Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Kamis, 19 November 2009
Republik Para Maling
Surya, Kamis, 19 November 2009
Bangsa Indonesia adalah bagian dari Bangsa Timur dengan penuh keakraban, cinta kasih dan kedamaian serta berlandaskan rasa iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apakah hal tersebut masih relevan dengan keadaan sekarang? Apakah bangsa ini masih mengakui adanya eksistensi kekuatan lain selain manusia (Tuhan)?
Bangsa timur dengan penuh keberadaban tampaknya sudah hilang dari bumi Indonesia. Yang ada di negeri dengan berjuta persona ini tinggallah keangkaramurkaan. Yang kuat dan berkuasa ingin langgeng dengan apa yang telah ia peroleh. Sedangkan yang miskin tetapnya menjadi miskin tanpa kekuatan yang pada akhirnya mati terbujur kaku.
Betapa tidak, disaat negeri ini dilanda krisis kepemimpinan, rakyat dipaksa antri minyak tanah, kekeringan, kelaparan, dan banyak sekolah roboh, pejabat Indonesia dengan sikap bak kesatria menohok hati rakyat. Presiden dan menteri ingin naik gaji. Konon sudah lima tahun gaji menteri tidak naik.
Di sisi lain, masyarakat harus “bertamasya” hingga ke puncak gunung untuk mendapatkan air bersih. Air bersih di sumur-sumur desa sudah mengering sejak empat bulan lalu. Seluruh anggota keluarganya juga turut serta mencari air untuk kebutuah sehari-hari. Rombongan keluarga anggota dewan bersenang-senang dan berbelanja dengan anggaran dan uang rakyat untuk menambah koleksi.
Lebih lanjut, anggota DPR komisi III melakukan acrobat politik. Mereka memanggal Kapolri guna menguak kasus cicak vs buaya. Namun, ternyata apa yang dilakukan komisi III kontra produktif dengan harapan masyarakat.
Desakan masyarakat untuk mencopot Kapolri dan Jaksa Agung pun semakin menguat. Hal ini karena, kedua pimpinan tersebut tidak mampu menjadikan lembaganya sebagai kekuatan melawan korupsi dan koruptor, malah banyak diantaranya terlibat. Namun, pemimpin bangsa besar ini kehilangan keberanian untuk menyatakan kebenaran dan menegakkan kedaulatan sebagai bangsa dan negara.
Betapa tidak, di tengah semakin banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) disiksa hingga meninggal dunia, duta olah raga dihajar empat polisi hingga babak belur, perjanjian pertahanan dan keamanan yang merugikan, ia hanya dapat tersenyum tanpa mampu berbuat banyak.
Elit pemerintah Indonesia sepertinya tidak mempedulikan nasib sekitar 2,7 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada akhir tahun 2006 dan diperkirakan mencapai 3,4 miliar dolar AS atau setara Rp. 30,6 trilyun devisa yang telah disumbangkan kepada negara. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan 8 juta buruh migran Filipina bagi negaranya yang berkisar 14 miliar dolar AS-21 miliar dolar AS pertahun (Kompas, 9/6/2007).
Belum lagi dengan jumlah TKI yang disiksa dan meninggal dunia untuk membela banga dan negara di luar negeri. Pada Maret 2007 saja, departemen luar negeri (Deplu) mencatat ada 10 kasus penganiayaan dan pemerkosaan terhadap TKI. Baru-baru ini Muntik bin Bani, Vanita dan Murungan, meregang nyawa oleh majikannya.
Bangsa ini sudah tidak mempunyai kedaulatan lagi. Yang ada hanyalah kekuasaan dalam negeri yang garang terhadap rakyatnya sendiri dan loyo menghadapi luar negeri. Rakyat dibiarkan mati kelaparan dan busung lapar sebagaimana terjadi di nusa tenggara timur (NTT) baru-baru ini. Sedangkan pemimpin sebagai panutan mereka pesta pora dengan kenaikan gaji dan tunjangan diluar batas kewajaran.
Melupakan eksistensi Tuhan
Pemimpin bangsa ini juga telah melupakan eksistensi Tuhan. Ia tidak lagi mempercayai Tuhan sebagai kekuatan di luar manusia. Pemerintah sepertinya melupakan anugerah yang telah diberikan kepada Tuhan kepada manusia.
Seperti, hutan yang sengaja dibakar atau ditebang secara liar. Pembalakan hutan yang sering mengakibatkan bencana seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan adalah salah satu bukti bahwa pemerintah sudah melupakan Tuhan.
Pemerintah dengan enaknya mengeluarkan surat untuk merusak hutan dengan alasan pengelolaan hutan. Pemerintah juga dengan tanpa berdosa memperbolehkan seseorang untuk membabat hutan hingga 2 hektar, sebagaimana di Riau.
Tuhan pun menjadi tidak ada di negeri ini. Yang ada penuhanan terhadap kekuasaan, kekayaan dan jabatan. Pemegang kekuasaan merasa dirinyalah yang paling berjasa di negeri ini. Maka, ia dengan bangga mengajukan kenaikan gaji dan tunjangan di tengah penderitaan dan kelaparan masyarakat Indonesia.
Pemerintah juga bangga telah memperoleh devisa negara yang tinggi dan berlebih dari jerih payah dan keringat TKI di luar negeri, tanpa memperhatikan hak-haknya sebagai manusia merdeka dan makhluk Tuhan. Pemerintah juga tidak peduli dengan kehidupan masyarakat Indonesia di tengah himpitan bencana alam. Ia lebih peduli dengan kedudukan dan kekuasaan yang telah diperoleh.
Pendek kata di negeri ini yang ada adalah sifat individualisme yang tinggi. Pejabat sudah terbuai oleh kekuasaan dan kekayaannya. Sedangkan rakyat terus saja menahan derita yang tak kunjung berakhir.
Patutlah negeri ini disebut sebagai republik maling. Artinya, tatanan ketatanegaraan timpang. Pejabat yang serakah dan tidak dapat nrimo dengan apa yang telah mereka peroleh. Rakyat hidup menderita dan hanya dijadikan modal sosial untuk mendapatkan dana asing.
Bak maling, yang merampas kekayaan orang lain tanpa memperdulikan apakah orang tersebut dapat makan atau mempertahankan hidupnya kelak. Yang ada dibenak para pejabat pemerintahan adalah bagaimana saat ini dapat mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Lebih dari itu, bagaimana dapat mempertahankan kekuasaan hingga akhir hayat. Hal ini dikarenakan, kekuasaan adalah sumber kekayaan, prestisi (pengakuan dan penghormatan) masyarakat dan menaikkan derajat martabat keluarga. Selamat datang di republik para maling.
Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar