Solo Pos, Kamis, 18 Februari 2010 , Hal.4
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menuai pro dan kontra. Pihak pro menyatakan bahwa RUU ini akan menjamin “kemerdekaan” bagi perempuan. Artinya, hak-hak perempuan akan terjamin sehingga ia tidak akan ditelantarkan oleh calon suami atau suami mereka sendiri.
Namun, bagi pihak kontra, RUU ini menciderai kebebasan pribadi. RUU ini dinilai lebih pada usaha mengatur urusan privat. Ada juga pihak kontra yang mendasarkan penolakannya pada dalil-dalil agama (Islam), sebagaimana aturan tentang diperbolehkannya melakukan poligami, bagi seorang suami dalam Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah prasangka-prasangka tersebut benar adanya? Bagaimana keberadaan RUU ini di masa yang akan datang?
RUU yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 ini memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinaan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Sebagaimana dalam Pasal 143, “Melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”. Pasal 144, “Melakukan perkawinan mutah diancam pidana paling lama tiga tahun penjara dan perkawinannya batal demi hukum”. Pasal 145, “Melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa izin dari pengadilan, dipidana denda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”.
Pasal 146, “Menceraikan istri tidak di depan pengadilan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman enam bulan penjara”. Pasal 147, “Menghamili perempuan yang belum menikah sehingga hamil, sedang ia menolak mengawini, dipidana paling lama tiga bulan penjara”.
RUU ini juga mengatur soal perkawinan campur (antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah senilai Rp 500 juta.
Melindungi hak
Jika ditilik dalam perspektif pro-RUU, aturan-aturan tersebut merupakan agenda nyata pemerintah dalam melindungi hak-hak perempuan. Perempuan dalam sistem perkawinan Indonesia mendapatkan perlindungan hukum dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap perempuan merupakan sebuah keniscayaan di era sekarang ini.
Sebagaimana kita ketahui bersama, di masyarakat masih ada pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang dipoligami misalnya, seringkali tidak mendapatkan hak yang bersifat kualitatif. Seperti kasih sayang, cinta dan perhatian.
Maka, tepatlah jika RUU ini mengatur keharusan seorang suami yang akan berpoligami harus seizin pengadilan. Hal ini karena pengadilanlah yang akan menentukan apakah seseorang mampu melangsungkan poligami dengan memenuhi dua unsur keadilan yaitu kualitatif dan kuantitatif.
Kehadiran RUU diharapkan semakin melengkapi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dicegah dengan pelarangan nikah siri dan nikah mutah. Pemidanaan nikah siri dan mutah merupakan pencegahan awal terjadinya kekerasan suami terhadap istri.
Kemudian mengapa banyak pihak menolak RUU ini? Memidanakan pelaku nikah siri, mutah, poligami tanpa izin pengadilan merupakan sebuah keadilan. Artinya, di tengah laju modernisme yang semakin cepat, pilihan pragmatis seringkali ditempuh oleh masyarakat.
Demikian juga dalam hal pernikahan. Jika pemerintah tidak melindungi warga negaranya, maka akan semakin banyak perempuan Indonesia manjadi janda karena dinikahi siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan.
Perilaku nikah siri dan mutah sebagaimana pernah ada di Puncak, Bogor, Jawa Barat, hanyalah seperti membeli kenikmatan dalam waktu sesaat. Setelah dipakai perempuan-perempuan tersebut dicampakkan begitu saja, tanpa diberi nafkah selayaknya seorang istri yang telah dinikahi.
Walaupun pernikahan merupakan urusan privat, namun ekses dari pernikahan merupakan urusan publik. Hal ini karena nikah bukan hanya urusan memuaskan nafsu, bertemunya seorang laki-laki dan perempuan, serta mendapatkan keturunan, namun nikah merupakan awal terbentuknya tatanan masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Dalam teori sosial kritis misalnya, berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja (Ben Agger: 2008).
Maka dari itu, jika dalam rumah saja dimulai dengan sesuatu yang terlarang dan dilarang, maka sulit diharapkan terjadinya perubahan sosial yang akan mendorong terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban.
Pelarangan nikah siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan, kiranya tepat guna menghindari justifikasi ayat-ayat kitab suci. Dengan peraturan ini seseorang akan tidak mudah menggunakan ayat suci untuk membenarkan perbuatan yang melanggar hak-hak hidup perempuan sebagai makhluk Tuhan.
Pada akhirnya, sudah saatnya RUU ini disambut dengan hangat dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Hal ini karena RUU ini akan merupakan manifestasi dari ajaran yang mulia (Alquran) yang menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan melarang adanya pembedaaan atau diskriminasi terhadap ciptaan Tuhan. Wallahu a’lam. -
Oleh : Benni Setiawan Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menuai pro dan kontra. Pihak pro menyatakan bahwa RUU ini akan menjamin “kemerdekaan” bagi perempuan. Artinya, hak-hak perempuan akan terjamin sehingga ia tidak akan ditelantarkan oleh calon suami atau suami mereka sendiri.
Namun, bagi pihak kontra, RUU ini menciderai kebebasan pribadi. RUU ini dinilai lebih pada usaha mengatur urusan privat. Ada juga pihak kontra yang mendasarkan penolakannya pada dalil-dalil agama (Islam), sebagaimana aturan tentang diperbolehkannya melakukan poligami, bagi seorang suami dalam Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah prasangka-prasangka tersebut benar adanya? Bagaimana keberadaan RUU ini di masa yang akan datang?
RUU yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 ini memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinaan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Sebagaimana dalam Pasal 143, “Melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”. Pasal 144, “Melakukan perkawinan mutah diancam pidana paling lama tiga tahun penjara dan perkawinannya batal demi hukum”. Pasal 145, “Melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa izin dari pengadilan, dipidana denda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan”.
Pasal 146, “Menceraikan istri tidak di depan pengadilan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman enam bulan penjara”. Pasal 147, “Menghamili perempuan yang belum menikah sehingga hamil, sedang ia menolak mengawini, dipidana paling lama tiga bulan penjara”.
RUU ini juga mengatur soal perkawinan campur (antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah senilai Rp 500 juta.
Melindungi hak
Jika ditilik dalam perspektif pro-RUU, aturan-aturan tersebut merupakan agenda nyata pemerintah dalam melindungi hak-hak perempuan. Perempuan dalam sistem perkawinan Indonesia mendapatkan perlindungan hukum dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap perempuan merupakan sebuah keniscayaan di era sekarang ini.
Sebagaimana kita ketahui bersama, di masyarakat masih ada pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang dipoligami misalnya, seringkali tidak mendapatkan hak yang bersifat kualitatif. Seperti kasih sayang, cinta dan perhatian.
Maka, tepatlah jika RUU ini mengatur keharusan seorang suami yang akan berpoligami harus seizin pengadilan. Hal ini karena pengadilanlah yang akan menentukan apakah seseorang mampu melangsungkan poligami dengan memenuhi dua unsur keadilan yaitu kualitatif dan kuantitatif.
Kehadiran RUU diharapkan semakin melengkapi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dicegah dengan pelarangan nikah siri dan nikah mutah. Pemidanaan nikah siri dan mutah merupakan pencegahan awal terjadinya kekerasan suami terhadap istri.
Kemudian mengapa banyak pihak menolak RUU ini? Memidanakan pelaku nikah siri, mutah, poligami tanpa izin pengadilan merupakan sebuah keadilan. Artinya, di tengah laju modernisme yang semakin cepat, pilihan pragmatis seringkali ditempuh oleh masyarakat.
Demikian juga dalam hal pernikahan. Jika pemerintah tidak melindungi warga negaranya, maka akan semakin banyak perempuan Indonesia manjadi janda karena dinikahi siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan.
Perilaku nikah siri dan mutah sebagaimana pernah ada di Puncak, Bogor, Jawa Barat, hanyalah seperti membeli kenikmatan dalam waktu sesaat. Setelah dipakai perempuan-perempuan tersebut dicampakkan begitu saja, tanpa diberi nafkah selayaknya seorang istri yang telah dinikahi.
Walaupun pernikahan merupakan urusan privat, namun ekses dari pernikahan merupakan urusan publik. Hal ini karena nikah bukan hanya urusan memuaskan nafsu, bertemunya seorang laki-laki dan perempuan, serta mendapatkan keturunan, namun nikah merupakan awal terbentuknya tatanan masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Dalam teori sosial kritis misalnya, berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja (Ben Agger: 2008).
Maka dari itu, jika dalam rumah saja dimulai dengan sesuatu yang terlarang dan dilarang, maka sulit diharapkan terjadinya perubahan sosial yang akan mendorong terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban.
Pelarangan nikah siri, mutah, dan poligami tanpa izin pengadilan, kiranya tepat guna menghindari justifikasi ayat-ayat kitab suci. Dengan peraturan ini seseorang akan tidak mudah menggunakan ayat suci untuk membenarkan perbuatan yang melanggar hak-hak hidup perempuan sebagai makhluk Tuhan.
Pada akhirnya, sudah saatnya RUU ini disambut dengan hangat dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Hal ini karena RUU ini akan merupakan manifestasi dari ajaran yang mulia (Alquran) yang menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan melarang adanya pembedaaan atau diskriminasi terhadap ciptaan Tuhan. Wallahu a’lam. -
Oleh : Benni Setiawan Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar