Search

Jumat, 13 Februari 2009

Koran Seribuan dan Peradaban



Surya, Kamis, 12 Februari 2009

Pada akhirnya, koran seribuan adalah bentuk kepedulian managemen Harian Surya terhadap wong cilik. Wong cilik dengan penghasilan minim, akan tetapi butuh informasi yang berbobot dan berimbang. Wong cilik adalah bagian dari masyarakat yang ingin maju dan mempunyai daya nalar yang tinggi.

MEMBACA bagi sebagian orang adalah pekerjaan yang berat. Apalagi membaca koran. Selain harus mengeluarkan uang, membaca koran dianggap sebagai hal yang menjemukan dan melelahkan. Masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan uang untuk rokok daripada membeli koran.

Pada tahun 2003 saja, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp 150 triliun per tahun, tetapi belanja surat kabar hanya Rp 4,9 triliun. Padahal, membaca merupakan bentuk kesadaran untuk maju dan berkembang. Dengan membaca seseorang dapat mengingat peristiwa yang telah lampau (sejarah) dan diharapkan mampu melakukan revolusi peradaban.

Ada hal yang menarik melihat geliat perkembangan media massa di Tanah Air, terutama di Jawa Timur. Manajemen Harian Surya melakukan terobosan baru dengan menjajakan produknya dengan harga seribu. Tentunya, hal ini membawa angin segar bagi pembaca. Di tengah semakin sulitnya mencari uang, seseorang dapat membaca media massa cetak dengan mudah dan murah. Lebih dari itu, di tengah tekanan harga kertas dunia yang kian melambung tinggi, manajemen Harian Surya juga tidak menaikkan harga.

Dengan harga yang terjangkau, dimungkinkan Harian Surya akan mudah diterima oleh kalangan masyarakat bawah sekalipun. Artinya, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa koran saat ini, hanya dikonsumsi orang-orang tertentu saja, yaitu kelas menengah dan atas.
Informasi melalui media cetak tidak saja menjadi konsumsi masyarakat kelas menangah saja. Sudah saatnya kaum menengah ke bawah dapat menikmati informasi yang berimbang, jernih dan berisi dari Harian Surya.

Terlepas dari strategi bisnis managemen Harian Surya untuk mempertahankan diri dari serbuan koran-koran lain, “ijtihad”-nya untuk turut serta menggairahkan minat baca masyarakat tentunya perlu kita apresiasi.

Revolusi Peradaban
Aktivitas membaca koran bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang masih sangat langka. Mereka lebih khawatir jika ponselnya tidak ada pulsa daripada otaknya kosong akibat tidak adanya bacaan. Maka muncul guyonan di tengah masyarakat dunia, bahwa harga otak masyarakat Indonesia sangat mahal dibandingkan dengan masyarakat AS, Jepang, China, India dan Rusia.

Hal ini karena, otak masyarakat industri maju sudah banyak tercemar oleh pemikiran yang aneh-aneh, karena banyak membaca dan beraktivitas dengan otak, sedangkan otak masyarakat Indonesia masih murni (orisinal) karena belum banyak tercemar oleh aktivitas membaca yang “neko-neko”.

Masyarakat belum banyak menyadari bahwa dengan banyak membaca ia akan lebih banyak tahu dan paham. Dengan membaca pula, seluruh organ tubuh kita melakukan aktivitas penting.

Dalam ajaran Islam misalnya, membaca merupakan perintah Tuhan kepada manusia yang pertama. Sebagaimana wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yakni iqra’ (bacalah). Selain itu, membaca akan dapat memperpanjang umur. Hal ini karena, ia akan selalu menggunakan otaknya untuk terus berpikir dan mengingat kejadian-kejadian yang telah lampau. Pendek kata, aktivitas membaca adalah revolusi peradaban.

Revolusi peradaban ini telah dimulai oleh Harian Surya. Surat kabar ini telah meletakan dasar kepedulian media massa terhadap wong cilik. Di saat banyak media massa hanya dikuasai oleh segelintir orang, Harian Surya memberikan pendidikan agar tidak melupakan dimensi sosial, yaitu masih banyaknya rakyat Indonesia yang berpenghasilan rendah sehingga kesulitan kalau tidak mau disebut enggan untuk membeli koran dengan harga tiga ribu rupiah.

Walaupun sekarang sedang marak managemen penerbitan koran menjual korannya dengan harga seribu di siang hari atau sore hari, namun Harian Surya, adalah koran pertama yang menuliskan bandrol harga seribu di wilayah Jawa Timur.

Dengan harga seribu, masyarakat dengan penghasilan rendah akan mampu berlangganan Harian Surya selama satu bulan atau bahkan satu tahun. Hanya dengan Rp 28.000, ia sudah dapat membaca Harian Surya. Dengan analisis yang cukup mendalam dan mudah dicerna, masyarakat akan mampu belajar mandiri, mengerti, dan memahami setiap persoalan yang muncul setiap harinya.

Bukan Monopoli
Sudah saatnya koran tidak menjadi monopoli masyarakat kelas menengah-atas atau kaum intelektual. Koran atau media cetak dapat menjadi konsumsi seluruh elemen bangsa yang haus informasi dengan pembahasan yang mendalam.
Wong cilik seperti buruh, tani dan nelayan sudah saatnya mampu berwacana dan menganalisis dengan cermat dan tepat setiap peristiwa. Pembaca koran seribuan diharapkan mampu menjadi pemikir baru yang radikal.
Hal ini karena, banyak peristiwa yang terjadi adalah cerminan dari ketidakmampuan mereka dalam berkehendak dan ketimpangan sistem serta ketidakpedulian pemerintah terhadap wong cilik.

Dengan mudahnya seluruh masyarakat mendapatkan Harian Surya yang dijajakan dengan harga seribu diharapkan mampu meningkatkan tradisi membaca dan berpikir kritis. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi dibelenggu oleh tradisi hafalan (lisan) yang mematikan imajinasi dan ide-ide kreatif.

Pada akhirnya, koran seribuan adalah bentuk kepedulian managemen Harian Surya terhadap wong cilik. Wong cilik dengan penghasilan minim, akan tetapi butuh informasi yang berbobot dan berimbang. Wong cilik adalah bagian dari masyarakat yang ingin maju dan mempunyai daya nalar yang tinggi.

Kemampuan wong cilik untuk membaca dengan baik diharapkan mampu membawa perubahan atau revolusi peradaban sebagaimana terjadi pada Revolusi Prancis yang didorong didisukseskan oleh kaum petani dan seniman.

Saatnya masyarakat tanpa membedakan status dan penghasilan mampu membeli dan membaca Harian Surya sebagai barometer informasi di tanah air pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya. Terima kasih Harian Surya.

Benni Setiawan
Peneliti Lentera Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar