Oleh Benni Setiawan
Gagasan, Solopos, Jum'at, 14 September 2012
Kekerasan mengoyak ketenteraman Republik Indonesia. Belum rampung mengurai masalah kekerasan bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Sukabumi, Jawa Barat dan Sampang, Madura, Jawa Timur kini masyarakat dihebohkan dengan serangkaian penangkapan teroris di Solo, Jawa Tengah, Beji, Depok, Jawa Barat dan Tambaro, Jakarta.
Menurut penyelidikan kepolisian, penemuan bom di Jakarta dan Depok terkait dengan jaringan teroris Solo. Muhammad Thorik, tersangka teroris (calon pengantin bom bunuh diri) yang menyerahkan diri, penemuan bom di Tambora, Jakarta dan Beji, Depok merupakan serangkaian rencana bom bunuh diri di empat lokasi di Ibu Kota. Keempat lokasi itu adalah, Markas Komando Brigadir Mobil di Depok, pos polisi di Jalan Salemba, kantor Detasemen Khusus 88 Antiteror, dan Komunitas Masyarakat Budha.
Penyerangan kepada Komunitas Masyarakat Budha konon sebagai aksi keprihatinan terhadap etnis Rohingnya di Myanmar. Sebuah kondisi yang semakin mengkhawatirkan tatanan kebangsaan dan keadaban.
Pernyataan yang muncul kemudian adalah mengapa tindakan teror (ancaman yag menimbulkan kegelisahan) yang seringkali didasarkan pada keyakinan atas nash (ketetapan) Tuhan masih selalu muncul di Indonesia?
Humanisasi
Semakin tingginya intensitas teror di Indonesia saat ini menunjukkan kepada kita betapa keadaban publik sudah mulai luntur. Proses humanisasi dalam terma pembudayaan ala Driyarkara pun sudah semakin terpinggirkan. Proses humanisasi adalah perjalanan tiap pelaku, aktor, subyek manusia Indonesia yang berjuang dengan cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang semakin manusiawi, berharkat hingga keragaman sebagai bangsa yang satu mengarah menuju bernegara yang demokratis dan berkepastian hukum di mana setiap kemajemukan dihormati dengan keberlainannya dan belajar untuk hidup saling damai sebagai warga negara Indonesia.
Humanisasi pun bermakna kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi, semakin menyejahterakan satu sama lain karena orang-orangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).
Pemanusiaan manusia ternyata masih jauh dari semangat ke-Indonesia-an. Padahal bangsa Indonesia telah merdeka selama 67 tahun. Manusia Indonesia masih saja bermental serigala. Membunuh secara buas dan membabi buta tanpa memedulikan kehidupan manusia lain.
Ironisnya perilaku tersebut didasarkan pada sebuah keyakinan, atas perintah Tuhan. Meminjam istilah M. Amin Abdullah, Tuhan sebagai pembenar atas perilaku itu bak keranjang sampah. Semua hal yang buruk dan tak berguna seolah-oleh menjadi bersih dan berdayaguna jika mendapat sandaran pembenar.
Padahal Tuhan memerintahkan kepada manusia senantiasa menjalin ukhuwah (persaudaraan) (Q.S. al-Hujurat, 49: 10), tolong menolong dalam kebajikan (Q.S. al-Maidah, 5: 2. As-Shaffat, 37: 25), dan melakukan klarifikasi terhadap berbagai persoalan yang muncul (tabayun) (Q.S. al-Hujurat, 49: 6).
Apa yang terjadi saat ini di Nusantara jauh dari semangat keberagamaan tersebut. Manusia Indonesia saling curiga dan mudah menjatuhkan vonis sesat kepada golongan yang “berbeda” dan mengolok-olok. Bahkan, atas dasar perintah sesat dari otoritas keagamaan mereka bergerak tanpa dikomando untuk merusak, membakar, dan bahkan membunuh.
Perilaku teror tersebut sepertinya menegaskan betapa manusia terkungkung dalam kesadaran semu. Manusia dalam kesadaran naif, sehingga tidak mampu membedakan antara kebenaran dan keburukan.
Peradaban Teks
Kesadaran mereka digerakkan oleh ketaatan buta (taqlid). Perilaku yang jauh dari semangat keadaban. Pasalnya, keadaban dibangun atas dasar iqra (membaca) dan berpikir (tafakur).
Perilaku taqlid biasanya dibesarkan dalam lingkungan mendengar (mustami’an) tanpa teks. Padahal pengajak (da’i, pengkhotbah) mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Mereka pun besar dalam buaian peradaban yang tidak sama. Maka dari itu, cara pandang dai cenderung tidak sama. Pemahaman teks mereka pun lebih didasarkan pada realitas diri dan lingkungan yang telah membesarkannya. Kondisi ini memunculkan ragam penafsiran teks yang berbeda. Kadang bercorak lembut, kasar, atau biasa-biasa saja.
Maka benarlah apa yang telah dinyatakan Begawan Pemikiran Islam Modern Indonesia, Nurcholish Madjid. Cak Nur menegaskan bahwa gagasan pluralisme yang telah melekat dalam setiap gagasanya harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.
Keadaban mendasarkan hidup pada pemanusiaan manusia. Manusia hidup seiring sejalan guna mewujudkan society (socius). Penciptaan keadaan ini harus didukung manusia merdeka. Manusia merdeka adalah mereka yang kuyup dengan peradaban teks (membaca). Peradaban ini mengantarkan manusia pada taraf kritis dan berbudaya. Mereka tidak mudah digoyahkan oleh sikap sering curiga yang dihembuskan oleh orang lain. Mereka senantiasa melakukan tabayun dan selalu menjalin kerjasama (silaturahmi).
Pada akhirnya, apa yang kita saksikan saat ini, menandakan betapa agama dan kemanusiaan belum mampu bersinergi. Agama masih sibuk dalam urusan privat dan meninggalkan urusan publik. Kemanusiaan pun seringkali tercerabut dalam arus utama agama karena tafsir teks seringkali jauh dari pemaknaan sosio-historis. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar