Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Senin, 28 Desember 2009
Membaca Kebudayaan Menafsir Keindonesiaan
Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 26 December 2009
GADAMER dalam TruthandMethods menyatakan,membaca akhirnya merupakan kerja menafsir.Sang penafsir harus mampu menangkap makna awal atau “asli” dari teks tertulis si pengarang.
Untuk itu penafsir harus mencermati beberapa tempat beradanya makna, yaitu makna yang dihurufkan pengarang dari peristiwa kehidupan atau pengalaman hidupnya yang diwujudi dalam aksara. Kemudian ia harus membandingkan dengan teks-teks di sekitar tema serupa yang biasanya disebut penafsir antarteks. Selanjutnya adalah kesediaan penafsir dengan kesadaran sikapnya untuk rendah hati terbuka dan membuka cakrawala mata bacanya pada cakrawala makna teks, sehingga saling dibuahi menemukan “makna baru” dalam peleburan cakrawala (fusion of horizons).
Tiga hal inilah yang mungkin diancang Mudji Sutrisno dalam buku Ranah-Ranah Kebudayaan.Dia ingin mengutarakan sesuatu yang tersembunyi dari makna teks.Keberhasilannya dalam mengutarakan makna tersembunyi tersebut membuahkan sebuah pemaknaan baru yang dapat membuka cakrawala kita sebagai manusia pembaca (penafsir). Dosen dan guru besar pada STF Driyarkara Jakarta ini resah dengan kondisi bangsa Indonesia.Keresahannya diutarakan dalam 33 esai pendek berbingkai kebudayaan. Menurut peraih gelar MA dan PhD dari Universitas Gregoriana,Roma, 1986 ini proses kebudayaan intinya adalah humanisasi.
Yaitu kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi,semakin menyejahterakan satu sama lain, karena orangorangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari apa ke mana? Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling memangsa sesamanya sebagai serigala (homo homoni lupus) menuju ke kondisi hidup bersama sebagai sahabat (homo homoni socius) (halaman 75–76).
Lebih lanjut ia menyatakan, bila asumsi mengenai ruang nilai kebudayaan adalah sama dengan moralitas (yang sudah disistematisasikan logis nantinya sebagai etika) dan bila moralitas secara khusus dalam refleksi hubungannya manusia dengan yang transenden (ilahi) dan alam semesta disepakati sebagai religiositas; dan salah satu wujud-wujud sosialnya adalah agama, maka tindakan politik sebagai tindakan rasional merencanakan dan membuat hidup bersama lebih sejahtera dengan memanfaatkan semua energi kreatif, kesempatan,kemungkinan,dan daya organisasinya, tidak mungkin menyejahterakan atau menjadi tindakan humanisasi bila tidak mendasarkan dirinya pada moralitas.
Di sinilah letak simpang tajam antara politik kekuasaan sebagai politisasi untuk kepentingan dan politik kesejahteraan–sebagai kulturalisasi demi memperjuangkan nilai sejahteranya hidup bersama dalam “homo homoni socius” (halaman 79-80). Dia mencontohkan korupsi. Baginya korupsi tidak hanya merupakan salah urus, tetapi lebih-lebih sebagai mentalitas kultural dan struktural ke mana-mana.Pokok ini direkomendasikan untuk diperangi secara hukum dengan penghukuman betul dan pengadilan ad hocserta “counter culture”dengan aksi membuat malu dan merasa salah dari pelaku.
Membuatnya diisolasi masyarakat dan mengajak masyarakat tidak memberi suap dan upeti. Bacaan teori besar merupakan konseptualisasi nilai-nilai yang mendukung kelangsungan hidup yang mampu mengartikan peristiwa hidup yang diwujudkaan dalam rangkuman pandangan hidup,pandangan dunia, dan way of life yang ditradisikan terus-menerus dari generasi ke generasi.
Sementara, berhadapan dengan mereka dari kehidupan yang sama telah menghayati secara diam,merayakan dan memuliakan secara estetis serta konsekuen berlaku baik dalam perilaku,maka bacaan kebudayaan bukan lagi teori besar,melainkan sebuah kesehariaan laku dan peri hidup yang dimaknai hingga bacaan budaya menjadi bacaan rakyat sehari-hari yang dimaknai secara berharga. Teori besar membaca kebudayaan dalam sistematisasi rasional dan filsafat budaya besar dalam teoriteori, sedangkan ‘teori-teori kecil ‘ (baca: rakyat jelata) atau kita umumnya membaca kebudayaan sebagai keseharian yang diberi makna secara sederhana dan efektif agar survival hidup berjalan terus.
Dekade ini memunculkan bacaan budaya cultural studies atau kajian-kajian budayasebagai reaksi epistemologis terhadap teori besar kebudayaan. Romo Mudji dalam buku ini mengajak bangsa besar seperti Indonesia menjadikan “kebudayaan” sebagai salah satu solusi dalam mengurai benang kusut persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Kebudayaan akan memberi ruang humanis dalam catatan sejarah perjalanan bangsa. Hal ini karena kebudayaan di satu ruang hidupnya memberi acuan nilai mengenai bagaimana manusia harus hidup.
Ruang ini membuat pandangan hidup, dunia, dan cita ke depan mengenai apa yang benar,apa yang baik dan yang indah (halaman 147). Walaupun buku ini merupakan serpihan pemikiran yang berpencar dan dikumpulkan,serta di sanasini masih banyak salah ketik bahkan pengulangan pembahasan,karya ini layak dibaca khalayak Indonesia. Khususnya pejabat (pemimpin) yang sedang mengemban amanat kebangsaan.(*)
Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar