Search

Senin, 22 Desember 2014

Bencana dan Harmoni Hidup

oleh Benni Setiawan


Opini Tribun Jogja, Selasa, 16 Desember 2014 halaman 1 sambung 11


Kabar duka hadir dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Hingga Minggu petang (14) Desember 2014, telah ditemukan 39 korban tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar. Korban yang sudah teridentifikasi tersebut, 18 orang di antaranya laki-laki, termasuk seorang anak, dan 17 korban lainnya perempuan. Petugas hingga kini masih terus mencari ratusan korban yang diperkirakan tertimbun longsoran Bukit Telagalele.

Bencana tersebut seakan membenarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dimana banjir dan tanah longsor mendominasi bencana di Tanah Air dalam kurung waktu tahun 2014. Yaitu, sedikitnya tercatat 332 bencana longsor dan menewaskan 262 jiwa.

Tingginya bencana banjir dan tanah longsor selayaknya menjadi catatan penting bagi pemerintah. Pemerintah tentu tidak menginginkan melihat kerusakan dan kematian warga negaranya akibat bencana. Kemudian bagaimana selayaknya menyikapi bencana tersebut?

Proses
Irwan Abdullah (2008) menyatakan bencana seyogyanya ditanggapi sebagai “proses” yang harus dilihat dari tahapan historis, dalam sumber-sumber pembentukan dan kelahirannya, dalam nilai-nilai yang dipilih, dan dalam kekuatan yang menggerakkan proses itu hingga menjadi suatu bencana.

Sebagai sebuah proses, bencana dapat dikelola dan dikendalikan pada tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan pengetahuan, sikap, tindakan-tindakan, dan kelembagaan yang tersedia. Pemahaman yang lengkap tentang keseluruhan hubungan manusia dengan lingkungan dalam proses mutual production of each others existence, memungkinkan adanya prediksi dan kesiapan dalam menghadapi bencana itu sendiri dan juga memungkinkan minimalisasi status kerentanan masyarakat terhadap suatu bencana.

Oleh karena itu, hasil penelitian dari pakar selayaknya menjadi dasar para pengambil kebijakan untuk berbuat dan bertindak. Hasil penelitian bukan hanya sekadar coretan kertas yang kemudian termuat dalam lembaran jurnal. Namun, sebuah upaya bersama memahami karakter bencana, menyiapkan kemungkinan terburuk, dan menjadi masyarakat senantiasa waspada terhadap bencana.

Aplikasi Riset
Keberanian pemerintah untuk mengambil dan mengaplikasikan riset menjadi hal utama. Pemerintah sudah selayaknya bekerja berdasarkan temuan ilmiah. Tanpa hal tersebut, pemerintah hanya akan menjadi semacam petugas pemadam kebarakaran. Saat bencana terjadi, semua seakan sibuk berbenah dan mengurai masalahnya. Namun, saat kondisi normal, tak ada upaya mencegah dan kerja sistematis menyemalatkan warga dari zona bencana.

Inilah yang kemudian dalam bahasa Zakaria Ngelo (2007) sebagai kajian teologi konstekstual. Teologi kontekstual menyangkut bencana, dapat berupa program-program antisipasi bencana—baik bencana alam maupun bencana sosial—atau penanganan korban bencana secara darurat (jangka pendek) maupun jangka panjang. Penyembuhan trauma merupakan suatu kebutuhan yang serius bagi para korban bencana. Bencana memerlukan sosialisasi pengetahuan mengenai berbagai karakter alam, early warning system, dan perlunya mengontrol keserakahan dan kelalaian manusia merusak alam.
Keserakahan manusia mengeksplotasi alam hanya akan menimbulkan kedukaan. Manusia akan binasa karena alam mempunyai cara “mengatur sendiri” hidupnya.

Sinergi
Manusia selayaknya menyadari bahwa alam merupakan makhluk hidup. Ia butuh untuk terus tetap lestari. Saat manusia melalaikan itu dan cenderung merusaknya, maka alam akan memberontak. Pemberontakan alam ini akan menjadikan manusia menderita. Pasalnya, manusia akan kehilangan semuanya, termasuk jiwa yang menjadi sumber hidup.
Oleh karenanya, selayaknya manusia mampu bersinergi dengan alam. Manusia dan alam selayaknya hidup berdampingan saling membutuhkan satu sama lain. Saling membutuhkan berarti menghormati sesama hidup, bukan saling menguasai atau menegasikan satu sama lain.

Bencana merupakan pengingat manusia untuk kembali membuka lembaran sejarah. Lembaran sejarah yang mengamanatkan manusia untuk menjadi pengelola kehidupan di dunia. Manusia hari ini bukan pemilik mutlak alam raya. Masih ada banyak generasi mengantre untuk tetap hidup dan berkembangan biak di bumi ini.

Pada akhirnya, bencana bukan sekadar untuk disesali. Namun, selayaknya memberikan banyak pelajaran bagi manusia untuk berubah. Berubah dalam mewujudkan harmoni antar sesama hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar