Oleh Benni Setiawan
"Artikel", Bali Post, 04 April 2013
Konflik horizontal kembali pecah. Kali ini disebabkan oleh rasa tidak puas saat pemilihan Wali Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Ratusan orang yang berasal dari kubu calon wali kota yang kalah mengamuk dan membakar sejumlah gedung pemerintah dan fasilitas publik, Minggu (31/3).
Kerusuhan serupa pernah terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Rumah dinas Bupati dibakar massa. Konflik ini bermula dari sengketa Pilkada Bupati. Dalam pilkada 5 Juni 2010 yang diikuti dua pasangan calon, Ujang Iskandar-Bambang Purwanto memperoleh 55.281 suara. Adapun Sugianto-Eko Soemarno menang dengan 67.199 suara.
Ujang-Bambang menggugat KPU Kotawaringin Barat ke Mahkamah Konstitusi. Setelah mendengarkan 68 saksi dan memeriksa berbagai bukti yang dihadirkan kubu Ujang-Bambang, MK mengeluarkan putusan mengagetkan pada 7 Juli 2010.
Persoalan semakin panas, karena Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mendiskualifikasi pemenang pilkada Sugianto-Eko Soemarno. Putusan ini dibuat MK karena MK menilai telah terjadi praktik politik uang secara masif dan terstruktur.
Konflik juga pernah terjadi di Kabupaten Puncak, Papua. Dilaporkan setidaknya 17 orang meninggal dunia, puluhan luka berat dan ringan. Kerusuhan ini bermula dari munculnya dua pasangan calon yang sama-sama mengantongi tiket dari Partai Gerindra. Calon bupati Elvis Tabuni mendaftarkan terlebih dulu pada 27 Juli 2011. Selang tiga hari kemudian, calon bupati Simon Alom mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Namun, sial bagi calon bupati Simon Alom, ia ditolak oleh KPU karena salah satu partai pendukungnya adalah Gerindra yang telah menjadi pendukung calon bupati Elvis Tabuni.
Proses Seleksi
Apa yang terjadi di Pilkada Kota Palopo, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Puncak Papua sudah selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Pilkada bukanlah ajang adu jotos dan unjuk kekuatan fisik. Pilkada merupakan proses pencarian pemimpin daerah yang akan membawa perubahan dan kemajuan bagi masyarakat.
Maka dari itu, harus ada proses seleksi yang baik. Jika proses seleksinya saja amburadul dan mengakibatkan konflik, apa yang dapat kita harapkan dari ajang pilkada ini?
Proses yang baik tersebut meliputi, komitmen calon untuk bekerja bagi rakyat dengan sepenuh hati. Artinya, keinginan ini terwujud melalui proses seleksi yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), mau menerima kekalahan dan mengakui kemenangan calon lain, serta bersedia dan mampu mendidik penduduk agar tidak berulah anarkis.
Banyak calon mengklaim diri siap menang dan kalah, namun ia lupa bahwa ada sekian banyak kepentingan di belakang mereka. Mendamaikan kepentingan guna kebaikan bersama lebih utama daripada sekadar pernyataan sikap tanpa realisasi.
Membangun kepentingan bersama tanpa dendam dapat dimulai dari bersihnya proses seleksi sejak awal. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin mengantongi tiket dari partai politik (parpol) tertentu harus menyiapkan segepok uang sebagai pelicin. Budaya korupsi yang dibangun oleh calon seperti ini hanya akan mengakibatkan timbulnya korupsi baru yang lebih besar. Jika seorang kalah sebelum bertanding, maka ia tidak segan untuk menghalalkan segala cara agar dapat maju dan menang, walaupun harus dengan pertumpahan darah bahkan bunuh diri sebagaimana terjadi pada Pilkada Kota Semarang, Jawa Tengah.
Mentalitas seperti ini tidak hanya menjadi ''dosa'' bagi calon, namun juga bagi parpol. Hal ini karena parpol telah dengan sengaja merancang proses seleksi dengan jalan uang. Keadaan ini semakin mengukuhkan bahwa lingkaran setan korupsi tidak dapat dilepaskan dari pusat kekuatan (parpol).
Maka dari itu, guna mencegah konflik, proses seleksi dan pemilihan bupati harus bersih dari unsur uang. Ketika pilkada masih bertabur uang, sulit kiranya hajatan lima tahunan ini bebas dari masalah dan konflik.
Delegasi Kewenangan
Kemudian bagaimana mewujudkannya? Pertama, parpol harus mau mendelegasikan kewenangan penentuan calon pada tingkat kabupaten/kota. Penentuan calon yang harus mendapat restu dari DPP hanya memperlambat proses seleksi dan membuka peluang untuk melakukan KKN.
Sudah selayaknya DPP mampu memberi peran dan kepercayaan kepada pengurus di tingkat bawah. Proses ini selain meringankan tugas DPP juga sebagai uji kapasitas dan kualitas kader dalam mengelola sebuah hajatan demokrasi di tingkat lokal.
Pelibatan kader di tingkat lokal ini juga guna mengurangi jurang keterputusan generasi. Artinya, jika kader-kader daerah sudah mampu mengelola hajatan pilkada maka ketika ia naik ke tingkat pusat akan menjadi calon pemimpin bangsa yang tangguh dan teruji.
Kedua, kesiapan KPU dalam menyelenggarakan pilkada. KPU merupakan panitia utama dalam proses ini. Keberhasilan dan kegagalan pilkada terletak pada kinerja KPU. Ketika KPU tidak mampu mengelola konflik atau bahkan cenderung kepada salah satu calon maka dapat dipastikan pilkada akan rawan konflik.
Maka dari itu, komisioner KPU haruslah orang-orang yang mumpuni, tidak saja paham aturan UU, namun juga mengerti sosiologi politik dan sosio-historis masyarakat setempat. Pemahaman ini diperlukan di tengah semakin menyempitnya (baca: mandegnya) pendidikan politik.
Ruang bagi pendidikan politik masyarakat semakin menyempit karena parpol semakin sibuk dengan rutinitas, sehingga masyarakat semakin buta akan realitas politik yang menjadikannya ''loyalis buta''. Ketika komisioner tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka pelaksanaan pilkada hanya akan menjadi ajang adu jotos dengan jatuhnya korban jiwa.
Ketiga, kebesaran hati (sikap negarawan) calon untuk turun langsung ke lokasi, melerai dan meredam emosi pendukung. “Sabda” calon kepala daerah lebih ampuh daripada senjata yang digenggam oleh polisi. Selain calon kepala daerah mengetahui keinginan pendukung, ia merupakan panutan bagi massa yang telah terbakar amarah.
Maka dari itu, calon bupati dan atau wali kota tidak boleh cuci tangan dan menyalahkan orang lain. Ia harus mampu instrospeksi diri dan berdiri di garda depan guna menciptakan stabilitas sebuah daerah.
Pada akhirnya, konflik horizontal antarpendukung calon bupati sebagaimana terjadi di Kabupaten Puncak, Papua tidak boleh terjadi di daerah lain. Pasalnya pilkada bukan sarana pembenar atas tindak kekerasan dan pembunuhan. Pilkada adalah pilihan demokrasi Indonesia guna memilih pemimpin daerah yang berkualitas dan berpihak kepada rakyat.
Penulis, dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
Tidak ada komentar:
Posting Komentar