Search

Selasa, 14 Mei 2013

World Stateman Award Vs HRW

Oleh Benni Setiawan



Gagasan, Koran Jakarta, 13 Mei 2013

Appeal of Conscience Foundation (ACF), sebuah lembaga yang mempromosikan perdamaian, toleransi, dan resolusi konflik etnis, memberikan World Stateman Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lembaga yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada tahun 1965 itu menilai baik kinerja SBY terkait isu toleransi dan kebebasan berkeyakinan.

Penghargaan tersebut bertolak belakang dengan temuan Human Right Watch (HRW), lembaga internasional pemerhati hak asasi manusia (HAM). HRW menyebut pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY lembek menghadapi gerombolan militan antipluralisme.

Kelompok-kelompok itu mengintimidasi dan menyerang rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama. Temuan HRW menyebut gerombolan militan itu makin lama tambah agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, maupun muslim Syiah.

Tidak aneh jika penghargaan tersebut dipertanyakan. Salah satunya disuarakan Aliansi Sumut Bersatu (ASB). LSM yang peduli pada isu kebebasan beragama, khususnya di Sumatra, itu menilai bahwa pemberian penghargaan kepada Presiden SBY tidak tepat. Berdasarkan pantauan ASB melalui lima media lokal di Sumatra Utara tentang situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan pada tahun 2011, terjadi 63 kasus.

Kemudian, tahun 2012, meningkat menjadi 75 kasus. Selain itu, sejak tahun 2009 sampai sekarang, ASB membantu advokasi berbagai persoalan rumah ibadah di beberapa wilayah, seperti ancaman pembongkaran patung Budha Amitabha di Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai, Sumatra Utara, pembakaran Gereja HKBP dan Gereja Pentakosta di Sibuhuan, Kabupaten Padang Lawas, Sumut, serta penyerangan dan penolakan pembangunan Gereja HKBP di Kota Binjai.

Ada lagi penyerangan terhadap masjid Ahmadiyah di Kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumut. Demikian juga dengan penyegelan 16 gereja dan 1 rumah ibadah lokal (penghayat kepercayaaan) di Kabupaten Aceh Singkil, NAD, penutupan 9 gereja dan 5 wihara di Kota Banda Aceh, NAD, serta penolakan dan pemberhentian pembangunan Masjid Al Munawar Sarulla, Desa Mahornop Marsada, Kecamaten Pahae Jae, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumut.

Menilik data tadi, ASB menilai penghargaan yang akan diberikan Appeal of Conscience Foundation kepada SBY bukan hanya tidak tepat, tetapi jauh dari itu, telah melukai para korban intoleransi di Indonesia.

Ketakutan

Kekerasan dan intoleransi yang terjadi di Indonesia mengindikasikan ada yang keliru dalam kehidupan keberagamaan negeri ini. Masyarakat masih terjebak sekat-sekat primordial agama yang menjadikan dirinya menutup diri kepada orang lain. Banyak penganut agama menganggap sesama sebagai orang lain (liyan). Mereka masuk neraka. Hanya golongannya yang masuk surga.

Menilik kondisi yang demikian, Djohan Effendi (1978) menyebut hubungan antarumat beragama di Indonesia tidak bisa lepas dari problem mayoritas dan minoritas. Di kalangan mayoritas, timbul perasaan tidak puas karena merasa terdesak posisi dan perannya. Sedangkan di kalangan minoritas timbul ketakutan karena merasa terancam eksistensi dan hak-haknya.

Problem tadi, yakni perasaan terdesak di satu pihak dan terancam di pihak lain, membawa implikasi dalam hubungan antarumat agama, pergaulan masyarakat, dan bisa menggejala dalam berbagai bentuk ketegangan.

Hal-hal tersebut berjalan berkelindan satu sama lain dan menimbulkan problem-problem lain. Ditambah lagi kurang adanya pergaulan yang erat antara pemuka agama. Maka, ancaman terhadap kehidupan rukun cukup besar (Greg Barton, 1999).

Gamang

Kondisi itu tidak lepas dari gamangnya pemerintah dalam mengelola keberagamaan di Tanah Air. Pemerintah masih saja berdiri atas nama mayoritas dan menindas minoritas. Gambaran paling nyata dalam hal itu dengan diberlakukannya SKB Tiga Menteri No 9 dan 8/2006. Peraturan ini seakan menjadi senjata legal kelompok mayoritas untuk mempersulit, bahkan melarang, upaya pembangunan rumah ibadah oleh kelompok agama lain yang secara politik dan sosial pada posisi minoritas.

Gejala politik saling menyandera atas nama kuasa mayoritas-minoritas ini sangat ironis mengingat tujuan awal SKB untuk meminimalkan konflik rumah ibadah yang dapat merusak hubungan antarumat beragama. Pada kenyataannya, SKB Tiga Menteri menjadi salah satu faktor pemicu eskalasi konflik pendirian rumah ibadah di banyak tempat.

Pembiaran upaya penyesatan ajaran aliran keagamaan dan konflik pendirian rumah ibadah akan berpengaruh pada tingkat instabilitas politik dan kerentanan konflik di ranah domestik (Fajar Riza ul Haq, 2013).

Ironisnya, pemerintah seperti sengaja membiarkan konflik. Pemerintah bahkan menggunakan instrumen "konflik" ini untuk menutupi ketidakmampuan melindungi segenap tumpah darah Indonesia yang merupakan amanat UUD 1945, sumber peraturan tertinggi negara.

Sikap toleran kepada sesama telah hilang. Yang ada hanyalah benih-benih kebencian dan kekerasan. Sikap tersebut akan semakin menyuburkan intoleransi yang akan mengganggu hubungan antaragama dan stabilitas nasional.

Lebih lanjut, pemerintah masih abai terhadap keselamatan (kemaslahatan) bangsa. Padahal kemaslahatan menjadi pokok kehidupan. Meminjam istilah Imam al-Ghazali, ketentuan hukum, undang-undang, dan sikap pemerintah seharusnya mampu menjamin kelangsungan hidup (hifz al-nafs), kebebasan beropini dan berekspresi (hifz al-aql), kebebasan beragama (hifz al-din), hak dan kesehatan reproduksi (hifz an-nasl) untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan hak properti (hifz al-maal), hak mendapat pekerjaan atau upah layak, serta hak memperoleh jaminan perlindungan dan kesejahteraan.

Kelangsungan hidup belum terjamin. Kebebasan beropini, berekspresi, dan beragama pun menjadi barang langka. Minoritas dipaksa mengikuti aturan main mayoritas. Jika tidak mau, tempat ibadat mereka dibakar, bahkan dirobohkan.

Kaum minoritas pun semakin tersandera, baik secara fisik maupun psikis, oleh aturan yang ndakik-ndakik (canggih). Mereka senantiasa dalam tekanan dan intimidasi dalam setiap menjalankan peribadatan karena kampung dan tempat ibadatnya sewaktu-waktu dapat diserang kelompok yang mengaku menegakkan peraturan.

Seperti yang terjadi di Kampung Wanisagara, Desa Tejowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu, 5 Mei 2013 pukul 01.00 WIB dini hari. Kampung Jemaah Ahmadiyah di Tasikmalaya itu diserang oleh kelompok yang tak dikenal. Beberapa pelaku berteriak takbir saat menyerang. Pelaku penyerangan diperkirakan sekitar 100–200 orang.

Penyerangan kampung Jemaat Ahmadiyah itu bukanlah yang pertama kali. Menurut data LBH Bandung, sejak bulan Januari hingga April 2013, tercatat tidak kurang 18 peristiwa penyerangan mengatasnamakan agama.

Data tersebut semakin mengukuhkan betapa kemerdekaan memeluk dan beribadat sesuai dengan agama dan/atau kepercayaan masing-masing berlum terjamin. Pemerintah masih saja membiarkan kebengisan kelompok intoleran dalam membangun keadaban bangsa. Padahal keadaban bangsa tidak akan pernah terbangun dari tindak kekerasan dan intoleransi. Bahkan bangsa ini dapat roboh akibat perbuatan aniaya (untuk tidak menyebut biadab) tersebut.

Menilik hal tersebut, apakah Presiden SBY atas nama bangsa Indonesia berhak mendapat penghargaan tersebut? Tampaknya perlu ditinjau ulang sebab pemerintah masih gagal menegakkan toleransi berbasis kemanusiaan. Pemerintah masih tersandera kelompok antipluralisme yang senantiasa merasa berlindung di bawah payung hukum setiap bertindak merusak.


Oleh Benni Setiawan
Penulis adalah dosen Universitas Negeri Yogyakarta,
peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Cool Home cinema Decor Strategies

my homepage ... malady

Anonim mengatakan...

This is really interesting, You're a very skilled blogger. I've joined your rss feed and look forward to seeking more of your
magnificent post. Also, I've shared your web site in my social networks!

Stop by my site: books of ra kostenlos

Posting Komentar