Oleh Benni Setiawan
"Gagasan", Koran Jakarta, Jum'at, 05 April 2013
Ketika agama tidak mampu menjadi perekat dan pemersatu masyarakat, maka keadaban publik tidak akan pernah terwujud. Agama sebagai ajaran luhur pun akan menjadi tameng bagi tindak tidak beradab, sebuah kondisi yang tentu tidak kita inginkan.
Menyedihkan. Kata itu mungkin tepat menggambarkan betapa garang Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi terhadap Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pembongkaran gedung setinggi sekitar lima meter itu dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Bekasi dan melibatkan unsur keamanan dari Polresta Bekasi serta Kodim setempat. Eksekusi bangunan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bekasi Nomor:300/1171/Tib.
Sebelumnya, aksi intoleransi juga terjadi di Bogor. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, menjadi korban keberingasan pemerintah daerah. Jemaat pun harus melakukan ibadat di jalan dan di pelataran gereja karena rumah ibadah masih disegel pemerintah. Tindakan Pemda Kabupaten Bekasi dan Pemda Bogor tersebut semakin mengukuhkan hasil penelitian Human Right Watch (HRW), lembaga internasional pemerhati hak asasi manusia (HAM).
HRW menyebut pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono lembek menghadapi gerombolan militan antipluralitas. Kelompok-kelompok itu mengintimidasi dan menyerang rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama. Temuan HRW menyebut gerombolan militan ini makin lama tambah agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, maupun muslim Syiah.
Gerombolan militan pun kini telah merangsek masuk dalam jalur birokrasi. Kewenangan pemerintah daerah dijadikan tameng untuk bertindak intoleran. Ironisnya, banyak kepala daerah tidak sadar mengenai ini. Mereka terperangkap dalam "permainan" kelompok militan. Mereka kehilangan kesadaran dan kearifan dalam memimpin serta melindungi seluruh lapisan masyarakat, tanpa diskriminasi. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa aksi intoleransi berupa bongkar paksa rumah ibadah dan pembiaran jemaat tanpa rumah ibadah masih terjadi di tengah keragaman bangsa Indonesia?
Hapus
Pasal 3 Resolusi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama, menyatakan, "Diskriminasi antarmanusia berdasarkan agama atau keyakinan merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB dan akan dijatuhi hukuman sebagai pelanggaran HAM serta dinyatakan secara rinci dalam Kovenan Internasional tentang HAM. Ini merintangi hubungan persahabatan dan perdamaian antarbangsa."
Resolusi PBB tadi dengan tegas menyatakan bahwa diskriminasi hanya akan mengerdilkan kemanusiaan dan menimbulkan kecemburuan sosial yang berujung pada jauhnya sikap menghargai serta menghormati sesama manusia. Padahal, dalam rangka mewujudkan kerukunan umat beragama, dibutuhkan sikap hidup rukun, jauh dari rasa saling curiga, hormat-menghormati secara ikhlas dan tulus.
Guna semakin mengukuhkan kerukunan umat beragama, kebebasan beragama dan berkeyakinan mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama atau keyakinan yang hidup di Indonesia. Negara tidak boleh memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya.
Dalam konteks ini, sebaiknya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, agama induk dan agama sempalan, agama resmi dan tidak resmi, agama yang telah diakui dan yang belum diakui (Tore Lindholm, W Cole Durham, Jr, Bahia G Tahzib Lie, ed, 2010). Lebih dari itu, tindak intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala dan sekaligus ujian umat beragama.
Kejadian akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Mereka belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat masih menganggap kelompok minoritas sebagai "ancaman" bagi kehidupan umat beragama. Padahal, kelompok minoritas wajib dilindungi sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Maka dari itu, konsepsi mayoritas dan minoritas perlu direka ulang. Dua konsep ini menimbulkan syak wasangka yang kemudian memunculkan superioritas kelompok atas yang lain. Mayoritas-minoritas hanya akan mengerdilkan fungsi keberagamaan karena hanya dilihat dari segi jumlah (kuantitatif).
Padahal, keberagamaan mensyaratkan kesalehan sosial yang tidak membutuhkan dari mana seseorang berasal. Namun, cara umat mampu berkontribusi dalam harmoni kehidupan menuju peradaban utama. Ketika umat tidak mampu berbuat seperti itu, keagamaan dan keberagamaannya dipertanyaan. Sebab, beragama merupakan jalan menuju kebajikan bersama, sebuah tatanan masyarakat adil dan makmur tanpa membedakan asal-usul.
Selain itu, mengutip Ahmad Syafi'i Maarif, kerukunan sejati hanya mungkin dibangun di atas fondasi iman kukuh yang membuahkan ketulusan dan kejujuran. Dalam kaitan dengan masalah antarpemeluk agama, mungkin formula berikut dapat disepakati: Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan.
Di luar formula ini, Syafi'i yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, khawatir, agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keutamaan, tetapi menjadi sumber sengketa dan kekacauan, bahkan sumber peperangan. Sudah bukan zamannya kita saling sikut karena urusan mayoritas-minoritas. Stigma mayoritas-minoritas pun hanya akan mengangkangi kemanusiaan, ketika yang mayoritas merasa sebagai "pemilik otoritas" dan yang minoritas dianggap "penumpang gelap" yang harus dienyahkan.
Oleh karena itu, toleransi selayaknya menjadi mantra kemanusiaan. Toleransi itu selayaknya bersendikan pada dua hal utama, yaitu menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai (Irwan Masduqi, 2011) Kebebasan berpendapat dan berkeyakinan menjadi dasar utama hidup rukun. Kebebasan pun sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk berakal.
Berpendapat dan berkeyakinan merupakan manifestasi dari kondisi kemanusiaan yang mulia. Ketika dua hal tersebut mampu diwujudkan (baca: dihormati) maka dengan sendirinya hidup berdampingan dalam bina damai mewujud. Ketika agama tidak mampu menjadi perekat dan pemersatu masyarakat, maka keadaban publik tidak akan pernah terwujud. Agama sebagai ajaran luhur pun akan menjadi tameng bagi tindak tidak beradab, sebuah kondisi yang tentu tidak kita inginkan.
Pada akhirnya, perobohan gereja HKBP di Kabupaten Bekasi dan terkatung-katungnya masalah perizinan GKI Yasmin Bogor, mengusik alam bawah sadar kita, betapa bangsa ini jauh dari keadaban publik. Bangsa ini masih risau dengan kelompok lain. Kelompok lain adalah liyan (laisa minni, bukan golonganku).
Surga pun menjadi milik mutlak kelompok tertentu sehingga permusuhan menjadi mantra abadi. Ironisnya, pemerintah hanya termangu dan sepertinya mengamini perilaku menyimpang kelompok antipluralitas tersebut. Inilah bukti empiris betapa pemerintahan telah gagal melindungi warganya.
Oleh: Benni Setiawan
Penulis adalah dosen UNY, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar