Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Minggu, 15 Februari 2009
Menggugat Kapitalisme Pendidikan
Bedah Buku Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage, 15 Februari 2009 (19 Sapar 1942)
Judul : Metode Pendidikan Marxis Sosialis, Antara Teori dan Praktik
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit: Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Terbit : Desember, 2008
Tebal : 316 halaman
Mesi telah disahkan Desember 2008, UU badan hukum pendidikan (BHP) tetap mengundang protes dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah gerakan mahasiswa. Mereka menyatakan bahwa, UU BHP hanya akan semakin menyuburkan praktik kapitalisme dalam dunia pendidikan. Anak-anak orang miskin akan tersingkirkan dari sistem pendidikan di negeri ini. Hanya anak-anak orang kaya saja yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Otonomi perguruan tinggi yang pada ujungnya “menghalalkan” segala cara guna menutupi kekurangan biaya pendidikan hanya akan semakin mengerdilkan peran pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Otonomi perguruan tinggi yang dilegalkan melalui UU BHP pada dasarnya hanya akan menghasilkan robot-robot intelektual yang siap dipekerjakan di berbagai sektor dunia usaha.
Pendidikan yang bercorak kapitalisme ini selain menggusur kemandirian seseorang (orang miskin), pada dasarnya merupakan cerminan ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan untuk semua (education for everyone)—meminjam istilah John Comenius (1592-1670). Karena pendidikan merupakan hak setiap manusia. Lebih dari itu, mendapat pendidikan yang layak merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM), sebagaimana tertuang dalam Declaration of Human Right yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948.
Buku yang ditulis oleh Nurani Soyomukti ini, ingin menggugat pendidikan yang bercorak kapitalis. Menurut aktivis dari Trenggalek, Jawa Timur ini, pendidikan kapitalisme tak ubahnya sebuah lembaga untuk melancarkan hegemoni kelas penguasa terhadap kelas tertindas (hlm. 91). Pendiri komunitas ’Taman Katakata’ (TK) di Jember, melalui buku ini, mengancang sebuah metode pendidikan yang lebih memanusiakan manusia tanpa harus mengebiri hak-hak orang miskin. Penulis mencontohkan praktik pendidikan di Kuba. Dengan falsafah “study, work, rifle” atau “bekerja, berkarya, dan senjata”, dipakai dalam pendidikan untuk mempertahankan revolusi (hlm. 236).
Nurani ingin membuka alam bawah sadar masyarakat Indonesia, bahwa masih ada jalan lain atau sistem pendidikan lain yang dapat dipraktikan di Nusantara. Karena sistem atau metode pendidikan tidaklah tunggal. Oleh karena itu, untuk menciptakan keadilan dalam pendidikan dibutuhkan model pendidikan lain. Buku ini mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia yang masih peduli dengan masa depan pendidikan dan bangsanya untuk merenung, bahwa pendidikan di tanah air telah kehilangan arah atau ruhnya. Pendidikan di Indonesia, sudah saatnya tidak berkiblat ke Amerika Serikat, sebagai mbahnya kapitalis, namun perlu melirik sistem pendidikan yang telah di jalankan di Amerika Latin, sebagai counterpart terhadap kebuntuan sistem pendidikan yang tidak memanusiakan manusia.
*)Benni Setiawan, Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional (2008).
Jumat, 13 Februari 2009
Koran Seribuan dan Peradaban
Surya, Kamis, 12 Februari 2009
Pada akhirnya, koran seribuan adalah bentuk kepedulian managemen Harian Surya terhadap wong cilik. Wong cilik dengan penghasilan minim, akan tetapi butuh informasi yang berbobot dan berimbang. Wong cilik adalah bagian dari masyarakat yang ingin maju dan mempunyai daya nalar yang tinggi.
MEMBACA bagi sebagian orang adalah pekerjaan yang berat. Apalagi membaca koran. Selain harus mengeluarkan uang, membaca koran dianggap sebagai hal yang menjemukan dan melelahkan. Masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan uang untuk rokok daripada membeli koran.
Pada tahun 2003 saja, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp 150 triliun per tahun, tetapi belanja surat kabar hanya Rp 4,9 triliun. Padahal, membaca merupakan bentuk kesadaran untuk maju dan berkembang. Dengan membaca seseorang dapat mengingat peristiwa yang telah lampau (sejarah) dan diharapkan mampu melakukan revolusi peradaban.
Ada hal yang menarik melihat geliat perkembangan media massa di Tanah Air, terutama di Jawa Timur. Manajemen Harian Surya melakukan terobosan baru dengan menjajakan produknya dengan harga seribu. Tentunya, hal ini membawa angin segar bagi pembaca. Di tengah semakin sulitnya mencari uang, seseorang dapat membaca media massa cetak dengan mudah dan murah. Lebih dari itu, di tengah tekanan harga kertas dunia yang kian melambung tinggi, manajemen Harian Surya juga tidak menaikkan harga.
Dengan harga yang terjangkau, dimungkinkan Harian Surya akan mudah diterima oleh kalangan masyarakat bawah sekalipun. Artinya, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa koran saat ini, hanya dikonsumsi orang-orang tertentu saja, yaitu kelas menengah dan atas.
Informasi melalui media cetak tidak saja menjadi konsumsi masyarakat kelas menangah saja. Sudah saatnya kaum menengah ke bawah dapat menikmati informasi yang berimbang, jernih dan berisi dari Harian Surya.
Terlepas dari strategi bisnis managemen Harian Surya untuk mempertahankan diri dari serbuan koran-koran lain, “ijtihad”-nya untuk turut serta menggairahkan minat baca masyarakat tentunya perlu kita apresiasi.
Revolusi Peradaban
Aktivitas membaca koran bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang masih sangat langka. Mereka lebih khawatir jika ponselnya tidak ada pulsa daripada otaknya kosong akibat tidak adanya bacaan. Maka muncul guyonan di tengah masyarakat dunia, bahwa harga otak masyarakat Indonesia sangat mahal dibandingkan dengan masyarakat AS, Jepang, China, India dan Rusia.
Hal ini karena, otak masyarakat industri maju sudah banyak tercemar oleh pemikiran yang aneh-aneh, karena banyak membaca dan beraktivitas dengan otak, sedangkan otak masyarakat Indonesia masih murni (orisinal) karena belum banyak tercemar oleh aktivitas membaca yang “neko-neko”.
Masyarakat belum banyak menyadari bahwa dengan banyak membaca ia akan lebih banyak tahu dan paham. Dengan membaca pula, seluruh organ tubuh kita melakukan aktivitas penting.
Dalam ajaran Islam misalnya, membaca merupakan perintah Tuhan kepada manusia yang pertama. Sebagaimana wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yakni iqra’ (bacalah). Selain itu, membaca akan dapat memperpanjang umur. Hal ini karena, ia akan selalu menggunakan otaknya untuk terus berpikir dan mengingat kejadian-kejadian yang telah lampau. Pendek kata, aktivitas membaca adalah revolusi peradaban.
Revolusi peradaban ini telah dimulai oleh Harian Surya. Surat kabar ini telah meletakan dasar kepedulian media massa terhadap wong cilik. Di saat banyak media massa hanya dikuasai oleh segelintir orang, Harian Surya memberikan pendidikan agar tidak melupakan dimensi sosial, yaitu masih banyaknya rakyat Indonesia yang berpenghasilan rendah sehingga kesulitan kalau tidak mau disebut enggan untuk membeli koran dengan harga tiga ribu rupiah.
Walaupun sekarang sedang marak managemen penerbitan koran menjual korannya dengan harga seribu di siang hari atau sore hari, namun Harian Surya, adalah koran pertama yang menuliskan bandrol harga seribu di wilayah Jawa Timur.
Dengan harga seribu, masyarakat dengan penghasilan rendah akan mampu berlangganan Harian Surya selama satu bulan atau bahkan satu tahun. Hanya dengan Rp 28.000, ia sudah dapat membaca Harian Surya. Dengan analisis yang cukup mendalam dan mudah dicerna, masyarakat akan mampu belajar mandiri, mengerti, dan memahami setiap persoalan yang muncul setiap harinya.
Bukan Monopoli
Sudah saatnya koran tidak menjadi monopoli masyarakat kelas menengah-atas atau kaum intelektual. Koran atau media cetak dapat menjadi konsumsi seluruh elemen bangsa yang haus informasi dengan pembahasan yang mendalam.
Wong cilik seperti buruh, tani dan nelayan sudah saatnya mampu berwacana dan menganalisis dengan cermat dan tepat setiap peristiwa. Pembaca koran seribuan diharapkan mampu menjadi pemikir baru yang radikal.
Hal ini karena, banyak peristiwa yang terjadi adalah cerminan dari ketidakmampuan mereka dalam berkehendak dan ketimpangan sistem serta ketidakpedulian pemerintah terhadap wong cilik.
Dengan mudahnya seluruh masyarakat mendapatkan Harian Surya yang dijajakan dengan harga seribu diharapkan mampu meningkatkan tradisi membaca dan berpikir kritis. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi dibelenggu oleh tradisi hafalan (lisan) yang mematikan imajinasi dan ide-ide kreatif.
Pada akhirnya, koran seribuan adalah bentuk kepedulian managemen Harian Surya terhadap wong cilik. Wong cilik dengan penghasilan minim, akan tetapi butuh informasi yang berbobot dan berimbang. Wong cilik adalah bagian dari masyarakat yang ingin maju dan mempunyai daya nalar yang tinggi.
Kemampuan wong cilik untuk membaca dengan baik diharapkan mampu membawa perubahan atau revolusi peradaban sebagaimana terjadi pada Revolusi Prancis yang didorong didisukseskan oleh kaum petani dan seniman.
Saatnya masyarakat tanpa membedakan status dan penghasilan mampu membeli dan membaca Harian Surya sebagai barometer informasi di tanah air pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya. Terima kasih Harian Surya.
Benni Setiawan
Peneliti Lentera Institute.
Selasa, 10 Februari 2009
Menyibak Jati Diri Manusia
Seputar Indonesia, Minggu, 07 February 2009
FAKTA menunjukkan bahwa kelahiran manusia di dunia ini dalam keadaan serbamisterius. Sulit diketahui secara pasti alasan dan tujuan kelahirannya, kapan, dan bagaimana pula kelahirannya itu berproses.
Tetapi berkat potensi kependidikannya, manusia berpikir secara terusmenerus mempelajari misteri itu. Dari fakta misteri itu, justru dapat dipetik suatu pelajaran bahwa keberadaan segala sesuatu ditentukan oleh rentetan panjang sebab akibat. Jadi, bukan dengan sendirinya. Dari rentetan sebab akibat itu, dapat dipastikan adanya sebab pertamanya (prima causa) yang ada atas dirinya sendiri, bersifat mutlak, hanya satu, dan sebagai sumber dari segala yang ada.
Dari garis panjang keberadaan nenek moyang manusia, dapat dipastikan ada manusia pertama. Namun bagaimana caranya manusia pertama itu berada, justru menyuguhkan keberadaan prima kausa tersebut (Suparlan Suhartono: 2008). Keunikan manusia lainnya adalah ia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan yang dibekali akal dan nafsu. Dengan bekal ini, manusia dapat bertumbuh dan berkembang menjadi manusia berkepribadian baik dan buruk.
Namun di tengah kondisi yang demikian,manusia mendapat amanat untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Dengan demikian, manusia mempunyai peran penting dalam menjaga harmoni makhluk bumi dan kelangsungan proses kehidupan di muka bumi. Tugas kemanusiaan yang berat inilah yang kemudian menjadikan manusia terus berpikir, bertindak, dan melakukan perubahan, berdasarkanpenemuan- penemuan penting (pengalaman).
Manusia harus beradaptasi dengan lingkungannya di tengah keterbatasan dan kelebihan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Melalui buku ini,C George Boeree (baca Boo-Ray),mengajak semua manusia untuk berpikir, merenung, dan bertindak atas nama ”kemanusiaannya”. Boeree melalui buku ini ingin menyibak misteri penciptaan manusia dari perspektif psikologi. Psikologi sebagai ilmu telah berkembang sejak akhir 1800-an. Buku General Psychology yang ditulis profesor pada Fakultas Psikologi Shippenburg University ini,didahului dengan pembahasan mengenai sistem saraf otak manusia.
Dari sini, kita akan banyak mendapatkan gambaran betapa otak manusia merupakan pusat segala tindakan yang akan sangat berpengaruh dalam kepribadian, persepsi, kognisi, emosi, dan perilaku.
Selanjutnya, ia menjelaskan secara detail bagaimana cara belajar dan meningkatkan kecerdasan, bagaimana cara kerja emosi dan motivasi yang Anda bentuk dalam kehidupan Anda, apa hakikat evolusi dan kehidupan budaya, bagaimana manusia bereproduksi secara seksual maupun pemikiran, bagaimana asal-usul dan cara kerja bahasa, tahap-tahap perkembangan dan kepribadianAnda, hingga berbagai gangguan kepribadian dengan berbagai terapi dan pengobatannya (halaman 6).
Buku ini merupakan terobosan baru bagi manusia yang ingin mengetahui jati dirinya. Melalui karyanya ini, Boeree sesungguhnya ingin mengajak manusia kembali membuka ”lembaran sejarah”proses kehidupan yang sedang dijalani. Kelebihan buku ini adalah ditulis pakar di bidang psikologi, sehingga dalam menjelaskan persoalan tidak bertele- tele,mudah dicerna dan dipahami. Kelebihan inilah yang memudahkan pembaca untuk memahami karya ini.
Buku ini menjadi menarik karena disertai gambargambar yang mampu memecah kelelahan saat membaca. Berbeda dengan buku psikologi yang cenderung deskriptif dengan analisis teori yang kuat dan ketat sehingga terkesan kaku. Buku ini menyajikan sekian teori dan analisis data dengan pembahasan yang sederhana, tidak menggurui, dan dijelaskan dengan bahasa tutur yang cukup rapi.
Untuk memudahkan pembaca dari disiplin ilmu nonpsikologi, kata-kata dan pembahasan yang penting dicetak tebal,sehingga seorang awam pun akan dimudahkan untuk memahami buku ini. Membaca General Psychology ini seperti membaca dan membedah diri kita sendiri. Banyak hal akan Anda temukan di dalamnya yang berkenan dengan kemahakuasaan Tuhan dalam proses penciptaan manusia.(*)
Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta