Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Minggu, 15 September 2013
Cara Bijak Mengurai Aksi Teror
Aksi teror terhadap aparat kepolisian terus terjadi. Adalah Bripka Sukardi, anggota Kesatuan Provos Mabes Polri yang tengah mengawal truk bermuatan bahan konstruksi, ditembak oleh orang yang tak dikenal. Bripka Sukardi tertembak di empat bagian di dadanya.
Insiden 10 September tersebut seakan menambah panjang daftar teror terhadap aparat keamanan. Pada 27 Juli 2013, anggota Satlantas Polres Jakar ta Pusat Aipda Fatah Saktiyono ditembak di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Lantas, pada 7 Agustus 2013, anggota Polsek Cilandak Aiptu Dwiyatno meregang nyawa ditembus peluru panas, juga di kawasan Ciputat. Teror pun terjadi pada 16 Agustus 2013. Dua anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan, yakni Aiptu Koeshendratna dan Bripka Ahmad Maulana meninggal di tempat akibat berondongan senjata api.
Teror terhadap aparat keamanan ini tentunya meresahkan dan menimbulkan tanda tanya besar. Jika polisi saja yang mendapat amanat dari negara menjadi korban teror, bagaimana dengan masyarakat sipil? Mengapa pelaku begitu nekat melakukan hal ini?
Pendekatan Kemanusiaan
Beberapa pengamat menyatakan bahwa aksi ini merupakan serangkaian balas dendam kelompok teroris. Kelompok-kelompok teroris yang kini mulai bangkit melalui jaringan sel kecil, ingin menyatakan diri bahwa mereka masih ada (eksis). Mereka pun siap melakukan serangkaian aksi untuk membalas dendam rekan-rekannya yang telah duluan “syahid” di tangan polisi.
Walaupun pendapat tersebut masih perlu diuji kesahihannya, mengaitkan teror terhadap polisi dengan aksi terorisme mungkin ada benarnya. Selama ini kita menyaksikan bahwa penumpasan terorisme dilakukan oleh kepolisian, dalam hal ini Densus Antiteror 88. Densus seringkali melakukan tindakan tegas dengan menembak mati terduga teroris. Aksi ini menimbulkan kecaman dari penggiat hak asasi manusia (HAM) dan juga kelompok-kelompok yang bersimpati terhadap gerakan itu. Bahkan, dalam sebuah wawancara di televisi, peneliti dan pengamat intelejen,
Wawan H Purwanto, menyatakan pascapenembakan terduga teroris di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, ia didatangi beberapa orang yang siap “syahid” untuk membalaskan dendam saudara sesame muslim. Jika itu benar, berarti kini Indonesia tengah dalam kepungan teror. Polisi meneror masyarakat (baca: kelompok masyarakat) dan sebaliknya, masyarakat meneror polisi. Sebuah kondisi yang sangat meresahkan.
Guna mengurangi konflik atau keteganggan itu, semua pihak selayaknya mampu mawas diri. Artinya, pihak berwajib (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT dan Densus 88) selayaknya mengubah cara penumpasan teroris. Penangkapan teroris dengan mengacungkan senjata tidak akan pernah efektif. Penumpasan dengan senjata hanya akan semakin menyuburkan kekerasan baru. Kelompok- kelompok yang tidak terima dengan perlakuan itu akan dengan sekuat tenaga melakukan balas dendam.
Karena itulah pendekatan (approach) yang lebih manusiawi diperlukan dalam memutus mata rantai kekerasan ini. Penangkapan terduga teroris dengan jalan damai tanpa senjata akan lebih efektif dalam melumpuhkan jaringan ini. Mereka dapat dibina dan “mendapat” pemahaman serta pandangan yang lebih inklusif, sehingga dapat membantu kepolisian guna mengetahui jaringan-jaringan baru yang terus hidup.
Peran Pemuka Agama
Scott Appleby, dalam The Ambivalance of the Second (2000) menyebutkan, kekerasan keagamaan terjadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan argumenargumen keagamaan (atau etniskeagamaan) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain.
Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ekstremis dimungkinkan jika para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi anti-kekerasan (non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural masyarakat.
Upaya-upaya perdamaian oleh agama terjadi ketika para pemeluk agama yang militan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan professional untuk mencegah, memberi sinyal awal, memerantai dan melakukan unsur-unsur lain ke arah transformasi konflik dan kekerasan (Rizal Panggaben dan Ihsan Ali- Fauzi, 2011).
Di sinilah peran penting pemuka agama dalam membina umatnya. Pemuka agama yang dalam pandangan pemerintah dianggap militan selayaknya dirangkul dan diajak berdialog. Menjauhi mereka atau menegasikan mereka dalam sistem berbangsa dan bernegara hanya akan menimbulkan kebencian baru yang dapat menyulut konflik dan kekerasan.
Pemerintah selayaknya memberikan pemahaman dan membekali mereka kemampuan teknis dan nonteknis untuk dapat meredam amarah umatnya. Pembinaan ini tentu bukan bermaksud menggurui dan atau menjadikan mereka sebagai objek proyek kenegaraan. Mereka selayaknya ditempatkan sebagai subjek (pelaku aktif) dalam membina kedamaian.
Teror yang beberapa bulan ini menghantui pihak kepolisian sudah selayaknya dijadikan momentum bagi pihak terkait untuk mengoreksi apa yang kurang pas dengan program deradikalisasi hari ini. Tanpa mau mengoreksi dan malah meningkatkan serangkaian sweeping dengan moncong senjata, maka teror akan terus terjadi.
Semakin tinggi intensitas teror di Republik ini menjadi penanda bahwa bangsa ini jauh dari sikap beradab. Sebuah sikap yang menjadi amanat Pancasila dan UUD 1945. Hal ini juga menunjukkan betapa manusia Indonesia masih terbelenggu dalam sekat primordialisme. Mereka masih suka mengagungkan kelompok dan mengenyahkan kelompok lain yang berada di sekitar kita.
Pada akhirnya, selama penanganan terorisme di Indonesia masih menggunakan kekerasan dan senjata, teror akan terus ada dan semakin masif. Mengubah strategi dan memutar arah kepada haluan yang lebih manusiawi akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju keadilan sosial dan keadaban publik (ID.14-15/09/2013).
Benni Setiawan, dosen pada Universitas Negeri Yogyakarta, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
Tidak ada komentar:
Posting Komentar