Ketidakadilan dalam Ujian Nasional
Sindo, 19/03/2007
Ujian Nasional (UN),menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 Pasal 4,dijadikan pertimbangan untuk a) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan,b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya,c) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan,d) akreditasi satuan pendidikan,dan e) pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.Sebuah hal yang ideal dalam dunia pendidikan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah UN yang dilakukan tidak lebih dari tiga hari,dengan tiga mata pelajaran (Matematika,Bahasa Indonesia,dan Bahasa Inggris) dapat dijadikan standar mutu pendidikan Indonesia? UN ternyata menyisakan sejumlah permasalahan.Tahun lalu,seorang guru di sebuah SMK di Cilegon harus berbuat hal yang sebaiknya tidak perlu dilakukan.Yaitu,memukul peserta didik hingga babak belur.Hal itu dilakukan karena rasa jengkel sang guru terhadap peserta didiknya.Sudah dibantu menyelesaikan soal ujian, malah tidak menunjukkan niat yang baik (terima kasih).
Seorang guru di Cilegon tersebut membantu peserta didiknya agar dapat lulus dengan nilai baik.Akan tetapi, cara yang dilakukan keliru.Dia mengirimkan sejumlah jawaban soal via SMS atau potongan kertas kecil yang dibagikan kepada peserta didik. Mengapa pahlawan tanpa tanda jasa tersebut melakukan hal demikian? Hal ini disebabkan ketakutan sang guru ketika banyak peserta didiknya tidak lulus ujian.Seorang guru dituntut sedemikian rupa agar seluruh peserta didiknya lulus 100%.Ketika banyak peserta didik yang tidak lulus,dia akan merasa malu.
Pada akhirnya,reputasi sekolah menurun dan tahun depan sekolah tidak akan mendapatkan peserta didik baru. Kelulusan 100% menjadi patokan baku bagi setiap sekolah.Bahkan,isu pemutasian guru dan kepala sekolah mengiringi peristiwa ini. UN juga meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi peserta didik. Beberapa tahun yang lalu di sebuah sekolah dasar,di Kebumen,Jawa Tengah,hanya mampu meluluskan enam orang peserta didiknya dari 38 peserta didik.Tahun berikutnya, sekolah tersebut tidak mampu meluluskan satu pun peserta didik.Apa yang terjadi?
Banyak anak-anak usia produktif sekolah terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikannya.Mereka banyak memilih sawah sebagai ladang belajarnya. Bahkan,dalam sebuah buku kenangkenangan, seorang peserta didik menuliskan cita-citanya ingin menjadi ’‘tukang mencari rumput yang andal’’. Sungguh menyedihkan. Sistem pendidikan Indonesia ternyata masih mengunggulkan kecerdasan intelektual (IQ).Tidak ada sedikit pun tempat (ruang) untuk kecerdasan-kecerdasan yang lain, untuk menjadi penentu kelulusan seseorang.
Karena itu,tidak aneh jika sekarang banyak peserta didik yang depresi berat.Hal itu disebabkan mereka dianggap bodoh dan tidak mampu lagi melanjutkan sekolahnya ke jenjang berikutnya. Akibat memikirkan UN dan persiapan menghadapi UN,seorang peserta didik sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Sukoharjo,Jawa Tengah,depresi.Dia sudah hampir tiga minggu tidak masuk sekolah.Ketika masuk sekolah,dia hanya menyalami beberapa guru dan teman-teman sekelasnya,kemudian pulang. Betapa tidak,mulai awal tahun ini, sekolahnya mengadakan jam tambahan belajar.Setiap hari Selasa dan Sabtu diadakan simulasi menghadapi UN (baca: try out).Bahkan,mulai awal April 2007,peserta didik kelas XII (III SMA) diwajibkan mengikuti jam tambahan belajar di sekolah.Penuh selama dua minggu.Tidak diperkenankan pulang. Setelah itu,mereka akan menghadapi UN sesungguhnya pada pertengahan April 2006.Rasanya, belum lepas rasa penat,mereka diwajibkan mengikuti ujian sekolah (praktik dan teori) hingga Mei 2007. Pemerintah dengan telah sengaja membiarkan generasi muda produktif bangsa Indonesia menjadi layu sebelum berkembang.Cita-cita besar membangun bangsa Indonesia kandas karena sistem UN yang tidak memihak.
Kedaulatan Guru
UN juga telah mencabut kedaulatan guru.Artinya,guru sebagai orang yang mendidik selama sekian tahun tidak diberi kekuasaan untuk menilai peserta didiknya.Kekuasaan dan kewenangan menyatakan peserta didik lulus atau tidak berada di tangan pemerintah.Seorang guru yang telah bergelut lama dengan peserta didik hanya dapat menahan kesedihan melihat banyak peserta didiknya tidak lulus sekolah. Guru tidak lebih seperti pekerja kasar
.Mereka dipekerjakan tanpa memedulikan hak-haknya.Jerih payah (pendidikan) yang dilakukan selama ini ditentukan dalam tiga hari.Ketika banyak peserta didik yang tidak lulus, mereka akan divonis tidak mampu mengantarkan peserta didiknya menjadi insan cerdas. Ketidakadilan UN semakin menambah deretan persoalan pendidikan Indonesia.Kebijakan pendidikan yang selalu berubah ketika para pemimpinnya ganti.Sekolahsekolah yang rusak dan hampir roboh, kesejahteraan guru yang memprihatinkan,dan seterusnya.
Sudah selayaknya UN dijadikan evaluasi bagi sekolah.Artinya, kewenangan untuk meluluskan atau tidak meluluskan peserta didik diserahkan sepenuhnya kepada guru sekolah yang ada.Hal ini disebabkan gurulah yang paling mengetahui tingkat kecerdasan seorang peserta didik.Mereka tidak hanya mengukur tingkat kecerdasan IQ belaka, melainkan kecerdasan-kecerdasan yang lain. Pemerintah sudah saatnya memikirkan hal lain yang lebih bermakna.Yaitu, bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan mutu guru,memperbaiki sekolah rusak,dan menjadikan pendidikan Indonesia lebih bermakna dari sekadar mengukurnya dengan nilai-nilai dalam bentuk angka.(*) BENNI SETIAWAN Pendidik di Universitas Muhammadiyah Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar