Sarjana, Kembalilah ke Desa
- Oleh Benni Setiawan
MERAIH gelar kesarjanaan bagi sebagian orang merupakan kebanggaan tersendiri. Dengan meraih gelar dalam bidang tertentu, ia akan mudah mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Apalagi gelar tersebut dikeluarkan atau diperoleh dari institusi atau perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) yang telah mempunyai nama, baik dari segi prestasi, kualitas tenaga pengajar, guru besar, maupun berbagai fasilitas yang ada di dalam kampus.
Masa depan seseorang banyak telah digantungkan kepada berbagai perguruan tinggi ternama di dalam dan luar negeri tersebut. Sehari-hari mereka bergelut dengan buku, untuk jaminan masa depan.
Menurut data, jumlah mahasiswa Indonesia sekitar 1,5 juta atau sekitar tujuh persen dari sekitar 20 juta penduduk kelompok usia sekolah. Jumlah itu relatif kecil, jika dibandingkan dengan mahasiswa negara industri maju, yaitu sekitar 30-40 persen dari seluruh jumlah penduduk kelompok usia sekolah.
Demikian pula dengan jumlah lulusan sarjana strata tiga (S3). Menurut data statistik, hanya ada 65 orang untuk setiap 1.000.000 penduduk Indonesia. Adapun di berbagai negara lain berbanding 6.500 per 1.000.000 penduduk, dan untuk negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, bahkan Israel lebih besar lagi, yaitu 16.500 per 1.000.000 penduduk.
Selain masih sedikitnya jumlah lulusan sarjana di Tanah Air, jumlah pengangguran dari sektor itu pun cukup tinggi. Data statistik dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) 2005 menyebutkan bahwa pengangguran lulusan diploma atau akademi sekitar 322.836 orang, sedangkan sarjana lulusan universitas sekitar 385.418 orang.
Bila ditotal, setidaknya ada sekitar 708.254 pengangguran dari kalangan sarjana muda. Tingginya angka pengangguran itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, minimnya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan atau jurusan sarjana tersebut. Banyak sarjana yang harus berprofesi menjadi tenaga bidang lain, yang sama sekali tidak berhubungan dengan bidang yang digeluti selama menjadi mahasiswa.
Kedua, menurunnya kualitas sarjana. Penurunan kualitas itu dipengaruhi oleh gaya hidup mahasiswa sekarang yang serbainstan dan sedikit banyak terpengaruh oleh budaya modern yang "kebablasan". Banyak mahasiswa sekarang berpikiran praktis. Artinya, mereka ingin cepat lulus dengan nilai yang memuaskan atau bahkan cumlaude (dengan pujian) dan mendapat pekerjaan yang diimpikan.
Cara berpikir seperti itu juga banyak dipengaruhi oleh faktor mahalnya biaya kuliah di Tanah Air. Hal itu disebabkan oleh banyak universitas berlomba-lomba menjadi badan usaha milik negara (BHMN). Universitas BHMN biasanya mematok harga lebih mahal dibandingkan dengan universitas biasa.
Pengelola universitas beralasan, mereka tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah sehingga harus menaikkan harga sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) untuk memenuhi kebutuhan lembaga.
Ketiga, enggannya sarjana untuk pulang kampung membangun tanah kelahirannnya. Mereka lebih suka hidup di kota dengan berbagai fasilitas yang ada. Mereka merasa tidak percaya diri hidup di kampung, apalagi telah meraih berbagai gelar kesarjanaan.
Mereka merasa asing di desanya sendiri. Hal itu dikarenakan realitas yang dihadapi selama kurang lebih lima tahun sangat sedikit bersinggungan dengan situasi dan kondisi yang ada di desa atau kampung. Banyak sarjana menjadi pengangguran di kota, padahal di desa mereka sangat diharapkan. Banyak desa atau kampung yang membutuhkan tenaga sarjana untuk membangun peradaban baru yang lebih baik.
Kembali ke Desa
Belum lagi warga desa yang masih dililit beban buta aksara, kemiskinan, dan kebodohan. Guna mengurangi atau menekan tingkat buta aksara, kemiskinan dan kebodohan sudah saatnya mengikutsertakan alumnus perguruan tinggi atau peserta didik yang bersekolah di luar kota.
Putra daerah harus kembali ke desanya untuk membangun tatanan masyarakat baru. Kembalinya para sarjana ke desa, selain dapat membangun peradaban baru, juga mudah mendapat pekerjaan sesuai dengan bidang atau ilmu yang ditekuni, walaupun gaji dan penghasilan yang diterima tidak sebesar di kota.
Kembalinya para sarjana ke desa juga sebagai bentuk pengabdian dan sumbangsih nyata terhadap perkembangan dan pembangunan bangsa dan negara. Hal itu dikarenakan, pertumbuhan bangsa dan negara tercermin dari sejahteranya penduduk desa. Selain itu, yang lebih utama adalah menekan jumlah pengangguran dari lulusan sarjana.(68)
-- Benni Setiawan, dosen Universitas Muhammadiyah Jember, asal Sukoharjo.
Suara Merdeka, Sabtu, 20 Oktober 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar