Oleh Benni Setiawan
"Opini", Kedaulatan Rakyat, Rabu, 19 Maret 2014
HARTA, tahta dan wanita seakan senantiasa hidup dalam kehidupan manusia Indonesia. Harta masih menjadi 'tuhan' di tengah keberagamaan. Semua berlomba menumpuk harta dengan berbagai cara. Baik dengan cara halal, kerja keras sesuai dengan potensi yang dimiliki, maupun haram dengan jalan pintas, memuja (korupsi) meminjam istilah Sindunata.
Dengan harta seakan-akan semua dapat dibeli. Melalui harta seseorang pun dapat meraih kuasa (tahta). Pasalnya, kekuasaan (politik) saat ini membutuhkan banyak uang. Tanpa uang seseorang akan sulit mendapatkan posisi sentral di pemerintahan. Harta dengan demikian menjadi 'pemain utama' dalam mengelola struktur kenegaraan.
Setelah dua hal tersebut dalam genggaman, seseorang akan mudah untuk mendapatkan wanita (perempuan). Perempuan akan terpesona melihat seorang laki-laki kaya dengan pangkat dan kedudukan yang melekat. Walaupun ia tak serupawan Arjuna dan segagah Werkudara (Bima).
Mata hati dan akal budi perempuan seakan tertutup oleh awan hitam pekat ketika berhadapan dengan sosok laki-laki itu. Di saat seperti itu, perempuan pun akan 'mudah dibeli' (diperdaya) untuk semakin menguatkan 'posisi sosial' kaum Adam di tengah kehidupan yang semakin aneh.
Sandangan
Potret di atas kini tersaji jelas di tengah masyarakat. Adalah Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang juga adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Diduga kuat membagi uang ke sejumlah perempuan jelita. Di antaranya, Jennifer Dunn, Cathrine Wilson dan Rebecca Reijman. Perempuan-perempuan jelita tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dalam
'kehidupan' suami Airin Rachmi Diany ini. Mereka mendapatkan uang panas hasil korupsi.
Sebelum kasus suami Walikota Tangerang Selatan ini muncul, kita juga disuguhkan dengan laku Ahmad Fathanah. Orang kepercayaan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaq dan suami Septi Sanustika itu, juga ditengarai membagi uang kepada perempuan-perempuan jelita. Salah satunya kepada Ayu Azhari. Bahkan, konon, Ahmad
Fathanah juga mendapat pelayanan seks gratis (gratifikasi seks) dari seorang mahasiswi.
Perilaku koruptor membagi uang kepada perempuan cantik itu menjadi bukti betapa perempuan rentan menjadi aset cuci uang hasil kejahatan. Mereka pun menjadi penanda kuasa kelelakian. Perempuan menjadi sandangan bagi kaum adam yang gila kuasa. Salah satu ciri laki-laki gila kuasa adalah semakin banyak merengkuh perempuan, ia akan semakin diakui masyarakat. Konsepsi ini persis seperti raja-raja di zaman prakemerdekaan.
Keberadaan dan pengakuan kehebatan raja adalah ketika ia mampu memperbanyak selir dan gundik. Semakin banyak selir dan gundik, berarti ia perkasa. Perkasa secara lahir maupun batin. Selir dan gundik pun menjadi bukti pengakuan bahwa
ia telah menguasai sebuah wilayah di mana 'istri simpanan' itu berada.
Pasungan Uang
Dalam narasi kekinian, perampok uang rakyat itu ingin membuktikan ia adalah laki-laki perkasa dengan banyak uang, kedudukan, perempuan. Kondisi ini menjadi bukti bahwa 'harga' perempuan masih dalam pasungan uang. Perempuan belum
mampu hidup mandiri, walaupun segudang teori gender dan feminisme telah didedah oleh banyak pakar sejak abad kesembilanbelas.
Perempuan pun masih menjadi subjek 'keperkasaan' laki-laki. Padahal, dalam lanskap Kitab Suci keberadaan perempuan setara dengan laki-laki (QS An-Nisa', 4: 1). Perempuan dan laki-laki merupakan makhluk Tuhan yang istimewa (QS Ali Imran, 3: 110). Keberadaan mereka saling membutuhkan dan melengkapi, bukan saling mensubordinasi (merendahkan) (QS Ar-Ruum, 30: 21).
Perempuan mudah terperosok ke dalam kubangan kenikmatan sesaat. Sayang, kenikmatan itu bukan dari hasil kerja keras. Ironisnya, kondisi ini diperparah oleh sikap laki-laki. Laki-laki yang seharusnya memberikan rasa cintanya kepada perempuan pilihan hasil ikatan pernikahan, malah menebar senyum kehangatan kepada orang lain. Inilah puncak lunturnya kepemimpinan laki-laki. Karena ia telah mengingkari janji suci (mitsaqan qolidzo).
Kondisi kebangsaan ini, seakan mirip dengan jangka (ramalan) Jayabaya, wong wadon ilang kawirangane (perempuan kehilangan rasa malunya); wong lanang ilang kaprawirane (laki-laki kehilangan jiwa kepemimpinannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar