Search

Kamis, 26 November 2009

Kepastian Usaha




"Telaah", KR Bisnis, Selasa Legi, 24 November 2009

Krisis listrik Indonesia melanda pulau Jawa dan Bali, sebagai konsumen terbesar nasional (80 persen), meresahkan kalangan dunia usaha. Mereka harus merugi akibat tidak adanya kepastian kapan krisis listrik ini akan berakhir. Bahkan karena berlarut-larutnya krisis listrik ini dalam minggu pertama bulan Juli Asosiasi Pengusaha Jepang merugi hingga 48 miliar. Lebih dari itu, pelaku industri petrokimia menunda investasi 1,5 miliar dollar Amerika Serikat atau hampir 14 triliun rupiah pada tahun ini lantaran krisis listrik belum teratasi hingga kini.
Tidak hanya itu pengusaha tekstil Indonesia juga mengalami banyak kerugian.Karena menggunakan bahan bakar minyak untuk genset pengeluaran untuk tenaga listrik mencapai Rp. 7 juta per bulan. Padahal pemasukan dari hasil usaha berkurang sehingga pengusaha banyak yang merugi.
Data tersebut di atas memang cukup mengkhawatirkan. Artinya, perkembangan iklim investasi dan dunia usaha akan mengalami mati suri akibat krisis listrik ini. Tidak berkembangnya iklim dunia usaha ini pada akhirnya akan merugikan buruh. Mereka akan banyak di rumahkan atau bahkan di PHK akibat perusahaan terus merugi.
Ketidakjelasan kapan berakhirnya krisis listrik ini juga akan mengakibatkan pengusaha untuk memindahkan dana investasinya ke luar negeri. Sebagaimana yang akan dilakukan oleh Jakarta Japan Club yang akan menyatakan hengkang ke Vietnam.
Ancaman hengkang oleh pengusaha Jepang ini merupakan pukulan nyata bagi pemerintah yang konon ingin terus mengembangkan dunia usaha, percepatan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan devisa negara, dan percepatan penyerapan tenaga kerja melalui iklim investasi yang sehat.
Bahkan pemerintah selalu menyatakan akan menyiapkan karpet merah untuk pengusaha, agar impiannya tercapai. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih dapat mempersiapkan karpet merah dan kepastian dunia usaha, untuk menyelesaikan krisis listrik saja pemerintah kelabakan.
Pasokan listrik adalah “nyawa” bagi dunia usaha. Tanpa adanya listrik yang cukup, pengusaha dan perusahaan akan merugi. Menurut data, kebutuhan pasokan listrik Indonesia untuk tahun 2005 sebesar 107 TWH, namun pemerintah hanya mampu memenuhi 34. 146 MW. Dengan demikian pemerintah (PLN) hanya mampu memenuhi kebutuhan pasakon listrik 52 persen. Pengembangan pembangkit listri 100.000 MW pun hingga kini belum ada kabarnya.
Tidak seimbangnya antara pasokan dan rasio penggunaan listrik mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir. Pemadaman bergilir ini tentunya berdampak negatif terhadap iklim usaha. Seperti, target produksi per hari akan, banyaknya waktu istirahat, kerusakan mesin, dan menurunnya hasil produksi. Padahal, pihak pemesan tidak mau tahu mengenai kondisi yang sedang dialami oleh pengusaha.
Krisis pasokan listrik yang dihasilkan dari total pembangkit 24.856 MW ini sudah saatnya segera diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah mesti bertanggung jawab mengenai mengapa krisis pasokan listrik bergitu panjang dan tidak segera rampung. Pemerintah juga sekiranya perlu memikirkan energi alternatif guna memenuhi kebutuhan industri.
Keinginan pemerintah yang akan memberlakukan pemindahan kerja ke hari Sabtu dan Minggu kiranya perlu didukung. Kebijakan ini sebagai upaya untuk menghemat listrik dan mengurangi beban puncak energi listrik pada hari kerja efektif (Senin-Jum’at).
Namun, perlu kiranya pemerintah juga bertanggung jawab mengenai kesejahteraan buruh dan ketersediaan dana pengusaha untuk membayar upah. Pemindahan hari kerja sudah saatnya dikomunikasikan dengan baik antara pemerintah, pengusaha dan buruh (tri partit). Hal ini dikarenakan, akan berkaitan erat dengan apakah pemindahan kerja ini termasuk dalam kerja lembur atau tidak.
Kemudian mengenai usaha pemerintah menerapkan peraturan baru mengenai penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 2,5 persen dari konsumsi bahan bakar industri, juga perlu dicermati dengan saksama. Artinya, pemerintah harus berani menggaransi bahwa penggunaan BBN tidak akan berpengaruh pada penyediaan kebutuhan pangan rakyat. Harus ada regulasi yang jelas agar tidak ada penyelewengan bahan pangan yang dikonfersi ke BBN.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu menindak tegas penyelundup bahan bakar minyak (BBM) yang sediannya untuk pasokan bahan bakar pembakit listrik yang dijual ke Singapura. Tindakan tegas pemerintah akan dapat mengembalikan sedikit semangat investor untuk tetap menanamkan sahamnya di Indonesia.
Kepastian usaha nasional dari industri yang menggunakan pasokan tenaga listrik menjadi kata kunci bagi pemerintah, jika ingin meningkatkan devisa dan mengurangi jumlah pengangguran. Namun, jika krisis energi ini tidak segera diselesaikan oleh pemerintah, maka iklim usaha akan terganggu yang pada akhirnya pengusaha dan tenaga kerja akan terkena dampak negatifnya.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar