Search

Kamis, 25 April 2013

Apa kabar Reformasi Politik?

Oleh Benni Setiawan



Opini, Sinar Harapan, Rabu, 24 April 2013

Dengan sistem demokrasi negara yang lebih banyak dikuasi oleh borjuasi domestik melahirkan otoriterisme yang menyengsarakan dan menindas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan. Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat), mengenai pemerintahan negara terhadap negara lain. Kebijakan cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.

Dengan demikian, politik dapat diartikan sebagai cara mengatur kehidupan kenegaraan.
Kehidupan yang diharapkan adalah kehidupan kenegaraan yang penuh dengan kedamaian, ketentraman dan keteraturan. Negara tidak boleh semena-mena memaksakan kehendaknya kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi tentram dan nyaman hidup dalam kekuasaan negara dan juga sebaliknya. Akan tetapi, yang terjadi, sistem politik di Indonesia belum dapat menjadikan rakyat nyaman dan tentram serta dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Betapa tidak, hari kita menyaksikan secara gamblang betapa manusia Indonesia semakin buas. Manusia Indonesia sudah kehilangan akal sehatnya. Mereka dengan sengaja merampok uang negara, membakar fasilitas publik ketika calon yang diusung kalah, saling serang dan membunuh karakter lawan politik, hingga pembunuhan atas nama korp.

Kepemimpinan
Ironisnya, seakan negara (baca: sistem politik) tidak mampu mencegah perbuatan tercela tersebut. Negara hanya termangu dan tidak mampu melakukan apapun kecuali pidato di atas mimbar kenegaraan.

Padahal kita ketahui bersama bahwa reformasi politik yang kita inginkan adalah memberikan kehidupan demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia yang ditandai dengan pemimpin yang bersih, jujur, berintegritas, tegas, dan mampu secara cepat dan tepat mengambil keputusan strategis.

Tanpa hal tersebut, cita-cita reformasi, bidang politik seperti, kebebasan pers, berpendapat dan berbicara, mengekspresikan pendapat kebebasan dari rasa takut tidak akan pernah terwujud.

Kekhawatiran tidak terwujudnya cita mulia reformasi pun semakin diperparah oleh pemerintahan tidak sigap dan bijaksana dalam setiap pengambilan keputusan. Keputusan pemerintah cenderung serampangan dan menuruti nafsunya. Seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebelum rencana kenaikan pun masyarakat sudah dipusingkan dengan kelangkaan solar.

Apa yang terjadi hari ini mengisyaratkan bahwa keputusan yang diambil pemerintah belum mencerminkan aspirasi rakyat. Pemerintah masih saja menuruti aspirasi pribadi dan golongan. Bagaimana menjadi pemimpin bangsa, jika mereka belum jujur terhadap dirinya sendiri?

Maka dari itu, kontrol rakyat untuk mengawasi jalannya suatu pemerintahan mutlak diperlukan. Rakyat menentukan peran yang signifikan dalam suatu negara apalagi dalam sistem pemilihan presiden langsung ini. Rakyat adalah icon terpenting dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Selama rakyat masih mudah dibohongi, nasibnya tidak akan pernah berubah menjadi korban penghisapan dan penindasan oleh rezim demi rezim penguasa. Rakyat harus banyak belajar berdemokrasi, karena dengannya rakyat akan menjadi tambah dewasa dengan perbedaan pendapat.

Transformasi
Menurut Robert A. Dhal sebagaimana dikutip oleh Aribowo (1996), menyatakan bahwa gagasan, nilai dan ide tentang hak masyarakat dalam proses pembuatan keputusan negera dalam negera kota Yunani kuno telah ditransformasikan ke dalam tatanan sosial-politik dalam nation-state yang modern. Transformasi tersebut telah menyebabkan timbulnya seperangkat lembaga politik baru. Artinya, dalam proses politik transformasi ide ke dalam suatu bentuk tatanan politik mengikuti apa yang dikatakan Mark N Hagopian memerlukan proses institusionalisasi perilaku politik. Dalam konteks hubungan antara pemilu dan demokrasi biasanya para teoritis pluralisasi-klasik tentang demokrasi menganggap partai politik memegang peranan penting.

Hal itu berarti secara teoritis-klasik parpol merupakan instrumen penting bagi berlansungnya sistem politik demokrasi. Sebab hak-hak politik politik masyarakat untuk ikut mempengarhui policy (kebijakan) negara, khususnya dalam penyusunan dan perubahan pejabat negara, secara historis dan politis dimanifestasikan dalam pemilu. Dan instrumen parpol itu sendiri, untuk mentrasformasikan hak politik rakyat ke dalam jaringan mekanisme politik negara dalah parpol (partai politik).

Persoalan yang muncul kemudian adalah parpol seringkali mengingkari janji-janji politiknya. Mereka seringkali lepas tangan dalam tanggung jawab turut serta dalam mencerdaskan anak bangsa. Artinya, mereka dengan sadar melepaskan sekian kepentingan umum (masyarakat) guna mendapatkan sekian kepentingan untuk pribadi dan golongan.
Lihat saja, betapa hiruk pikuk urusan ”rumah tangga” parpol hari ini telah menyita dan menggerus agenda rakyat. Pasalnya, pemimpin bangsa lebih disibukkan dengan urusan parpol daripada mengurusi rakyat.

Lebih lanjut, parpol pun hari ini tidak menjadi tempat persemaian kader-kader calon pemimpin bangsa. Namun, hanya menjadi ”tempat mangkal” seseorang. Mereka pun menganggap parpol tidak lebih seperti pakaian. Jika sudah lusuh dan tidak memberikan kenyamanan, mereka tinggalkan dan berganti dengan parpol lain.

Parpol yang termanifestasi dalam sebuah lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seringkali meninggalkan sekian kepentingan masyarakat. Pejabat parpol yang telah mendaptakan kursi empuk di kabinet, anggota dewan atau bahkan bupati dan wakil bupati, seringkali berdiri di atas penderitaan orang lain.

Benarlah kata Vedi R. Hadiz (Indonesianis, Profesor Asia Research Center Murdoch University, Western Australia), dengan sistem demokrasi negara yang lebih banyak dikuasi oleh borjuasi domestik melahirkan otoriterisme yang menyengsarakan dan menindas. Kekuasaan negara yang lahir dari sistem partai politik lebih banyak menguntungkan kaum borjuasi domestik dan mengekang sekian kepetingan kaum proletar dalam sistem kenegaraan.
Pada akhirnya, reformasi politik yang diancang sejak 15 tahun lalu ternyata menyisakan persoalan pelik. Reformasi politik belum menjadi ruh kebangsaan malah melahirkan kekuasaan korup yang menyengsarakan rakyat.

*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar