oleh Benni Setiawan,
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
Solopos, Sabtu, 11 Mei 2013
Setelah mendapatkan gelar doktor honoraris causa dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali mendapat penghargaan. Kali ini berasal dari Yayasan Appeal of Conscience. Yayasan yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, itu memberikan penghargaan World Stateman untuk SBY.
Yayasan yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada 1965 itu menilai Presiden SBY berkontribusi besar terhadap resolusi konflik, baik sipil maupun agama, di Indonesia. Penghargaan yang berkorelasi dengan prestasi bidang resolusi konflik ini mendapat protes dari berbagai kalangan. Mereka menyatakan bahwa Presiden SBY tidak layak mendapatkan penghargaan tersebut. Mereka beralasan Presiden SBY gagal melindungi kaum minoritas di negeri ini.
Data Setara Institute menyatakan pada 2012 di negeri ini telah terjadi 317 tindakan dan 264 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kekerasan atas nama agama bukan hanya dilakukan masyarakat, melainkan juga lembaga peradilan dan institusi negara. Senada dengan Setara Institute, secara lebih tegas, lembaga pemerhati HAM internasional, Human Rights Watch (HRW), menyoroti kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi kelompok beragama yang minoritas.
Laporan setebal 120 halaman berjudul Atas Nama Agama: Pelanggaran Terhadap Minoritas Agama di Indonesia itu merekam kegagalan pemerintah dalam mengatasi kelompok-kelompok militan yang melakukan intimidasi dan serangan ke rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota jemaah agama yang minoritas penganutnya. Sasaran mereka adalah Jemaat Ahmadiyah, Kristen dan Syiah.
Kedua laporan tersebut bukan sekadar data mati. Hingga kini kekerasan terhadap kelompok minoritas masih saja berlangsung. Terbaru adalah penyerangan Jemaat Ahmadiyah di Kampung Wanisagara, Desa Tejowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat pada Minggu (5/5). Penyerangan serupa pernah terjadi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Saat itu tiga orang anggota Jemaat Ahmadiyah menjadi korban keganasan massa dengan kondisi mengenaskan.
Tindak intoleransi terhadap Jemaat Ahmadiyah terus berulang. Namun, pemerintah sepertinya tidak merasa bersalah dan risih melihat peristiwa biadab itu. Pemerintah seakan menikmati kesangsaraan Jemaat Ahmadiyah dan membenarkan perilaku barbar kelompok penyerang. Hal ini tampak jelas dari catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Lembaga ini mencatat pada Januari-April 2013 tercatat tidak kurang 18 peristiwa penyerangan mengatasnamakan agama.
Berarti dalam satu bulan terjadi rata-rata empat peristiwa intoleransi atau sepekan sekali ada penyerangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tak bertanggung jawab. Hidup di bumi Nusantara ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Kelompok minoritas hidup dalam tekanan dan penuh ketidakpastian. Mereka menderita secara fisik maupun psikis.
Secara fisik mereka harus ”bertarung” dengan kekuatan yang lebih banyak jumlahnya guna mempertahankan hidup. Secara psikis, mereka terus dihantui rasa takut dan waswas. Sewaktu-waktu keselamatan jiwa mereka terancam. Mereka tidak hidup tenang dan nyaman di negeru ini.
Kondisi demikian tidak hanya menimpa Jemaat Ahmadiyah. Umat Kristiani pun mendapat perlakuan yang sama. Rumah ibadah mereka disegel, bahkan dihancurkan, atas nama peraturan perundangan-undangan. Seperti yang dialami Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi, Jawa Barat.
Beberapa contoh di atas menjadi bukti otentik bahwa pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, belum mampu menjamin kemerdekaan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana amanat UUD 1945. Presiden SBY masih berlindung di bawah bayang-bayang kelompok antipluralisme. Bahkan, kelompok-kelompok ini menjadikan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan SBY sebagai tameng sekaligus pelindung untuk melancarkan aksi-aksi intoleransi.
Fanatisme
Aksi-aksi kekerasan atas nama agama dan produk hukum ini pun terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia. Ironisnya, pemerintah hanya duduk termangu menonton tindak kekerasan itu. Pemerintah seakan tak berdaya melindungi warga negara. Pemerintah menyerah, pasrah dan tunduk pada desakan massa yang tak banyak jumlahnya. Padahal pemerintah mempunyai aparat negara yang terdidik dan terlatih. Mereka dapat diperintahkan menangkap kelompok-kelompok yang mengganggu ketertiban umum itu.
Sekiranya pemerintah konsisten melindungi kelompok minoritas, mempromosikan perdamaian, toleransi dan resolusi konflik etnis, pemerintah harus berani menindak tegas kelompok-kelompok yang menjadi ”polisi” yang bertindak anarkistis atas nama agama. Membiarkan mereka tumbuh subur pada dasarnya membiarkan negara menyerah tanpa syarat kepada kelompok protindakan barbar.
Selain itu, pemerintah, sekali lagi dalam hal ini Presiden SBY, selayaknya meninjau ulang Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No 9/2006 dan No 8/2006 tentang pendirian rumah ibadat. SKB Tiga Menteri itu sering kali dijadikan dasar senjata legal untuk menghancurkan kelompok minoritas. SKB Tiga Menteri itu pada dasarnya telah menyuburkan fanatisme terhadap agama.
Fanatisme terjadi karena kecenderungan pemutlakan yang mengarah pada dogmatisasi. Sikap fanatisme ini akhirnya melahirkan tindakan-tindakan intoleran (Karlina Supeli, Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme, 2011). Menindak tegas tindakan intoleran menjadi agenda penting kebangsaan. Ketika pemerintah tidak mampu melakukan hal tersebut, berarti pemeirntah telah gagal menjaga keutuhan (baca: kedaulatan bangsa).
Nah, apakah Presiden SBY beserta jajarannya telah melakukan hal tersebut? Tampaknya belum. Artinya, Presiden SBY tidak patut menerima penghargaan itu. Sebagai pemimpin, ia selayaknya menolak penghargaan prestisius tersebut karena terbukti gagal melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Wallahu a’lam. (manifesto_06@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar