Search

Sabtu, 05 September 2009

Awas, Dokter Aspal !!!



"Kampus", Suara Merdeka, 05 September 2009

Menghawatirkan! Sebanyak 16 fakultas kedokteran di Indonesia ternyata
belum terakreditasi. Kita layak bertanya, bagaimana kualitas dokter yang dihasilkannya? Benarkah ini sinyalemen maraknya dokter aspal (asli tapi palsu)?

MENURUT Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, baru 53 dari 69 pendidikan tinggi kedokteran yang terakreditasi. Sekitar 63 persen pendidikan kedokteran di perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berakreditasi A, sedangkan perguruan tinggi swasta (PTS) umumnya berakreditasi B dan C (Kompas, 14 Agustus 2009).

Belum terakreditasinya sebuah program studi sungguh mengakha­watirkan. Apalagi program studi tersebut adalah kedokteran. Sebab kedokteran berhubungan erat de-ngan nyawa manusia. Ketika se-orang dokter salah mendiagnosis, derita pasien makin bertambah, bahkan dapat berjuang kematian.

Dokter merupakan profesi mulia. Banyak orang bermimpi meraih profesi ini. Tapi jika banyak dokter yang tidak sesuai dengan standar mutu, tentu akan membahayakan banyak orang. Kematian manusia akibat kesalahan dokter (malpraktik) tentunya merisaukan.
Belum Ideal Pemerintah telah mencanangkan Program Indonesia Sehat 2010. Guna mendukung program ini, minimal dibutuhkan 94.376 dokter. Tetapi diperkirakan pada saat yang sama baru terpenuhi 72.800 dokter.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Fachmi Idris menyatakan, rasio dokter dan pasien di negara kita memang masih jauh dari ideal, yaitu seorang dokter untuk 2.500 penduduk. Dari kebutuhan dokter umum 80 ribu orang, saat ini baru terpenuhi 50 ribu saja.

Ironisnya, penyebaran dokter masih terkonsentrasi di Jawa. Sekitar 70,5 persen dokter spesialis praktik di Jawa, sedangkan dokter umum yang praktik di Jawa sebesar 64 persen.

Jelaslah negeri ini masih membutuhkan banyak dokter. Namun membuka pendidikan kedokteran tanpa memedulikan kaidah dan syarat yang berlaku bukanlah solusi bijak.

Kebijakan membuka banyak fakultas kedokteran tanpa standar mutu dan kualitas juga makin mengerdilkan peran dan fungsi pendidikan sebagai proses yang mulia. Apalagi biaya masuk fakultas ke­dokteran sangat mahal.

Tahun ini sebuah fakultas kedokteran di Yogyakarta mematok harga Rp 80 juta untuk gelombang pertama. Uang sebanyak itu tidak mung­kin dibayarkan oleh calon mahasiswa dari keluarga miskin.

Ironisnya, sebagaimana pernah saya tulis dalam rubrik ini, fakultas kedokteran dipenuhi oleh mahasiswa asing, terutama dari Malaysia. Kondisi ini tentunya paradoks dengan kebutuhan dokter dalam negeri yang belum memenuhi standar.

Ketika kampus masih saja berorientasi materi (uang) dan mengejar ’’pengakuan’’ dari luar negeri di tengah kekurangan dokter di dalam negeri, hal ini sama saja mengkhianati kedaulatan bangsa Indonesia.

Karena itu, diperlukan keberanian semua pihak untuk segera membatasi jumlah mahasiswa asing, seraya meningkatkan jumlah mahasiswa pribumi. Selain itu, pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana agar pembiayaan pada fakultas kedokteran terjangkau dapat semua kalangan. Tanpa tindakan itu, sulit kiranya mencapai target Indonesia Sehat 2010.
Akreditasi Penting Selain itu, pembenahan dari da­lam pun penting dilakukan. Akre­ditasi menjadi syarat mutlak. Ia merupakan pintu masuk fakultas kedokteran untuk menyelenggarakan program sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Akreditasi juga menjamin alum­ni­nya dapat praktik sesuai dengan standar ilmiah dan kemanusiaan. Lebih dari itu, fakultas kedokteran tanpa akreditasi hanya akan mencetak dokter aspal (asli tapi palsu). Dokter yang bekerja bukan untuk kemanusiaan. Dan dokter seperti ini hanya akan makin menyengsarakan rakyat miskin.

Rakyat miskin makin terbebani. Pasalnnya, APBN yang juga digunakan untuk menyelenggarakan fakultas kedokteran ternyata tidak dipergunakan dengan baik, bahkan mengancam keselamatan orang miskin.

Meningkatkan akreditasi dari C ke A juga penting. Artinya standar akreditasi A makin menjamin ke­cakapan seorang dokter muda dalam melayani masyarakat. Ma­syakarat pun akan tenang jika diperiksa oleh dokter yang berkualitas, meski mungkin pasien tidak akan pernah me­nanya­kan asal-usul pendidikan dokter yang bersang­kutan.

Fakultas kedokteran sebagai fakultas the have dan terhormat sudah saatnya memberi contoh baik kepada fakultas lain. Jika masih banyak fakultas kedokteran yang belum terakreditasi di tengah ketatnya persaingan antar­program studi, maka ia akan makin ditinggalkan.

Ditinggalkannya fakultas kedokteran oleh masyarakat karena makin mahal dan tidak bermutu tentu bakal akan mengancam eksistensi masyarakat itu sendiri. Sebab dokter merupakan salah satu ujung tombak terciptanya kesehatan dalam masyarakat.

Lebih dari itu, makin banyak dokter yang tidak bermutu di tengah zaman globalisasi yang ditandai dengan perdagangan bebas, bisa makin mengecilkan persaingan antara dokter dalam ne­geri dan luar negeri.

Pada akhirnya, mencegah malpraktik dokter karena belum terakreditasinya sebuah program studi penting dilakukan guna melindungi hajat hidup orang banyak.

Jangan sampai masyarakat In­donesia dijadikan kelinci percobaan oleh ’’dokter jadi-jadian’’ ini. (Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar