransi dengan beraneka cara (Kompas, 24 Januari 2015).

Intoleransi yang didasari sikap emosional dan destruktif-meminjam istilah Lester Kurtz dalam Gods in the Global Village-semakin memperkeruh situasi kebangsaan. Situasi kebangsaan sudah saatnya dibangun dengan suasana tenang dan damai. Jika kedamaian dicederai dengan berbagai urusan politik (kekuasaan) dan ekonomi (urusan perut dan kuasa modal), persoalan keagamaan hanya dijadikan kedok kebrutalan pihak-pihak yang tidak bertangung jawab.

Karena itu, falsafah bangsa, bhineka tunggal ika, tampaknya perlu kembali didengungkan. Guna mewujudkan hal tersebut, pemerintah selayaknya menjadi pelopor perdamaian. Pemerintah seharusnya berdiri sebagai dewa keadilan, keamanan, keadaban, dan kemakmuran. Mereka adalah dewa pelindung bagi semua. Mereka adalah pengejawantah nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.

Saat pemerintah mewujud menjadi hal tersebut, saya kira ia akan berdiri sebagai pemimpin. Mereka tak lagi menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Ia menjadi seorang yang dapat bersikap ikhlas, adil, dan tulus dalam menjalankan amanat kepemimpinan.

Pemerintah pun selayaknya berdiri di atas semua golongan. Pemerintah mendorong dirinya untuk menghargai dan menghormati masyarakat dalam hal pengamalan kesalehan individu yang mewujud dalam kesalehan publik. Sebuah potret kesalehan yang menguatkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut, upaya pemerintah dalam hal ini-Kementerian Agama (Kemenag) merancang Undang-Undang Kerukunan Beragama-sudah selayaknya ditujukan untuk diri sendiri. Artinya, UU tersebut pada dasarnya bukan untuk mengatur umat beragama, melainkan sebagai acuan bagi pemerintah sendiri dalam bertindak dalam mewujudkan harmoni kehidupan beragama dan keberagamaan di Indonesia.

Hal tersebut didasari fakta bahwa kehidupan umat beragama relatif baik. Pemerintah, sebagaimana temuan The Wahid Institute, merupakan biang intoleransi yang perlu belajar kepada umat beragama dalam membangun keadaban publik. Pemerintah tak perlu malu mengakui kekurangannya. Pemerintah pun perlu belajar kepada umat beragama di Nusantara.

Semoga 2015 membawa kehidupan keagamaan yang lebih baik dibanding 2014. Pemerintah juga perlu meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas tingginya angka intoleransi yang disebabkan oleh ulah aparatur negara. Permohonan maaf ini tidak akan menurunkan martabat pemerintah. Bahkan, pemerintah akan mendapat posisi mulia dari proses kepemimpinan yang mengakui kekurangan dan kesalahan guna menuju kehidupan yang lebih penuh kedamaian dan ketenteraman.