Oleh Benni Setiawan
Koran Sindo, Minggu, 15 Juni 2014
Pemilu presiden (pilpres) 9 Juli sudah semakin dekat. Sabtu, 31 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, yang diusung Koalisi Merah Putih (Poros Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla yang diusung Poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, jauh sebelum penetapan, pendukung capres dan cawapres sudah mulai saling serang.
Media massa pun menjadi sarana paling ampuh menghimpun kekuatan dan “serangan udara”. Demikian pula dengan jaringan media sosial (Twitter dan Facebook). Kampanye negatif dan hitam pun menjadi menu wajib yang semakin membuat riuh. Di tengah hiruk-pikuk politik ini, tampaknya para capres dan pendukungnya perlu menoleh salah satu piwulang Jawa.
Mengenal Diri
Dalam “paribasan” Jawa, tersurat, sing bisa rumangsa, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa). Paribasan ini mengajarkan kepada kita agar mau meneliti diri sendiri. Mengenal diri sendiri menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. Saat pemimpin tidak sanggup mengenal potensi, kelemahan, peluangan, dan tantangan diri, maka ia akan sulit untuk memimpin. Dalam kajian filsafat misalnya, mengenal diri menjadi hal utama. Mengenal diri akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya.
Dengan demikian, apa yang diujarkan dalam paribasan Jawa tersebut sinkron dengan kajian ilmu pengetahuan modern. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa kebudayaan Jawa, tidak akan pernah lekang zaman. Ia akan senantiasa hidup di tengah peradaban. Bisa rumangsa juga menjadi watak manusia berbudi. Pasalnya, perilaku ini menjadi penanda bahwa ia merupakan manusia pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa. Manusia yang senantiasa haus akan ilmu dan pengalaman. Proses perjalanan waktu menjadikannya semakin berisi. Seperti falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin mawas diri.
Mawas Diri
Mawas diri inilah yang mampu membentengi manusia jatuh dalam lubang kesombongan (kenistaan). Kesombongan menjadi awal dari murka Tuhan kepada makhluknya. Dalam literatur Islam misalnya, diusirnya setan dari surga karena ia sombong dan membanggakan diri (aba was takbar). Melalui laku bisa rumangsa, seseorang diarahkan (baca: dididik) menjadi sebuah pribadi yang mempribadi.
Pribadi yang menyadari kekurangan dan menghargai kelebihan orang lain. Ia pun tidak merasa direndahkan (diasarke) maupun ditinggikan. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang yang mempunyai watak rumangsa bisa. Manusia seperti itu hanya akan menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, semua pekerjaan ia ambil. Padahal tak satu pun kemampuan ia miliki. Itulah awal kehancuran. Saat semua pekerjaan diambil dan tiada kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut.
Cikal Bakal Kesewenangan
Lebih lanjut, rumangsa bisa pun menjadi cikal bakal kesewenangan. Artinya, rumangsa bisa menyeret orang untuk ngasarake orang lain. Ia merasa mampu sedangkan yang lain tidak. Kondisi ini menimbulkan permusuhan yang akan berujung pada balas dendam. Oleh karena itu, bagi capres dan cawapres, selayaknya memegang teguh (ngugemi) piwulang Jawa tersebut. Saat mereka terpilih nanti, tentu berkat bantuan orang lain.
Keterpilihan mereka adalah hasil kerja mitra koalisi dan jaringan yang telah terbangun lama. Bukan karena popularitas yang disulap oleh media. Apalagi dengan laku penuh tipu-tipu. Kepemimpinan nasional harus dimandatkan kepada manusia terpilih (the choosen people). Ia adalah manusia yang senantiasa gundah melihat ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan kebodohan melanda negeri. Ia senantiasa mau mendengar, belajar, dan bertindak guna mewujudkan, keadilan, keberdayaan, dan kemakmuran (psikis dan fisik) yang mewujud dalam keseharian.
Dengan demikian, ia selayaknya tidak rumangsa bisa untuk mengemban tugas dan amanat rakyat. Capres terpilih selayaknya bisa rumangsa terhadap tanggung jawab kebangsaan ini. Menjadi presiden dan wakil presiden bukanlah untuk membanggakan diri apalagi kroni dan golongan. Presiden dan wakil presiden merupakan penyambung lidah rakyat— meminjam istilah Bung Karno.
Penyambung lidah rakyat selayaknya mau belajar, mendengarkan, mendampingi, dan menggairahkan kehidupan masyarakat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh presiden dan wakil presiden yang mempunyai watak bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar