Oleh Benni Setiawan
Opini, Harian Joglosemar, Sabtu, 11 Agustus 2012
Perampok menyelinap di hampir seluruh departemen di negeri ini. Perampok yang satu ini beda dengan begal jalanan. Perampok bertitel Prof, DR, Jenderal, Kiai dan Haji, bahkan berkali-kali mengunjungi tanah suci ini menggasak uang negara triliunan rupiah.
Perseteruan dua lembaga hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian dalam menangani kasus korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM), menunjukkan betapa pusat-pusat kekuasaan telah terjangkiti penyakit akut bernama, korupsi.
Sebelumnya, kita mendapat gambaran nyata dari temuan Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). FITRA menilai Kejaksaan sebagai lembaga terkorup di Republik ini. Terdapat potensi kerugian negara sekitar Rp 5,43 triliun dari total potensi kerugian negara senilai Rp 16,4 triliun di 83 kementerian atau lembaga negara.
Kementerian Keuangan menempati posisi kedua yang paling korup. Nilai potensi kerugian negara di kementerian itu mencapai Rp 5,35 triliun. Di posisi ketiga, diduduki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan nilai potensi kerugian negara sekitar Rp 3,3 triliun. Terdapat 887 kasus dugaan penyimpangan keuangan negara di Kementerian itu.
Kementerian selanjutnya, berturut-turut, yakni Kementerian Kesehatan (Rp 332 ,8 miliar), Kementerian ESDM (Rp 319 ,1 miliar), Kementerian Kehutanan (Rp 163 ,5 miliar), Kementerian Sosial (Rp 157 ,8 miliar), Kementerian Agama (Rp 119 ,3 miliar), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Rp 115 ,4 miliar), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Rp 102 ,4 miliar).
Temuan FITRA ini selaras dengan pernyataan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua. Ia berujar bahwa tidak ada departemen yang bebas dari korupsi. Walaupun demikian, sungguh ironis jika pejabat di Kejaksaan, Kemenkeu, dan Kemdikbud melakukan pelanggaran berat terhadap Tuhan dan kemanusiaan.
Tiga Pilar
Pasalnya tiga kementerian itu merupakan pilar atau penyangga utama negara. Kejaksaan sebagai penegak hukum; Kemenkeu sebagai pengatur tata kelola keuangan; dan Kemdikbud sebagai pengelola program pencerdasan bagi peradaban bangsa. Ketika aturan hukum dipermainkan dan dikalahkan dengan uang, bagaimana keadilan akan mewujud. Tentunya yang ada hanyalah menghukum si miskin dan membebaskan si kaya dan berkuasa.
Demikian pula, ketika pajak yang dibayarkan rakyat dari hasil jerih payah ditilap dengan sengaja oleh petugas-petugas bermental rakus. Tentunya pembangunan fasilitas sosial terhenti. Maka jangan heran jika banyak sekolah roboh dan jembatan ambruk.
Ironisnya, kementerian yang diharapkan mampu menjadikan manusia muda menjadi dewasa dan mencapai taraf insani terhanyut dalam persoalan yang sama. Korupsi di Kemdikbud tentunya mencoreng wajah pendidikan dan kebudayaan yang mulia. Sebuah penghianatan moral dan intelektul yang patut dikutuk di dunia dan akherat. Jika Kejaksaan, Kemenkeu, dan Kemdikbud saja bermain mata dengan korupsi, bagaimana kondisi kebangsaan saat ini.
Kondisinya tentu gawat darurat. Keadaan ini semakin diperparah oleh perilaku buruk dan tercela sebagian anggota dewan perwakilan rakyat (DPR). Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap 10 anggota Badan Anggaran DPR yang terindikasi korupsi. PPATK menemukan sekitar 1000 transaksi keuangan yang mencurigakan terhadap 10 anggota Banggar tersebut. Misalnya, ada anggota Banggar yang menerima aliran uang masuk setiap minggu yang nilainya miliar rupiah. Tentunya hal ini mencurigakan, karena anggota DPR mendapat gaji setiap bulan.
Kekafiran-Kemunafikan
Mengapa korupsi merupakan pelanggaran berat terhadap Tuhan? Pasalnya meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan (2007), korupsi menjadi indikasi kekafiran (ingkar pada Tuhan) ketika si pelaku sebenarnya tidak terlalu percaya bahwa Tuhan melihat apa yang mereka lakukan dan tidak terlalu percaya bahwa Tuhan akan membalas setiap tindakan buruk yang dilakukan. Kedermawanan dari hasil korupsi bisa merupakan tindakan mempermainkan kekuasaan Tuhan ketika si pelaku percaya dan bisa memperoleh ampunan Tuhan.
Dalam bahasan agama (Islam), tindakan korupsi yang berhubungan dengan kebohongan publik, pengkhianatan (penyelewengan atas kepercayaan yang diberikan), dan pengingkaran atas janji merupakan penanda kemunafikan (kepalsuan dan kepura-puraan). Dalam hubungan itulah penerjemahan efektif terhadap berbagai ajaran agama (Islam) dalam suatu sistem sosial, ekonomi, dan politik yang mampu menjamin praktik kehidupan yang adil, jujur, terbuka, dan bertanggung jawab merupakan langkah strategis.
Dengan konsep ini berarti koruptor bertitel Kiai-Haji dan atau apapun gelarnya telah dengan sengaja mendustakan Tuhan. Mereka jauh dari realitas pemaknaan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka setiap hari selalu berjalan di muka bumi dengan “kesombongan” sembari melafalkan ayat-ayat Tuhan untuk menutupi kebusukannya. Mereka mengucap ayat tanpa rasa harap (takut) terhadap Pembuat Ayat. Inilah bentuk kekafiran yang nyata jika dibandingkan dengan orang yang selama ini dicap sebagai kafir tulen.
Ngakali Tuhan
Mereka hanya bangga terhadap “penuhanan” gelar dan berderma atas dasar keinginan menghapus dosa besar yang telah ia lakukan. Dalam kasus kedua ini, sang pejabat seakan “ngakali Tuhan” dengan dalil yang telah mereka ujarkan kepada umat.
Proses ngakali ini terjadi saat memaknai ayat barangsiapa berderma di jalan Tuhan, maka akan dilipatgandakan pahalanya hingga 700 kali. Dengan ayat tersebut, seseorang akan dengan mudah mendapatkan penghapusan dosa dengan amalnya. Pemahaman klasik yang tidak menyentuh realitas kekinian seakan menciderai spirit keadilan yang menjadi ciri utama agama (Islam).
Maka dari itu, koruptor yang beramal sudah saatnya mendapat minimal 700 kali keburukan dari apa yang didermakan. Mereka tidak mendapatkan sedikitpun kebaikan, karena uang yang dipakai merupakan hasil penjarahan terhadap keringat rakyat jelata.
Dalam konteks korupsi dalam bidang apapun, ancaman terhadap pelaku sudah selayaknya tidak hanya sebatas himbauan moral dan melindungi mereka atas alasan prasangka tidak bersalah. Namun, bergegas bersama menangkap dan menggantung pelaku di lapangan terbuka. Pasalnya, pelaku bukanlah orang yang tidak paham terhadap hukum agama, namun, ia adalah pejabat yang memangku kewenangan dan menguasai hajat hidup orang banyak. Maka tanggung jawab moralnya tidak hanya kepada Tuhan namun juga kepada masyarakat. Dengan cara itu, masyarakat akan belajar bahwa hukum merupakan alat pembelajaran dan pendidikan yang efektif.
Itulah proses keadilan yang kini mulai sirna di negeri ini. Koruptor sebagai penjahat kelas paus selalu dipuja dengan sorot kamera. Mereka selalu mendapat pembelaan dari pengacara yang mampu membolak-balikan peraturan sesuai dengan perspektif dan kehendak klien. Namun, begal jalanan selalu babak belur dihajar massa tanpa proses hukum yang konon menjadi panglima.
Pada akhirnya, terbongkarnya korupsi di Kejaksaan, Kemenkeu, dan Kemdikbud, serta hampir seluruh departeman di Republik ini seakan menjadi bukti betapa kuasa dan gelar telah diagungkan guna menutupi kebobrokan individu. Korupsi di kementerian tersebut pun menjadi penanda betapa kesalehan yang ditampilkan oleh pejabat di institusi penegakan hukum, pengatur tata kelola keuangan negara, dan penata sistem pendidikan dan kebudayaan tak ubahnya sebagai manipulasi dan atau kepalsuan (Benni Setiawan).
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Kamis, 30 Agustus 2012
Manifestasi Agama di Jalan Raya
Oleh Benni Setiawan
Gagasan, Solopos, Jum'at, 24 Agustus 2012
Mati di jalan sepertinya telah menjadi ritual harian. Apalagi pada masa arus mudik dan balik Lebaran saat ini. Sampai H+3 Lebaran terjadi 5.161 kecelakaan lalu lintas dengan korban lebih dari 600 orang meninggal, 837 orang luka berat dan 9.289 orang luka ringan.
Kerugian materi akibat kecelakaan itu mencapai Rp5,4 miliar. Dibandingkan kurun waktu yang sama tahun lalu, menurut Korlantas Polri, kecelakaan tahun ini meningkat 25 persen. Penyebab terbesar faktor manusia yakni 2.097 kasus, seperti mengantuk. Dibandingkan tahun lalu memang menurun 46 persen. Penyebab lainnya faktor kelaikan kendaraan dan kelaikan jalan.
Media massa mencatat 70 persen dari total kasus kecelakaan melibatkan sepeda motor dan mobil penumpang. Dengan jumlah pemudik 8,7 juta dari Jabodetabek, sebagian dari 22 juta lebih pemudik seluruh Indonesia, jumlah pemudik bersepeda motor dominan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa kecelakaan di jalan raya senantiasa meningkat dari tahun ke tahun? Bagaimana agama berkontribusi dalam menekan korban jiwa di jalan raya?
Kosmologi Jawa
Semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas menunjukkan rendahnya budaya tertib di jalan. Masyarakat Indonesia, sebagaimana penilaian Mochtar Lubis sekian tahun lalu, masih terkungkung dalam budaya suka menerobos dan suka mencari jalan pintas dalam mencapai tujuan.
Manusia Indonesia tidak suka berproses. Manusia Indonesia enggan untuk antre. Mereka ingin selalu cepat dengan cara-cara yang sering kali membahayakan diri sendiri dan orang lain. Budaya negatif ini sepertinya telah dianggap biasa.
Melanggar lalu lintas menjadi hal wajar. Memacu kendaraan saat lampu lalu lintas menunjukkan warna kuning ibarat sebuah keharusan. Padahal lampu kuning merupakan peringatan untuk segera berhenti, bukan untuk semakin nyelonong.
Budaya bangsa adiluhung pun hanya dalam kenangan. Dalam kosmologi Jawa, jika seseorang menabrak seekor kucing dan kucing itu mati, ia berkewajiban menguburkan hewan tersebut dan tidak melalukan perjalanan selama tujuh hari tujuh malam. Dia juga harus mengelilingi bangkai kucing itu hingga tujuh kali.
Piwulang bersumber kosmologi Jawa tersebut kini tergerus laju pemaknaan mitos. Artinya, ajaran ersebut tidak dimaknai sebagai sebuah penanda kearifan lokal bahwa manusia perlu menghormati makhluk hidup. Jika dalam diri seseorang telah terpatri rasa penghormatan terhadap sesuatu yang bernyawa, ia akan bertindak secara lebih bijak dalam setiap keadaan.
Demikian pula dalam hal berlalu lintas atau berkendara di jalan raya. Ia akan selalu patuh pada rambu lalu lintas dan tertib dalam berkendara. Selain terikat oleh norma kesusilaan, masyarakat Indonesia juga terikat pada norma agama.
Agama sebagai pilihan dan jalan hidup mengajarkan untuk selalu menghormati orang lain. Agama senantiasa mengajarkan kesabaran. Terburu-buru merupakan perilaku setan, makhluk Tuhan yang terkutuk.
Belum lekang rasanya puasa Ramadan yang telah dijalani umat Islam selama satu bulan. Puasa Ramadan selayaknya berbekas guna menggapai kehidupan selama minimal satu tahun ke depan.
Puasa Ramadan selayaknya menjadikan diri kita tertib. Selama Ramadan kita dilatih selama sebulan untuk tertib dalam makan sahur dan berbuka puasa.
Kesalehan Sosial
Namun, seberapa dalam puasa Ramadan membekas dalam pribadi setiap muslim? Seorang muslim dapat lebih patuh pada peraturan sebagai pengejawantahan taat kepada ulil amri (pemimpin bangsa).
Dalam hal ketaatan pun seorang muslim dilatih dalam salat berjemaah. Seorang muslim tidak diperkenankan mendahului imam. Imam adalah seorang pemimpin yang wajib diikuti.
Bentuk ketaatan seperti itu selayaknya tidak menjadi ritus pribadi (kesalehan individu) namun juga menjadi ritus sosial (kesalehan sosial) yang mewujud. Ketika ritus sosial tidak sejalan dan sebangun dengan ritus pribadi maka perlu ada rekonstruksi keimanan. Artinya, perlu dicari apa yang salah dalam proses ritus pribadi.
Agama bukanlah hanya hidup di tempat-tempat ibadah saja. Agama merupakan perwujudan perilaku dan tata sosial umat yang melingkupi seluruh aspek. Di rumah, kantor, jalan dan seterusnya agama harus tetap melekat dalam pribadi setiap manusia.
Tanpa hal yang demikian, agama menjadi kerdil. Pemaknaan agama hanya sebatas pengucapan lisan yang sampai kerongkongan dan tidak menyentuh kedalaman kalbu (hati).
Jika pemaknaan agama masih sebatas ritus pribadi dan tidak membudaya, manusia akan terjebak dalam kubangan sekte atau sekat-sekat primordial. Konflik agama akan menjadi hal wajar di tengah keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi.
Pada akhirnya, jalan raya bukanlah tempat untuk menghalalkan ”pembunuhan massal”. Budaya tertib di jalan berlandaskan pada falsafah bangsa dan pemahaman keagamaan yang benar seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia.
Tanpa hal yang demikian, agama akan semakin terasing dan jauh dari berbagai persoalan sosial yang semakin rumit. Wallahu a’lam.
Gagasan, Solopos, Jum'at, 24 Agustus 2012
Mati di jalan sepertinya telah menjadi ritual harian. Apalagi pada masa arus mudik dan balik Lebaran saat ini. Sampai H+3 Lebaran terjadi 5.161 kecelakaan lalu lintas dengan korban lebih dari 600 orang meninggal, 837 orang luka berat dan 9.289 orang luka ringan.
Kerugian materi akibat kecelakaan itu mencapai Rp5,4 miliar. Dibandingkan kurun waktu yang sama tahun lalu, menurut Korlantas Polri, kecelakaan tahun ini meningkat 25 persen. Penyebab terbesar faktor manusia yakni 2.097 kasus, seperti mengantuk. Dibandingkan tahun lalu memang menurun 46 persen. Penyebab lainnya faktor kelaikan kendaraan dan kelaikan jalan.
Media massa mencatat 70 persen dari total kasus kecelakaan melibatkan sepeda motor dan mobil penumpang. Dengan jumlah pemudik 8,7 juta dari Jabodetabek, sebagian dari 22 juta lebih pemudik seluruh Indonesia, jumlah pemudik bersepeda motor dominan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa kecelakaan di jalan raya senantiasa meningkat dari tahun ke tahun? Bagaimana agama berkontribusi dalam menekan korban jiwa di jalan raya?
Kosmologi Jawa
Semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas menunjukkan rendahnya budaya tertib di jalan. Masyarakat Indonesia, sebagaimana penilaian Mochtar Lubis sekian tahun lalu, masih terkungkung dalam budaya suka menerobos dan suka mencari jalan pintas dalam mencapai tujuan.
Manusia Indonesia tidak suka berproses. Manusia Indonesia enggan untuk antre. Mereka ingin selalu cepat dengan cara-cara yang sering kali membahayakan diri sendiri dan orang lain. Budaya negatif ini sepertinya telah dianggap biasa.
Melanggar lalu lintas menjadi hal wajar. Memacu kendaraan saat lampu lalu lintas menunjukkan warna kuning ibarat sebuah keharusan. Padahal lampu kuning merupakan peringatan untuk segera berhenti, bukan untuk semakin nyelonong.
Budaya bangsa adiluhung pun hanya dalam kenangan. Dalam kosmologi Jawa, jika seseorang menabrak seekor kucing dan kucing itu mati, ia berkewajiban menguburkan hewan tersebut dan tidak melalukan perjalanan selama tujuh hari tujuh malam. Dia juga harus mengelilingi bangkai kucing itu hingga tujuh kali.
Piwulang bersumber kosmologi Jawa tersebut kini tergerus laju pemaknaan mitos. Artinya, ajaran ersebut tidak dimaknai sebagai sebuah penanda kearifan lokal bahwa manusia perlu menghormati makhluk hidup. Jika dalam diri seseorang telah terpatri rasa penghormatan terhadap sesuatu yang bernyawa, ia akan bertindak secara lebih bijak dalam setiap keadaan.
Demikian pula dalam hal berlalu lintas atau berkendara di jalan raya. Ia akan selalu patuh pada rambu lalu lintas dan tertib dalam berkendara. Selain terikat oleh norma kesusilaan, masyarakat Indonesia juga terikat pada norma agama.
Agama sebagai pilihan dan jalan hidup mengajarkan untuk selalu menghormati orang lain. Agama senantiasa mengajarkan kesabaran. Terburu-buru merupakan perilaku setan, makhluk Tuhan yang terkutuk.
Belum lekang rasanya puasa Ramadan yang telah dijalani umat Islam selama satu bulan. Puasa Ramadan selayaknya berbekas guna menggapai kehidupan selama minimal satu tahun ke depan.
Puasa Ramadan selayaknya menjadikan diri kita tertib. Selama Ramadan kita dilatih selama sebulan untuk tertib dalam makan sahur dan berbuka puasa.
Kesalehan Sosial
Namun, seberapa dalam puasa Ramadan membekas dalam pribadi setiap muslim? Seorang muslim dapat lebih patuh pada peraturan sebagai pengejawantahan taat kepada ulil amri (pemimpin bangsa).
Dalam hal ketaatan pun seorang muslim dilatih dalam salat berjemaah. Seorang muslim tidak diperkenankan mendahului imam. Imam adalah seorang pemimpin yang wajib diikuti.
Bentuk ketaatan seperti itu selayaknya tidak menjadi ritus pribadi (kesalehan individu) namun juga menjadi ritus sosial (kesalehan sosial) yang mewujud. Ketika ritus sosial tidak sejalan dan sebangun dengan ritus pribadi maka perlu ada rekonstruksi keimanan. Artinya, perlu dicari apa yang salah dalam proses ritus pribadi.
Agama bukanlah hanya hidup di tempat-tempat ibadah saja. Agama merupakan perwujudan perilaku dan tata sosial umat yang melingkupi seluruh aspek. Di rumah, kantor, jalan dan seterusnya agama harus tetap melekat dalam pribadi setiap manusia.
Tanpa hal yang demikian, agama menjadi kerdil. Pemaknaan agama hanya sebatas pengucapan lisan yang sampai kerongkongan dan tidak menyentuh kedalaman kalbu (hati).
Jika pemaknaan agama masih sebatas ritus pribadi dan tidak membudaya, manusia akan terjebak dalam kubangan sekte atau sekat-sekat primordial. Konflik agama akan menjadi hal wajar di tengah keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi.
Pada akhirnya, jalan raya bukanlah tempat untuk menghalalkan ”pembunuhan massal”. Budaya tertib di jalan berlandaskan pada falsafah bangsa dan pemahaman keagamaan yang benar seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia.
Tanpa hal yang demikian, agama akan semakin terasing dan jauh dari berbagai persoalan sosial yang semakin rumit. Wallahu a’lam.