Search

Kamis, 17 Januari 2013

Narasi tentang Perempuan

Oleh Benni Setiawan

Pendapat, Koran Tempo, Kamis, 17 Januari 2013



Berita kekerasan seksual menyembul ke ruang publik. Setidaknya hal ini tergambar dalam kasus artis Ardina Rasty dengan mantan pacarnya Eza Gionino. Akal waras masyarakat pun terganggu oleh berita meninggalnya RI (10). Bocah perempuan kelas V sekolah dasar itu menjadi korban dugaan kekerasan seksual.

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, kasus pemerkosaan di ranah publik yang setahun terakhir merebak adalah terbesar kedua atau 22.284 kasus (yang terdata) dari kasus-kasus kekerasan seksual 13 tahun terakhir. Kasus kekerasan terbesar terjadi di ranah personal (rumah tangga). Jumlahnya mencapai 70.115 kasus atau tiga perempat dari semua kasus kekerasan seksual 1998-2011 yang jumlah seluruhnya 93.960 kasus dari total 400.939 kasus kekerasan yang dilaporkan. Dengan demikian, dapat dikatakan, setiap hari ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Lebih lanjut, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, terjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 48 persen (1.266 kasus) adalah kekerasan seksual. Mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan terutama masalah seksual masih tinggi di negeri ini?

Mengingkari Penciptaan Tuhan
Bell Hooks (1984) menilai rasa aman di rumah tak bisa diandaikan. Semua biasa terjadi atas nama “perlindungan”, khususnya pada anak, yang dalam hierarki dehumanisasi berada di level terbawah, paling subordinat dari subornidat, paling tertindas dari yang tertindas (Maria Hartiningsih, 2011).

Lebih lanjut, Abdul Munir Mulkhan (2002) menyebut ada tiga persoalan yang perlu dicermati untuk memahami masalah ketidakadilan dan kekerasan seksual yang dialami perempuan. Pertama, tradisi Islam dalam fikih yang menempatkan perempuan sebagai ‘pelayan kebutuhan seksual laki-laki’ dan ‘pembangkit birahi seksual’. Kedua, kecenderungan konsumerisme tubuh perempuan dalam peradaban industri modern. Ketiga, tradisi lokal khususnya Jawa yang menempatkan perempuan sebagai ‘penumpang kamuken’ (kemuliaan) laki-laki.

Mengkondisikan perempuan dalam posisi subordinat berarti mengingkari penciptaan Tuhan. Tuhan telah menciptakan dua wajah dalam diri manusia. Perempuan dan laki-laki. Keberadaan mereka sama. Sama-sama sebagai makhluk tercipta.

Kondisi demikian sudah selayaknya mendasari cara pandang tentang perempuan. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata Tuhan.

Otonom
Maka dari itu sudah selayaknya tradisi Islam memelopori gerakan properempuan dengan mengajarkan ayat-ayat yang memberi tuntunan moral bagi relasi suami-istri.
Salah satunya dalam Surat ath-Thalaq (65: 65). “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka sehingga menyempitkan/menyesakan hati mereka”. Juga Hadis riwayat Muslim, “Kamu suami mempunyai hak atas istrimu, begitu pula istrimu punya hak atas kamu. Mereka adalah amanat Allah di tanganmu. Karena itu kamu harus memperlakukan mereka dengan penuh kebaikan”.

Ayat-ayat tersebut sangat mendukung konsep perkawinan dalam Islam yang menempatkan para pihak (suami-istri) secara otonom sebagai syarat sah perkawinan. Pengertian otonom dalam konteks ini adalah masing-masing pihak mengerti isi dari aqd (akad/perjanjian) itu sendiri. Selanjutnya, posisi otonom merupakan peleburan satu sama lain (Syu’bah Asa, 1987). Berdasarkan ayat al-Qur’an dan Hadis di atas, maka masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, baik lahir maupun batin (Siti Ruhaini Dzuhayatin, 2002).

Mengerdilkan Kemanusiaan
Tubuh perempuan pun bukan barang dagangan. Eksploitasi terhadap tubuh secara berlebihan akan mengerdilkan kemanusiaan manusia. Bagi filsuf idealis seperti Plato, tubuh konkrit bukan hal yang penting. Justru, tubuh dianggap sebagai penghalang tercapainya kemurnian jiwa. Plato berkata bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa dan jiwa bagaikan terpenjara dalam tubuh (Bertens: 1989). Jika manusia terlalu memberi perhatian terhadap tubuh, maka hakikat keabadian hidup, yang terletak pada alam kejiwaan yang abstrak, akan sulit dicapai. Oleh karena itu, ia menganjurkan bentuk-bentuk askese dan mati raga (Nadya Karima Sari, 2008).

Lebih lanjut, filsuf dan tokoh feminis Perancis, Simone de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul The Second Sex menyatakan, kaum perempuan berada di dunia maskulin yang didominasi kaum laki-laki. Keberadaan perempuan ada di bawah kelas kaum laki-laki. Perbedaan kelas ini menimbulkan penindasan kaum lelaki terhadap perempuan, dalam berbagai bentuk. Antara lain diskriminasi atas dasar jenis kelamin yang disebut seksisme. Diskriminasi ini tidak hanya menimbulkan kebencian, akan tetapi juga prasangka buruk, rasa jijik dan ketakutan yang terjadi pada diri perempuan terhadap lelaki . Ketakutan ini disebut gynophobia.

Gynophobia yang paling menghantui perempuan adalah adanya anggapan  bahwa lelaki  tidak dapat mengontrol gejolak seksualnya. Dampaknya, lelaki dimitoskan suka  pemerkosa. Ironisnya, sejak Manusia Budaya berubah menjadi Manusia Ekonomi, justru banyak kaum perempuan yang suka tampil dengan mempamerkan lekuk-tubuhnya agar tampak sexy total. Sehingga, kesannya ‘mengundang’ untuk diperkosa atau sebagai  objek seks yang juicy (Naning Pranoto, 2010).

Ruang Bicara
Maka dari itu, ruang berbicara korban kekerasan merupakan sebuah keniscayaan. Menutup rapat pelanggaran Hak Asasi Manusia ini berarti membenarkan praktik terjadinya kekerasan dan merendahkan martabat kemanusiaan yang mulia.

Tindak kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya dapat kita cegah dengan adanya partisipasi aktif perempuan dan laki-laki dalam membina sebuah hubungan yang baik, tanpa harus saling merendahkan satu dan yang lainnya.

Perempuan adalah makhluk mandiri dan independen. Ia ada bukan sebagai pelengkap semata. Lebih dari itu, perempuan adalah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Maka dari itu, laki-laki dan perempuan adalah sederajat. Sederajat dalam membangun cita kemanusiaan yang beradab. Sebuah tatanan mikromoskos yang menghargai ciptaan Tuhan.

Pada akhirnya, kekerasan seksual yang terjadi di ranah privat (personal) merupakan pelanggaran terhadap HAM dan kemanusiaan. Pasalnya, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam membangun relasi kehidupan yang bermoral dan beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar