Search

Sabtu, 13 April 2013

Darurat Preman(isme)



Oleh Benni Setiawan

"Opini", Sinar Harapan, Sabtu, 13 April 2013

Perilaku preman(isme) muncul akibat adanya rasa kesepian dalam seseorang.

Belum lekang dari ingatan, penyerbuan LP Cebongan Sleman Yogyakarta dan pengeroyokan polisi di Medan, Sumatera Utara, kerusuhan dan pembakaran terjadi di Kota Palopo Sulawesi Selatan, kini polisi menangkap beberapa preman di Jakarta.

Bersamaan dengan hal tersebut, beberapa demonstrasi terjadi di Yogyakarta. Mereka menyerukan agar tindak premanisme dapat diberantas. Pasalnya, aksi preman(isme) tersebut seakan kembali mengoyak ketenteraman dan kedamaian.

Masifnya aksi ini pun mengukuhkan banalitas kejahatan. Kejahatan tidak hanya memenuhi ruang masyarakat sipil. Riuhnya ruang preman(isme) seakan menimbulkan tanya, mengapa aksi kekerasan yang berujung pada penghilangan nyawa manusia dan perusakan fasilitas umum terjadi di bumi Nusantara?

Kesepian

Perilaku preman(isme) muncul akibat adanya rasa kesepian dalam seseorang. Kesepian (loneliness) tidak identik dengan kesunyian (solitude). Dalam kesunyian, manusia sesungguhnya menjadi dua, Aku dan Diriku. Hannah Arendt menyebut keadaan ini sebagai “dua dalam satu” (two in one).

Karena itu, dalam kesunyian, manusia (Aku) masih mempunyai teman untuk berdialog, yaitu Diriku. Dialog pada “dua dalam satu” tidak kehilangan hubungan dengan dunia sesama, karena Diriku merupakan perwakilan dari dunia. Kesunyian dapat menjadi kesepian, jika Aku ditinggalkan oleh Diriku.

Dalam kesepian, manusia adalah satu, “Aku ditinggalkan oleh orang-orang lain”. Hal paling tak tertahankan dalam kesepian adalah hilangnya jati diri (dalam kesunyian jati diri masih dapat diwujudkan), serta makin lemahnya identitas dalam kebersamaan.

Hal ini muncul karena tiadanya suasana memercayai dan dipercayai oleh sesama. Dalam kesepian, Aku kehilangan teman untuk berdialog, yaitu Diriku; sehingga manusia dalam kondisi ini akan kehilangan rasa percaya terhadap pikiran-pikirannya sendiri. Akibat paling menakutkan dari kesepian adalah, baik diri sendiri, dunia, maupun kemampuan untuk berpikir dan mengalami, hilang secara bersamaan.

Sebuah kondisi yang jauh dari realitas kemanusiaan. Manusia sebagai makhluk berpikir. Dengan berpikir manusia dapat disebut manusia. Begitu Descartes, filsuf kesohor mendaku dalam filsafat manusia.

Sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki kebutuhan untuk berpikir (kebutuhan nalar, meminjam istilah Immanuel Kant). Kebutuhan untuk berpikir hanya mampu dipenuhi lewat berpikir, bukan lewat pengetahuan.

Dengan demikian, berpikir berkaitan dengan menarik diri dari dunia ke dalam kesunyian sehingga tercipta dialog internal antara Aku dan Diriku. Melalui berpikir, Aku menciptakan ruang bagi Diriku.

Lebih lanjut, pada saat manusia kesepian, satu-satunya hal yang masih dipercaya adalah kemampuan bernalar secara logis. Padahal, pernyataan yang logis belum tentu sesuai dengan realitas. Satu-satunya kebenaran yang masih dapat dipercaya manusia dalam kesepian adalah kaidah-kaidah logika, yang dianggap tidak dapat sesat, meski dalam kesepian mutlak.

Manusia dalam kondisi ini mencampuradukkan kebenaran pada tingkat koherensi dengan kebenaran korespondensi. Kesepian menyebabkan hilangnya akal sehat maka kebenaran yang sesuai dengan kaidah logika menjadi sandaran hidupnya, menyebabkan manusia tercabut dari realitas.

Kebenaran seperti itu sebenarnya bersifat hampa karena tidak dapat mengungkapkan apa-apa. Proses pemikiran yang ditandai dengan kepercayaan penuh terhadap kaidah logika, menyebabkan manusia merasa tidak memiliki tempat untuk berlari.

Efek yang ditimbulkan dari kesepian, dengan mengacu pada perkataan Luther, adalah menganggap segala sesuatu bersifat buruk. Jadi, dapat kita simpulkan, orang yang mengalami kesepian sulit melihat sisi positif dari apa pun (Rieke Diah Pitaloka, 2004).

Keterasingan

Cara pandang negatif terhadap sesuatu mengakibatkan hilangnya akal waras manusia. Akal waras tertimbun oleh nafsu untuk mengenyahkan orang lain jika mengganggu aktivitas atau mengusik kelompok tertentu. Manusia seperti itu menegasikan diri (mengakukan diri) sebagai yang terkuat dan terhebat. Padahal, apa yang mereka lakukan merupakan pengasingan terhadap diri sendiri.

Keterasingan menyebabkan manusia lupa akan entitas diri dan lingkungan. Peng-aku-an yang menghilangkan ke-kita-an ini menyembul ke ruang publik dan menimbulkan kerusakan.

Kerusakan yang menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Kerusakan yang berujung pada penghilangan nyawa orang lain pun merupakan fakta. Padahal, menghilangkan nyawa manusia merdeka merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Dalam konsepsi HAM, misalnya, Nurcholish Madjid mendedah kisah dramatis tentang perseteruan Habil dan Qabil. Kisah ini oleh Cak Nur dalam berbagai kesempatan sering diintroduksi ketika menjelaskan wacana, perspektif, dan bentuk pelanggaran berat HAM.

Menurutnya, itulah sunnah sayyiah (model buruk) yang dilakukan Qabil, sekaligus menjadi model pelanggaran berat HAM pertama di muka Bumi. Cak Nur meyakini bahwa pembunuhan atau penghilangan nyawa merupakan pelanggaran hak hidup yang dimiliki secara mutlak oleh setiap manusia, satu hak primordial yang tidak dikaitkan dalam kewajiban apa pun dari Tuhan.

Karena itu, prinsip pertama HAM utama adalah hak hidup. Inilah hak yang melekat pada diri setiap manusia yang mesti dihormati dan dilindungi oleh siapa pun. Selain itu, membunuh satu manusia berarti membunuh seluruh umat manusia.

Pada akhirnya, maraknya tindak preman(isme) yang berujung pada kekerasan dan penghilangan nyawa merupakan potret betapa bangsa Indonesia dalam keadaan darurat. Darurat premanisme.

*Penulis adalah dosen di Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar