Oleh Benni Setiawan
Pendapat, Koran Tempo, Kamis, 26 Juni 2014
Pemilihan presiden 9 Juli sudah semakin dekat. Black campaign (kampanye hitam) muncul bertubi-tubi. Bahkan, Muhammadiyah, sebagai organisasi massa Islam, pun ikut terseret sebagai korban dalam arus kampanye hitam ini. Hal itu menunjukkan secara gamblang bahwa kebangsaan kita semakin pudar dan rapuh. Kebangsaan kita jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi yang lebih tua dari umur Republik, Muhammadiyah terpanggil untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam pidato milad Muhammadiyah ke-101, tertulis, "Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai dengan sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, dan mampu menunjukkan jiwa kenegarawanan yang utama."
Pidato tersebut menegaskan posisi dan peran Muhammadiyah dalam kebangsaan. Muhammadiyah, sebagai bagian dari civil society, perlu mengingatkan calon presiden. Bahwasanya mereka dipilih untuk menjadi pemimpin. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa merasa gelisah jika tidak mampu bekerja optimal. Senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna memakmurkan bangsa, dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Karena itu, seorang pemimpin selayaknya menyemai kebajikan setiap saat. Dalam kesejarahan, Muhammadiyah telah mewariskan semangat juang menjadi pelayan dari kepemimpinan A.R. Fachruddin. Pak AR, begitu ia disapa, menjadi simbol dai ikhlas, bersahaja, dan tawaduk.
Ia pun senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui bahasa-bahasa sederhana. Ia senantiasa ingin dekat dengan umat. Ia sering mengunjungi desa dan menyapa masyarakat. Kesederhanaan, ketulusan, dan ketelatenan menyapa masyarakat menjadi ciri utama kepemimpinan Pak AR. Melalui sikap yang demikian, Presiden Soeharto pun seakan tunduk pada wejangan Pak AR.
Lebih lanjut, kebangsaan hari ini akan kokoh jika pemimpinnya mampu menjadi teladan. Sebaliknya, ketika keteladanan menghilang dan hanya menjadi kata tanpa ucapan, kebangsaan akan runtuh. Bangsa ini harus diselamatkan dari proses kepemimpinan yang rapuh. Pasalnya, jika bangsa dan negara ini ambruk, Muhammadiyah pun akan roboh.
Karena itu, Muhammadiyah tidak dalam posisi mendukung atau menolak seorang capres. Sikap itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah dalam pemilihan presiden 2014 ingin membangun politik berperadaban. Politik adiluhung sebagai pengejawantahan sikap dan konsistensi Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan.
Kelompok-kelompok seperti Surya Madani Indonesia (SMI) yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Relawan Mentari Indonesia (RMI) yang mendukung pasangan Jokowi-JK, tidak bertindak atas nama Muhammadiyah. Mereka adalah simpatisan yang kebetulan terbangun dari jejaring aktivis Persyarikatan. Jadi, tak ada hubungan struktural dengan Persyarikatan.
Muhammadiyah memposisikan diri sebagai bapak bangsa, pengayom semua capres. Sikap ini bukan cara Muhammadiyah mencari selamat atau bermain di dua kaki. Muhammadiyah tetaplah organisasi besar yang tak tergiur bermain di arena politik. Khitah sebagai organisasi massa Islam amar makruf nahi mungkar lebih berharga daripada sekadar turut serta dalam hiruk-pikuk politik. *
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Kamis, 26 Juni 2014
Intoleransi Melumpuhkan Demokrasi
Oleh Benni Setiawan
Demokrasi tidak akan berjalan jika pemerintah tidak menyelesaikan persoalan intoleransi.
Opini, Sinar Harapan, Rabu, 25 Juni 2014
Kasus intoleransi menyembul di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden. (pilpres) intoleransi merupakan masalah serius bangsa. Intoleransi bukan sekadar masalah biasa, namun, ia mengancam eksistensi republik ini. Intoleransi menjadi musuh utama terwujudnya nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Kasus intoleransi yang terbaru tersuguh dari keteduhan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), awal Juni. Pelarangan ibadat Paskah di Gunung Kidul; penyerangan jemaat Santo Fransicus Agung Gereja Banteng, di Ngaglik, Sleman; serta perusakan dan penyegelan gereja di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.
Aksi tersebut tentu sangat mengusik ketenteraman warga DIY khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kedamaian yang telah terajut lama seakan terempas aksi-aksi tak beradab tersebut.
Bangunan demokrasi Nusantara penuh keramahan, kesantunan, dan kesahajaan pun ambruk. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa aksi-aksi intoleran itu muncul di tengah ruang publik yang begitu luas di era Reformasi sekarang?
Etos Global
Persoalan yang dihadapi agama-agama dalam pembangunan perdamaian bukan soal kompetensi, melainkan komitmen dan kapabilitas. Komitmen merupakan kata utama membangun bina damai. Tanpa komitmen yang kuat dari diri sendiri dan lingkungan, akan sulit membangun perdamaian abadi.
Setelah terbangun komitmen, hal kedua adalah kapabilitas yang mumpuni. Artinya, kemampuan seseorang mengelola kebersamaan menjadi kata kuncinya. Kapabilitas seorang pemeluk agama adalah menjaga orang lain, seperti ia menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya. Setelah dua hal itu terbangun, yang perlu ada dalam diri seseorang adalah etos global.
Hans Kung memberi argumentasi tentang alasan perdamaian memerlukan sebuah etos global yang mendukung koeksistensi damai semua umat manusia dalam sebuah rumah bersama itu, kein uberleben ohne weltethos (tidak ada keberlangsungan kehidupan umat manusia tanpa etos global; kein weltfriede ohne religionsfriede (tidak ada perdamaian dunia tanpa ada perdamaian di antara agama-agama); dan kein religionsfriede ohne religionsdialog (tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antaragama).
Trilogi perdamaian Hans Kung di atas adalah ungkapan yang paling padat, mencakup tuntutan bagi semua agama di dunia, untuk memulai babak baru membangun perdamaian dunia berdasarkan etos bersama, etos yang mengalir keluar dari oase kekayaan spiritualitas dalam agama-agama itu sendiri, bukan sebuah etos hasil rekayasa sosial yang datang dari luar oase kekayaan spiritualitas agama-agama tersebut (Robert B Baowollo, 2010).
Asas Kebangsaan
Dialog menjadi sebuah keniscayaan. Dialog dan musyawarah menjadi mantra kehidupan. Musyarawah bukan sekadar mencari kata sepakat, melainkan menggali ide dan gagasan besar untuk hidup rukun tanpa prasangka.
Persangkaan hanya dapat luntur ketika para pihak mampu duduk semeja dan berhubungan tanpa sekat. Prasangka sering kali muncul karena setiap anggota masyarakat tak terhubung dalam komunitas beradab (bonnum communie), meminjam istilah Habermas.
Konsepsi musyarakat itu termaktub dalam butir Pancasila sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tatanan masyarakat harus terbangun dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil sejak di alam pikiran akan membuka ruang dialog tanpa prasangka.
Jika dalam pikiran kita terperangkap “racun” penuh kedengkian dan kebencian, ruang dialog sulit terbangun. Berbeda jika ruang alam bawah sadar dipenuhi keyakinan bahwa keberagamaan tak akan pernah melukai maka kehidupan beradab akan terwujud.
Kehidupan beradab adalah yang kita pikirkan menginspirasi tindakan. Setiap tindakan senantiasa didasarkan sikap sportif, welas asih, dan kemanusiaan yang mulia.
Saat ketiga hal itu mewujud dalam keseharian manusia, ia akan bertindak atas dasar akal sehat. Akal sehat akan menuntun umat menuju penghargaan diri dan lingkungan. Ego sektoral pun akan lenyap dengan sendirinya.
Dengan demikian, aksi intoleran merupakan bukti betapa lemahnya pemahaman diri dan lingkungan seseorang. Mereka bertindak atas ego yang memaksanya keluar dari kemanusiaan yang beradab.
Inilah yang kemudian menyebabkan kerapuhan demokrasi. Kebebasan berpendapat, berserikat, dan beragama terkurung dan terkungkung dalam sekat primordial. Sekat itu bahkan sering didasarkan kepada pemaknaan realitas keagamaan.
Demokrasi yang membuka ruang publik ternyata masih menyisakan persoalan serius, yaitu ketidakmampuan seseorang memaknai kebebasan dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, kerapuhan itu tak begitu saja disebabkan pemaknaan sempit seseorang.
Peraturan pemerintah sering malah memicu timbulnya kebencian tersebut. Sebagai contoh, surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang rumah ibadah. Peraturan itu kerap dijadikan tameng sekaligus pembenaran oleh kelompok tertentu untuk melakukan tindak intoleran. Oleh karena itu, sudah selayaknya SKB tersebut dicabut guna menjamin berlangsungnya kehidupan penuh keadaban berperikemanusiaan.
Akhirnya, aksi intoleransi yang tersaji di Nusantara merupakan bukti nyata, betapa keberagamaan di republik ini belum tersemai berdasarkan asas kebangsaan. Keberagaman sering kali masih dipenuhi keraguan dan kecurigaan (prasangka) karena kurangnya dialog. Kebuntuan dialog pun kadang muncul dan “ditumpangi” peraturan pemerintah yang tak memihak iklim demokrasi.
Semoga pemimpin terpilih mendatang mampu mengubah wajah demokrasi menjadi ramah terhadap keberagamaan.
Demokrasi tidak akan berjalan jika pemerintah tidak menyelesaikan persoalan intoleransi.
Opini, Sinar Harapan, Rabu, 25 Juni 2014
Kasus intoleransi menyembul di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden. (pilpres) intoleransi merupakan masalah serius bangsa. Intoleransi bukan sekadar masalah biasa, namun, ia mengancam eksistensi republik ini. Intoleransi menjadi musuh utama terwujudnya nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Kasus intoleransi yang terbaru tersuguh dari keteduhan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), awal Juni. Pelarangan ibadat Paskah di Gunung Kidul; penyerangan jemaat Santo Fransicus Agung Gereja Banteng, di Ngaglik, Sleman; serta perusakan dan penyegelan gereja di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.
Aksi tersebut tentu sangat mengusik ketenteraman warga DIY khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kedamaian yang telah terajut lama seakan terempas aksi-aksi tak beradab tersebut.
Bangunan demokrasi Nusantara penuh keramahan, kesantunan, dan kesahajaan pun ambruk. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa aksi-aksi intoleran itu muncul di tengah ruang publik yang begitu luas di era Reformasi sekarang?
Etos Global
Persoalan yang dihadapi agama-agama dalam pembangunan perdamaian bukan soal kompetensi, melainkan komitmen dan kapabilitas. Komitmen merupakan kata utama membangun bina damai. Tanpa komitmen yang kuat dari diri sendiri dan lingkungan, akan sulit membangun perdamaian abadi.
Setelah terbangun komitmen, hal kedua adalah kapabilitas yang mumpuni. Artinya, kemampuan seseorang mengelola kebersamaan menjadi kata kuncinya. Kapabilitas seorang pemeluk agama adalah menjaga orang lain, seperti ia menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya. Setelah dua hal itu terbangun, yang perlu ada dalam diri seseorang adalah etos global.
Hans Kung memberi argumentasi tentang alasan perdamaian memerlukan sebuah etos global yang mendukung koeksistensi damai semua umat manusia dalam sebuah rumah bersama itu, kein uberleben ohne weltethos (tidak ada keberlangsungan kehidupan umat manusia tanpa etos global; kein weltfriede ohne religionsfriede (tidak ada perdamaian dunia tanpa ada perdamaian di antara agama-agama); dan kein religionsfriede ohne religionsdialog (tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antaragama).
Trilogi perdamaian Hans Kung di atas adalah ungkapan yang paling padat, mencakup tuntutan bagi semua agama di dunia, untuk memulai babak baru membangun perdamaian dunia berdasarkan etos bersama, etos yang mengalir keluar dari oase kekayaan spiritualitas dalam agama-agama itu sendiri, bukan sebuah etos hasil rekayasa sosial yang datang dari luar oase kekayaan spiritualitas agama-agama tersebut (Robert B Baowollo, 2010).
Asas Kebangsaan
Dialog menjadi sebuah keniscayaan. Dialog dan musyawarah menjadi mantra kehidupan. Musyarawah bukan sekadar mencari kata sepakat, melainkan menggali ide dan gagasan besar untuk hidup rukun tanpa prasangka.
Persangkaan hanya dapat luntur ketika para pihak mampu duduk semeja dan berhubungan tanpa sekat. Prasangka sering kali muncul karena setiap anggota masyarakat tak terhubung dalam komunitas beradab (bonnum communie), meminjam istilah Habermas.
Konsepsi musyarakat itu termaktub dalam butir Pancasila sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tatanan masyarakat harus terbangun dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil sejak di alam pikiran akan membuka ruang dialog tanpa prasangka.
Jika dalam pikiran kita terperangkap “racun” penuh kedengkian dan kebencian, ruang dialog sulit terbangun. Berbeda jika ruang alam bawah sadar dipenuhi keyakinan bahwa keberagamaan tak akan pernah melukai maka kehidupan beradab akan terwujud.
Kehidupan beradab adalah yang kita pikirkan menginspirasi tindakan. Setiap tindakan senantiasa didasarkan sikap sportif, welas asih, dan kemanusiaan yang mulia.
Saat ketiga hal itu mewujud dalam keseharian manusia, ia akan bertindak atas dasar akal sehat. Akal sehat akan menuntun umat menuju penghargaan diri dan lingkungan. Ego sektoral pun akan lenyap dengan sendirinya.
Dengan demikian, aksi intoleran merupakan bukti betapa lemahnya pemahaman diri dan lingkungan seseorang. Mereka bertindak atas ego yang memaksanya keluar dari kemanusiaan yang beradab.
Inilah yang kemudian menyebabkan kerapuhan demokrasi. Kebebasan berpendapat, berserikat, dan beragama terkurung dan terkungkung dalam sekat primordial. Sekat itu bahkan sering didasarkan kepada pemaknaan realitas keagamaan.
Demokrasi yang membuka ruang publik ternyata masih menyisakan persoalan serius, yaitu ketidakmampuan seseorang memaknai kebebasan dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, kerapuhan itu tak begitu saja disebabkan pemaknaan sempit seseorang.
Peraturan pemerintah sering malah memicu timbulnya kebencian tersebut. Sebagai contoh, surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang rumah ibadah. Peraturan itu kerap dijadikan tameng sekaligus pembenaran oleh kelompok tertentu untuk melakukan tindak intoleran. Oleh karena itu, sudah selayaknya SKB tersebut dicabut guna menjamin berlangsungnya kehidupan penuh keadaban berperikemanusiaan.
Akhirnya, aksi intoleransi yang tersaji di Nusantara merupakan bukti nyata, betapa keberagamaan di republik ini belum tersemai berdasarkan asas kebangsaan. Keberagaman sering kali masih dipenuhi keraguan dan kecurigaan (prasangka) karena kurangnya dialog. Kebuntuan dialog pun kadang muncul dan “ditumpangi” peraturan pemerintah yang tak memihak iklim demokrasi.
Semoga pemimpin terpilih mendatang mampu mengubah wajah demokrasi menjadi ramah terhadap keberagamaan.
Selasa, 17 Juni 2014
Pesan untuk Calon Presiden
Oleh Benni Setiawan
Koran Sindo, Minggu, 15 Juni 2014
Pemilu presiden (pilpres) 9 Juli sudah semakin dekat. Sabtu, 31 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, yang diusung Koalisi Merah Putih (Poros Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla yang diusung Poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, jauh sebelum penetapan, pendukung capres dan cawapres sudah mulai saling serang.
Media massa pun menjadi sarana paling ampuh menghimpun kekuatan dan “serangan udara”. Demikian pula dengan jaringan media sosial (Twitter dan Facebook). Kampanye negatif dan hitam pun menjadi menu wajib yang semakin membuat riuh. Di tengah hiruk-pikuk politik ini, tampaknya para capres dan pendukungnya perlu menoleh salah satu piwulang Jawa.
Mengenal Diri
Dalam “paribasan” Jawa, tersurat, sing bisa rumangsa, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa). Paribasan ini mengajarkan kepada kita agar mau meneliti diri sendiri. Mengenal diri sendiri menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. Saat pemimpin tidak sanggup mengenal potensi, kelemahan, peluangan, dan tantangan diri, maka ia akan sulit untuk memimpin. Dalam kajian filsafat misalnya, mengenal diri menjadi hal utama. Mengenal diri akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya.
Dengan demikian, apa yang diujarkan dalam paribasan Jawa tersebut sinkron dengan kajian ilmu pengetahuan modern. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa kebudayaan Jawa, tidak akan pernah lekang zaman. Ia akan senantiasa hidup di tengah peradaban. Bisa rumangsa juga menjadi watak manusia berbudi. Pasalnya, perilaku ini menjadi penanda bahwa ia merupakan manusia pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa. Manusia yang senantiasa haus akan ilmu dan pengalaman. Proses perjalanan waktu menjadikannya semakin berisi. Seperti falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin mawas diri.
Mawas Diri
Mawas diri inilah yang mampu membentengi manusia jatuh dalam lubang kesombongan (kenistaan). Kesombongan menjadi awal dari murka Tuhan kepada makhluknya. Dalam literatur Islam misalnya, diusirnya setan dari surga karena ia sombong dan membanggakan diri (aba was takbar). Melalui laku bisa rumangsa, seseorang diarahkan (baca: dididik) menjadi sebuah pribadi yang mempribadi.
Pribadi yang menyadari kekurangan dan menghargai kelebihan orang lain. Ia pun tidak merasa direndahkan (diasarke) maupun ditinggikan. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang yang mempunyai watak rumangsa bisa. Manusia seperti itu hanya akan menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, semua pekerjaan ia ambil. Padahal tak satu pun kemampuan ia miliki. Itulah awal kehancuran. Saat semua pekerjaan diambil dan tiada kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut.
Cikal Bakal Kesewenangan
Lebih lanjut, rumangsa bisa pun menjadi cikal bakal kesewenangan. Artinya, rumangsa bisa menyeret orang untuk ngasarake orang lain. Ia merasa mampu sedangkan yang lain tidak. Kondisi ini menimbulkan permusuhan yang akan berujung pada balas dendam. Oleh karena itu, bagi capres dan cawapres, selayaknya memegang teguh (ngugemi) piwulang Jawa tersebut. Saat mereka terpilih nanti, tentu berkat bantuan orang lain.
Keterpilihan mereka adalah hasil kerja mitra koalisi dan jaringan yang telah terbangun lama. Bukan karena popularitas yang disulap oleh media. Apalagi dengan laku penuh tipu-tipu. Kepemimpinan nasional harus dimandatkan kepada manusia terpilih (the choosen people). Ia adalah manusia yang senantiasa gundah melihat ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan kebodohan melanda negeri. Ia senantiasa mau mendengar, belajar, dan bertindak guna mewujudkan, keadilan, keberdayaan, dan kemakmuran (psikis dan fisik) yang mewujud dalam keseharian.
Dengan demikian, ia selayaknya tidak rumangsa bisa untuk mengemban tugas dan amanat rakyat. Capres terpilih selayaknya bisa rumangsa terhadap tanggung jawab kebangsaan ini. Menjadi presiden dan wakil presiden bukanlah untuk membanggakan diri apalagi kroni dan golongan. Presiden dan wakil presiden merupakan penyambung lidah rakyat— meminjam istilah Bung Karno.
Penyambung lidah rakyat selayaknya mau belajar, mendengarkan, mendampingi, dan menggairahkan kehidupan masyarakat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh presiden dan wakil presiden yang mempunyai watak bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa
Koran Sindo, Minggu, 15 Juni 2014
Pemilu presiden (pilpres) 9 Juli sudah semakin dekat. Sabtu, 31 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, yang diusung Koalisi Merah Putih (Poros Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla yang diusung Poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, jauh sebelum penetapan, pendukung capres dan cawapres sudah mulai saling serang.
Media massa pun menjadi sarana paling ampuh menghimpun kekuatan dan “serangan udara”. Demikian pula dengan jaringan media sosial (Twitter dan Facebook). Kampanye negatif dan hitam pun menjadi menu wajib yang semakin membuat riuh. Di tengah hiruk-pikuk politik ini, tampaknya para capres dan pendukungnya perlu menoleh salah satu piwulang Jawa.
Mengenal Diri
Dalam “paribasan” Jawa, tersurat, sing bisa rumangsa, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa). Paribasan ini mengajarkan kepada kita agar mau meneliti diri sendiri. Mengenal diri sendiri menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. Saat pemimpin tidak sanggup mengenal potensi, kelemahan, peluangan, dan tantangan diri, maka ia akan sulit untuk memimpin. Dalam kajian filsafat misalnya, mengenal diri menjadi hal utama. Mengenal diri akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya.
Dengan demikian, apa yang diujarkan dalam paribasan Jawa tersebut sinkron dengan kajian ilmu pengetahuan modern. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa kebudayaan Jawa, tidak akan pernah lekang zaman. Ia akan senantiasa hidup di tengah peradaban. Bisa rumangsa juga menjadi watak manusia berbudi. Pasalnya, perilaku ini menjadi penanda bahwa ia merupakan manusia pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa. Manusia yang senantiasa haus akan ilmu dan pengalaman. Proses perjalanan waktu menjadikannya semakin berisi. Seperti falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin mawas diri.
Mawas Diri
Mawas diri inilah yang mampu membentengi manusia jatuh dalam lubang kesombongan (kenistaan). Kesombongan menjadi awal dari murka Tuhan kepada makhluknya. Dalam literatur Islam misalnya, diusirnya setan dari surga karena ia sombong dan membanggakan diri (aba was takbar). Melalui laku bisa rumangsa, seseorang diarahkan (baca: dididik) menjadi sebuah pribadi yang mempribadi.
Pribadi yang menyadari kekurangan dan menghargai kelebihan orang lain. Ia pun tidak merasa direndahkan (diasarke) maupun ditinggikan. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang yang mempunyai watak rumangsa bisa. Manusia seperti itu hanya akan menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, semua pekerjaan ia ambil. Padahal tak satu pun kemampuan ia miliki. Itulah awal kehancuran. Saat semua pekerjaan diambil dan tiada kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut.
Cikal Bakal Kesewenangan
Lebih lanjut, rumangsa bisa pun menjadi cikal bakal kesewenangan. Artinya, rumangsa bisa menyeret orang untuk ngasarake orang lain. Ia merasa mampu sedangkan yang lain tidak. Kondisi ini menimbulkan permusuhan yang akan berujung pada balas dendam. Oleh karena itu, bagi capres dan cawapres, selayaknya memegang teguh (ngugemi) piwulang Jawa tersebut. Saat mereka terpilih nanti, tentu berkat bantuan orang lain.
Keterpilihan mereka adalah hasil kerja mitra koalisi dan jaringan yang telah terbangun lama. Bukan karena popularitas yang disulap oleh media. Apalagi dengan laku penuh tipu-tipu. Kepemimpinan nasional harus dimandatkan kepada manusia terpilih (the choosen people). Ia adalah manusia yang senantiasa gundah melihat ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan kebodohan melanda negeri. Ia senantiasa mau mendengar, belajar, dan bertindak guna mewujudkan, keadilan, keberdayaan, dan kemakmuran (psikis dan fisik) yang mewujud dalam keseharian.
Dengan demikian, ia selayaknya tidak rumangsa bisa untuk mengemban tugas dan amanat rakyat. Capres terpilih selayaknya bisa rumangsa terhadap tanggung jawab kebangsaan ini. Menjadi presiden dan wakil presiden bukanlah untuk membanggakan diri apalagi kroni dan golongan. Presiden dan wakil presiden merupakan penyambung lidah rakyat— meminjam istilah Bung Karno.
Penyambung lidah rakyat selayaknya mau belajar, mendengarkan, mendampingi, dan menggairahkan kehidupan masyarakat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh presiden dan wakil presiden yang mempunyai watak bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa
Kata dan Kuasa
oleh Benni Setiawan
Kata menjadi senjata ampuh untuk membunuh. Kata meluncur bak senapan timah panas, menembus ruang batas. Menyerang tanpa ampun dalam relung dan alam bawah sadar manusia. Sehingga seseorang tanpa sadar tergerak setelah membaca dan memahami kata dalam bentuk yang tersirat dan tersurat.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Nusantara, berujar, “sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik.”
Mantra Kehidupan
Kata pun menjadi mantra kehidupan. Kata senantiasa mengguratkan makna. Kata menjadi penanda kepribadian seseorang. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali, berbudi bawa laksana. Setiap kata yang meluncur dari seseorang menjadi sebuah sabda. Tak elok jika ditarik, harus satu antara ucapan dan tindakan. Menarik kata berarti telah melukai orang lain. Kata yang terucap seakan telah terlukis di atas kanvas kehidupan. Ada selalu ada dan terkenang sampai kapan pun.
Kata dengan demikian merupakan janji kehidupan. Jika seseorang tidak mampu memegang hal itu, berarti ia telah berbohong. Setidaknya berbohong kepada diri sendiri dan tentunya orang lain.
Dalam kajian Islam misalnya, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad., s.a.w, kebohongan merupakan cikal bakal kejahatan. Sedangkan kejahatan mengantarkan manusia kepada kebinasaan dan kehancuran (neraka).
Dalam medium pemilhan umum, khususnya jelang pemilihan presiden (pilpres) saat ini, kita seakan dipenuhi kata. Bakal calon presiden (Bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres), Joko Widodo-M. Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Radja, yang kini siap bertarung dalam pilpres 9 Juli nanti, seakan mampu memimpin Republik. Ia pun dengan bangga dan menempuk dada akan mampu memenangkan persaing. Tanpa sadar ia telah mengeluarkan banyak kata. Tak hanya kata, mereka pun tanpa sadar telah melontarkan sejuta satu janji.
Padahal kata itu (janji) tertangkap oleh indera manusia. Indera merekam dan memindai serangkaian kata itu, dan menjadi kekuatan dalam membidik serta membalik keadaan.
Kata (janji) yang terucap merupakan penggalan kalimat yang senantiasa dinanti untuk diwujudkan. Saat kata itu sulit terwujud, maka orang lain akan menganggapnya sebagai sumpah serapah. Sumpah tanpa makna. Sumpah dusta yang terdengar di seantero negeri.
Sebagai sebuah janji kata mengikat manusia ke dalam peradaban agung. Saat semua bersimpuh dalam keangkuhan, kata menjadi pelipur lara.
Oleh karena itu, kata seakan bersinergi dengan kuasa. Kata menjadi medium di mana seseorang mampu menepati janjinya dalam rahim kuasa. Kata yang ditepati akan dikenang hilang akhir peradaban. Sedangkan kata manis tanpa perwujudan hanya akan menjadi sampah kehidupan yang perlu dicatat dalam lembaran hitam.
Kata yang terucap dan sering mencla-mencle (tidak konsisten) hanya akan menjadi sampah di ruang publik. Ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Ruang publik seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warganegara berperan secara demokratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau meminjam istilah Habermas—suatu tempat pengeraman kegelisahan politis warga” (F. Budi Hardiman, 2010)).
Kata seperti itu hanya akan memperkeruh suasana kedamaian dan memantik timbulnya kebencian serta permusuhan. Kata tanpa perwujudan apalagi dilakukan oleh pemegang kuasa hanya akan menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan itu seakan semakin menyempitkan ruang gerak masyarakat untuk berpikir kritis. Masyarakat hanya dijejali janji tanpa realisasi yang memampatkan kebebasan dan kemerdekaan berpikir.
Bung Hatta
Pemimpin saat ini, tampaknya perlu belajar dari Bapak Bangsa (foundhing fathers). Sebut saja, Muhammad Hatta. Bung Hatta, menjadi contoh sejarah baik bagi Nusantara. Ia mengucap kata tidak akan menikah sebelum Republik merdeka. Bung Hatta menepati kata itu.
Bung Hatta pun kini menempati maqam (tempat) orang-orang terhormat. Ia dikenang sebagai Bapak Bangsa yang harum namanya. Kesesuaian kata dan lakunya menginspirasi anak bangsa untuk menjadi seperti dia.
Dengan demikian, kata menjadi sebuah jati diri manusia. Meminjam istilah Jawa, ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (kepribadian seseorang berada dalam ucapan/kata, penampilan mencerminkan kepribadian).
Jika seseorang mampu menjaga lidah, kata, maka ia akan mampu menempati posisi terhormat. Namun, jika lidahnya tak tertata, maka dapat dipastikan ia akan terperosok dalam kegelapan. Kegelapan yang akan memangsa dan mengubur hidup-hidup masa depannya.
Oleh karenanya, kuasa merupakan perwujudan dari kata. Kuasa bukanlah raihan demi harga diri dan kelompok. Kuasa menjadi pertaruhan harga diri yang tercermin dalam setiap kata. Kata bukanlah sebuah permainan lidah untuk menutupi kebusukan diri.
Keberhasilan mewujudkan kata dalam kuasa akan meletakkan posisi seorang pemimpin di atas. Posisi ini tidak akan membuatnya menjadi sombong dan angkuh. Namun, menempatkannya pada manusia yang senantiasa bisa rumangsa, aja rumangsa bisa. Mampu memosisikan diri, mawas diri, dan bertindak dengan akal sehat dan kemampuan.
Saat pemimpin mampu menata kata dan kuasa, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan dipenuhi kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, ketika pemimpin hanya mampu mengumbar kata, tanpa mewujud dalam kebangsaan, maka kehancuran menjadi harga yang layak dibayar.
Kata dan kuasa merupakan dua hal yang berbeda. Namun, ia bersinergi dalam membangun keadaban publik.
Pada akhirnya, kata bukanlah sekadar menggerakkan lidah. Ia akan dicatat dalam proses
kebangsaan. Kata merupakan kuasa yang tak terlihat. Mari mencatat kata. (ID,24-25-05/14)
Kata menjadi senjata ampuh untuk membunuh. Kata meluncur bak senapan timah panas, menembus ruang batas. Menyerang tanpa ampun dalam relung dan alam bawah sadar manusia. Sehingga seseorang tanpa sadar tergerak setelah membaca dan memahami kata dalam bentuk yang tersirat dan tersurat.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Nusantara, berujar, “sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik.”
Mantra Kehidupan
Kata pun menjadi mantra kehidupan. Kata senantiasa mengguratkan makna. Kata menjadi penanda kepribadian seseorang. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali, berbudi bawa laksana. Setiap kata yang meluncur dari seseorang menjadi sebuah sabda. Tak elok jika ditarik, harus satu antara ucapan dan tindakan. Menarik kata berarti telah melukai orang lain. Kata yang terucap seakan telah terlukis di atas kanvas kehidupan. Ada selalu ada dan terkenang sampai kapan pun.
Kata dengan demikian merupakan janji kehidupan. Jika seseorang tidak mampu memegang hal itu, berarti ia telah berbohong. Setidaknya berbohong kepada diri sendiri dan tentunya orang lain.
Dalam kajian Islam misalnya, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad., s.a.w, kebohongan merupakan cikal bakal kejahatan. Sedangkan kejahatan mengantarkan manusia kepada kebinasaan dan kehancuran (neraka).
Dalam medium pemilhan umum, khususnya jelang pemilihan presiden (pilpres) saat ini, kita seakan dipenuhi kata. Bakal calon presiden (Bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres), Joko Widodo-M. Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Radja, yang kini siap bertarung dalam pilpres 9 Juli nanti, seakan mampu memimpin Republik. Ia pun dengan bangga dan menempuk dada akan mampu memenangkan persaing. Tanpa sadar ia telah mengeluarkan banyak kata. Tak hanya kata, mereka pun tanpa sadar telah melontarkan sejuta satu janji.
Padahal kata itu (janji) tertangkap oleh indera manusia. Indera merekam dan memindai serangkaian kata itu, dan menjadi kekuatan dalam membidik serta membalik keadaan.
Kata (janji) yang terucap merupakan penggalan kalimat yang senantiasa dinanti untuk diwujudkan. Saat kata itu sulit terwujud, maka orang lain akan menganggapnya sebagai sumpah serapah. Sumpah tanpa makna. Sumpah dusta yang terdengar di seantero negeri.
Sebagai sebuah janji kata mengikat manusia ke dalam peradaban agung. Saat semua bersimpuh dalam keangkuhan, kata menjadi pelipur lara.
Oleh karena itu, kata seakan bersinergi dengan kuasa. Kata menjadi medium di mana seseorang mampu menepati janjinya dalam rahim kuasa. Kata yang ditepati akan dikenang hilang akhir peradaban. Sedangkan kata manis tanpa perwujudan hanya akan menjadi sampah kehidupan yang perlu dicatat dalam lembaran hitam.
Kata yang terucap dan sering mencla-mencle (tidak konsisten) hanya akan menjadi sampah di ruang publik. Ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Ruang publik seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warganegara berperan secara demokratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau meminjam istilah Habermas—suatu tempat pengeraman kegelisahan politis warga” (F. Budi Hardiman, 2010)).
Kata seperti itu hanya akan memperkeruh suasana kedamaian dan memantik timbulnya kebencian serta permusuhan. Kata tanpa perwujudan apalagi dilakukan oleh pemegang kuasa hanya akan menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan itu seakan semakin menyempitkan ruang gerak masyarakat untuk berpikir kritis. Masyarakat hanya dijejali janji tanpa realisasi yang memampatkan kebebasan dan kemerdekaan berpikir.
Bung Hatta
Pemimpin saat ini, tampaknya perlu belajar dari Bapak Bangsa (foundhing fathers). Sebut saja, Muhammad Hatta. Bung Hatta, menjadi contoh sejarah baik bagi Nusantara. Ia mengucap kata tidak akan menikah sebelum Republik merdeka. Bung Hatta menepati kata itu.
Bung Hatta pun kini menempati maqam (tempat) orang-orang terhormat. Ia dikenang sebagai Bapak Bangsa yang harum namanya. Kesesuaian kata dan lakunya menginspirasi anak bangsa untuk menjadi seperti dia.
Dengan demikian, kata menjadi sebuah jati diri manusia. Meminjam istilah Jawa, ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (kepribadian seseorang berada dalam ucapan/kata, penampilan mencerminkan kepribadian).
Jika seseorang mampu menjaga lidah, kata, maka ia akan mampu menempati posisi terhormat. Namun, jika lidahnya tak tertata, maka dapat dipastikan ia akan terperosok dalam kegelapan. Kegelapan yang akan memangsa dan mengubur hidup-hidup masa depannya.
Oleh karenanya, kuasa merupakan perwujudan dari kata. Kuasa bukanlah raihan demi harga diri dan kelompok. Kuasa menjadi pertaruhan harga diri yang tercermin dalam setiap kata. Kata bukanlah sebuah permainan lidah untuk menutupi kebusukan diri.
Keberhasilan mewujudkan kata dalam kuasa akan meletakkan posisi seorang pemimpin di atas. Posisi ini tidak akan membuatnya menjadi sombong dan angkuh. Namun, menempatkannya pada manusia yang senantiasa bisa rumangsa, aja rumangsa bisa. Mampu memosisikan diri, mawas diri, dan bertindak dengan akal sehat dan kemampuan.
Saat pemimpin mampu menata kata dan kuasa, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan dipenuhi kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, ketika pemimpin hanya mampu mengumbar kata, tanpa mewujud dalam kebangsaan, maka kehancuran menjadi harga yang layak dibayar.
Kata dan kuasa merupakan dua hal yang berbeda. Namun, ia bersinergi dalam membangun keadaban publik.
Pada akhirnya, kata bukanlah sekadar menggerakkan lidah. Ia akan dicatat dalam proses
kebangsaan. Kata merupakan kuasa yang tak terlihat. Mari mencatat kata. (ID,24-25-05/14)