Search

Minggu, 15 Januari 2012

Keaksaraan Berbasis Masjid



Majalah MATAN, edisi Januari 2012

Masjid tidak hanya rumah ibadat bagi umat muslim. Masjid juga merupakan sarana pengenalan budaya. Budaya membaca misalnya. Budaya ini masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Pasalnya, saat ini Indonesia masih berkutat dengan persoalan buta aksara. Setidaknya masih ada sekitar 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun dalam kategori ini.

Ironisnya, angka tersebut sama persis seperti tahun lalu. Bedanya, tahun lalu data yang disampaikan Kementerian Pendidikan Nasional itu sekitar 80 persen berusia 40 tahun ke atas. Tahun ini oleh institusi yang sama disampaikan sekitar 70 persen berusia di atas 40 tahun.

Masih tingginya tingka buta aksara ini diperparah oleh rendahnya minat baca masyarakat melek huruf. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009, baru sebanyak 18,94 persen kelompok usia di atas 10 tahun yang membaca surat kabar/majalah. Tahun sebelumnya berada di kisaran 23 persen. Sebaliknya, jumlah penduduk yang menonton televisi terus meningkat. Pada 2009, jumlahnya mencapai 90,27 persen. Tahun sebelumnya 85,86 persen.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana masjid berperan serta meningkatkan minat baca masyarakat?

Fitrah Kemanusiaan
Keaksaraan berbasis masjid didasarkan pada realitas sosio-historis umat muslim. Membaca (iqra’) merupakan perintah pertama Allah bagi umat Islam (Q.S. al-Alaq, 96: 1-5). Jadi membaca merupakan kewajiban alami manusia sebagai ciptaan Tuhan. Manusia akan mengetahui esensi penciptaan diri dan Tuhannya adalah melalui membaca. Dengan demikian membaca merupakan fitrah kemanusiaan yang utama.

Dengan membaca manusia akan mempunyai cakrawala yang luas. Ia tidak mudah diperdaya oleh orang lain. Ia akan menjadi individu mandiri dan berkepribadian.

Membaca juga menyegarkan pikiran. Membuat setiap kata yang terucap menjadi petuah bijak yang bermakna lagi bernilai. Pendek kata membaca akan mampu mengangkat derajat manusia ke taraf insan—meminjam istilah Driyarkara.

Budaya Tandingan
Di sinilah peran penting masjid. Masjid merupakan pusat peradaban umat Islam. Selama ini di dalam masjid, ceramah hanya angin lalu. Setelah ceramah usai semua lupa dan hilang. Membaca akan mampu merubah tradisi ini.

Membaca dapat diterapkan ketika da’i atau mubaligh mewartakan ayat-ayat Tuhan. Sebagai da’i tentunya mereka akan mempersiapkan ceramah dengan baik, yaitu dengan membaca literatur yang terkait dengan tema. Ada baiknya, ceramah tidak hanya dilakukan secara lisan, namun juga dengan tulisan. Setiap materi ceramah ditulis/diketik dan dibagikan kepada jamaah. Lembaran-lembaran kertas ini akan menjadi budaya baru di dalam masjid.

Kegiatan ini mempunyai dua manfaat sekaligus. Pertama, menggairahkan kembali minat baca masyarakat yang telah melek huruf. Masyarakat akan mendapat hal baru yang menyegarkan pikiran dan seluruh organ tubuh dengan mendengarkan ceramah yang didukung oleh kegiatan membaca.

Kedua, merangsang masyarakat yang belum dapat membaca untuk senang dengan kegiatan ini. Dengan lembaran-lembaran kertas, masyarakat yang sudah dapat membaca dapat mendidik orang lain yang belum bisa membaca. Kegiatan ini pun akan semakin merekatkan hubungan emosional antara satu jamaah dengan jamaah lainnya.

Lebih lanjut, “budaya baru” ini juga menjadi semacam budaya tandingan. Artinya, budaya membaca merupakan bentuk perlawanan masyarakat atas budaya nonton televisi. Sebagaimana kita ketahui bersama, televisi telah menjadi “Tuhan” baru di tengah masyarakat modern.

Televisi menurut Pierre Bourdieu, seorang pemikiran Perancis sebagaimana dikutip oleh B. Herry-Priyono, SJ (2010) mungkin telah memberi sumbangan, sebesar seperti suap (bribery), bagi kehancuran etos serta keutamaan publik. Televisi semakin gandrung menampilkan di panggung tipe-tipe orang yang gila nama dan popularitas, yang kepedulian utamanya adalah ditonton dan diberi tepuk tangan panjang; semua itu berbalikan dengan nilai-nilai komitmen yang penuh ketekunan dan tersembunyi pada kepentingan publik.

Mungkin Bourdieu mengajukan sengatan yang tajam itu dalam konteks televisi Perancis. Akan tetapi, rupanya pokok yang sama juga tidak terlalu meleset untuk dibidikkan pada corak televisi Indonesia dewasa ini. Televisi Indonesia dipenuhi oleh ajang pencarian bakat, yang selalu dipenuhi sorak-sorai dan tepuk tangan meriah, kehidupan yang hedonis, dan permusuhan.

Lebih lanjut, ketika masyarakat Indonesia terlena oleh buaian televisi dan melupakan komitmen moral dan intelektual, maka benarlah apa yang dikatakan dalam sebuah Hadis, “Di akhir zaman, akan banyak umat muslim, namun mereka seperti buih di tengah lautan”.

Maka dengan budaya membaca ini, diharapkan masyarakat akan tercerahkan. Lebih dari itu, budaya membaca dan menulis merupakan inti program keaksaraan yang telah diagendakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dan Masjidlah tempat yang tepat untuk merealisasikan program ini. Mengingat 80 persen penduduk Indonesia adalah muslim.

*)Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Majalah MATAN, edisi Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar