Search

Rabu, 10 Desember 2008

Revitalisasi Plus di Tengah Kejumudan Berpikir



Koran Tempo, Selasa, 09 Desember 2008.
Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Artikel Asep Purnama Bahtiar berjudul "Muhammadiyah dan Revitalisasi Plus" (Koran Tempo, 30 November 2008) sangatlah ideal. Asep mengancang dalam tubuh Muhammadiyah tumbuh apa yang dinamakan manajemen rasional. Dengan manajemen rasional, Asep mengimpikan peneguhan ideologi dan konsolidasi kader dan warga Muhammadiyah akan semakin kukuh. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana revitalisasi plus dalam bentuk manajemen rasional tersebut dapat diterapkan di tengah semakin kuatnya pendulum fundamentalisme-konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah?

Terpilihnya Din Syamsuddin dalam Muktamar ke-45 di Malang pada 2005, menurut Pradana Boy dalam tesisnya In Defence of Pure Islam: the Conservative-Progressive Debate within Muhammadiyah yang ia pertahankan di Australian National University (ANU), menjadi bukti nyata dominasi kelompok fundamentalisme-konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah. Dominannya kelompok ini dengan nyata telah menggusur pemikir-pemikir Islam dalam Muhammadiyah, seperti Ahmad Syafi'i Ma'arif, Abdul Munir Mulkhan, dan M. Amin Abdullah (atau Paman SAM). Tradisi pemikiran yang digagas oleh Paman SAM sekarang hilang entah ke mana. Kelompok-kelompok pendukung mereka seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dikafirkan dan dianggap bukan bagian dari Muhammadiyah.

Bukti nyata semakin kuatnya kelompok fundamentalisme di Muhammadiyah adalah dipecatnya M. Dawam Rahardjo dari keanggotaan Muhammadiyah dan M. Shofwan dari Universitas Muhammadiyah Gresik. Tradisi berpikir di dalam Muhammadiyah menjadi homogen. Tradisi pemikiran yang "nyeleneh" tidak lagi mendapat tempat dalam tubuh Muhammadiyah. Homogenitas tradisi berpikir inilah yang kemudian meninggalkan kejumudan dalam tubuh Muhammadiyah. Muhammadiyah sepertinya kehilangan progresivitas dalam berpikir. Lebih dari itu, Muhammadiyah sekarang lebih tradisionalis daripada saudara tua NU. Hal ini dikarenakan, di tengah dinamisnya gerakan pemikiran NU yang dipelopori oleh Gus Dur dkk, Muhammadiyah sepertinya ingin memposisikan diri dalam status quo pemikiran Islam. Gerakan modernis yang dicita-citakan oleh KH Ahmad Dahlan tidak lagi menjadi spirit gerak Muhammadiyah.

Jika yang terjadi demikian, apakah manajemen rasional yang dicoba ditawarkan oleh Asep dapat diterapkan di Muhammadiyah? Dalam pandangan saya, amat sulit--kalau tidak mau disebut tidak bisa--manajemen rasional diterapkan dalam tubuh Muhammadiyah, jika tidak dibarengi dengan keterbukaan berpikir dengan mengakomodasi "suara-suara lain" dalam tubuh Muhammadiyah. Bagaimana mungkin manajemen rasional diterapkan jika cara pandang terhadap persoalan sosial hanya dijelaskan dengan nash-nash normatif tanpa historisitas--meminjam istilah M. Amin Abdullah. Yang ada hanyalah manajemen rasional yang telah direduksi sedemikian rupa, sehingga menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan.

Manajemen rasional harus didukung oleh semakin banyaknya ragam berpikir dan cara pandang dalam tubuh Muhammadiyah. Dengan demikian, pluralisme dalam tubuh Muhammadiyah menjadi hal yang niscaya. Karena dengan semakin banyak ragam berpikir, akan semakin banyak pula cara menyelesaikan masalah. Warga Muhammadiyah mempunyai banyak pilihan untuk menyelesaikan masalahnya. Ia tidak lagi fanatik terhadap produk pemikiran yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Namun, jika pendulum Muhammadiyah semakin ke kanan dan bahkan mengharamkan pluralisme, sekularisme, dan liberalisme sebagaimana dalam keputusan MUI dalam Musyawarah Nasional pada 26-29 Juli 2005, tamatlah riwayat Muhammadiyah. Dan ancangan manajemen rasional pun hanya tinggal dalam angan-angan. Lebih dari itu, semangat "liberalisme" ala KH Ahmad Dahlan akan hilang.

KH Ahmad Dahlan di masa awal menempatkan diri sebagai seorang tokoh yang berani keluar dari norma-norma yang ada di tengah masyarakat. Kiai Dahlan berani mengubah arah kiblat di Masjid Gede, Yogyakarta. Kiai Dahlan juga berani menafsirkan surat Al-Maun dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Keberanian berpikir yang berbeda dengan tradisi masyarakat kala itu menjadikan (baca: menempatkan) Muhammadiyah sebagai gerakan modernis yang mampu memecahkan kebuntuan cara berpikir masyarakat.

Alangkah naifnya jika pendiri Muhammadiyah saja berani keluar dari tradisi masyarakat kala itu dan menjadi ikon baru dalam tradisi pemikiran Islam, Muhammadiyah sekarang di bawah komando Din Syamsuddin mengajarkan fundamentalisme-konservatif yang mengedepankan emosi daripada rasionalitas. Jika Muhammadiyah sekarang ingin membangun manajemen rasional, Muhammadiyah harus berani keluar dari kubangan fundamentalisme-konservatif yang membelenggu. Muhammadiyah harus mengakomodasi tradisi pemikiran yang agak "nyeleneh" sebagaimana telah digawangi oleh Paman SAM. Artinya, tradisi pemikiran yang berangkat dari pendekatan filosofis, historis, dan sosiologis harus ditempatkan dalam kerangka berpikir rasional dan mengalahkan kerangka berpikir yang didasarkan pada emosi.

Warga (pimpinan) Muhammadiyah tampaknya harus kembali membuka lembaran sejarah (risalah) awal berdirinya Muhammadiyah sebagai pendobrak kebuntuan berpikir masyarakat kala itu. Masyarakat yang irasional diajak menuju cara berpikir yang rasional. Cara berpikir rasional adalah menempatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori secara arif dan bijaksana. Maka dari itu, di tengah semakin kuatnya desakan sistem keberagamaan yang bercorak fundamentalisme-konservatif, Muhammadiyah harus berani keluar dan menyatakan diri sebagai gerakan modernis. Gerakan modernis merupakan gerakan yang tidak sektarian, mampu mengakomodasi ragam pemikiran yang berkembang, dan menjadi pelopor bagi kesejahteraan umat. Tanpa hal ini, revitalisasi plus yang diancang dengan manajemen rasional hanyalah mimpi di siang bolong. *

Senin, 01 Desember 2008

Memanusiakan Guru Honorer



WACANA Suara Merdeka, 01 Desember 2008

Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah. Mereka mempunyai potensi yang luar biasa.
Oleh Benni Setiawan

”Bangsa ini tinggal menunggu hancurnya. Karena bangsa ini ini diatur oleh sistem birokrasi yang rusak dan tidak kapabel”.

KALIMAT di atas meluncur dari seorang teman yang masih kuliah di Program Pascasarjana Administrasi Publik UGM Yogyakarta. Dengan panjang lebar, dia bercerita mengenai kondisi pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Ia juga menyinggung masalah guru honorer yang akhir-akhir ini kembali muncul dalam liputan media massa akibat demonstrasi di sejumlah kota.

Sang teman beranggapan, pengangangkatan guru honorer menjadi PNS (guru berstatus negeri) juga akan makin menambah beban bangsa. Sejenak saya terdiam, sembari membuka beberapa kliping artikel opini. Setidaknya saya menemukan dua tulisan yang menyatakan hal yang senada.

Namun, saya tidak begitu puas dengan sejumlah keterangan yang disampaikan di dalam artikel tersebut dan argumentasi teman di atas. Dalam artikel ini, saya ingin berusaha menjelaskan bahwa guru honorer bukanlah orang yang akan makin menambah beban bangsa.

Beberapa orang berpandangan bahwa pengangkatan guru honorer menjadi PNS akan menutup kemungkinan untuk mendapat guru dengan kualitas terbaik. Logikanya, orang-orang yang mau bekerja dengan gaji murah (ada yang hanya Rp 50.000 per bulan) selama puluhan tahun adalah mereka yang kemampuan dan etos kerjanya rendah. Benarkah anggapan ini?

Semoga ini bukan sentimen dalam memandang rendah guru honorer. Saya berpandangan, semoga ini merupakan kritikan bagi pembuat kebijakan yang sampai saat ini tidak pernah berpihak kepada sistem pendidikan (guru honorer).

Sistem pendidikan inilah yang senantiasa dipinggirkan oleh pemerintah sampai saat ini. Pemerintah berlomba menaikkan anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun tidak pernah membangun sistem pendidikan, sebagaimana kritik yang dilontarkan Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan.

Maka, tidak aneh apabila berapa pun jumlah anggaran pendidikan dalam APBN, dunia pendidikan di Indonesia akan tetap sama seperti sekarang, jika tidak dilakukan perbaikan sistem. Bahkan, anggaran pendidikan akan diperebutkan atau dijadikan ”bancakan” bagi pemegang proyek pendidikan.

Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah, sebagaimana dituduhkan beberapa pengamat pendidikan dan kebijakan publik.

Mereka mempunyai potensi yang luar biasa. Sungguh tidak bijak jika mereka disebut akan makin menyulitkan proses belajar mengajar jika diangkat menjadi PNS.

Kita tentu dapat membandingkan dengan politikus atau calon anggota legislatif yang mendaftar untuk Pemilu 2009. Banyak di antara mereka (sependek yang saya ketahui) tidak mempunyai visi hidup yang jelas. Mereka mendaftar hanya didasari semangat untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapat gaji layak.
Kemampuan atau kualitas mereka sama sekali belum teruji. Bahkan mereka yang kini mendatar kembali menjadi anggota dewan, dengan dalih ingin melanjutkan program kerja yang belum usai, tidak lebih baik dari pendaftar (politisi) pemula.

Hal ini tentunya berbeda dengan guru honorer. Mereka telah teruji dan tahan banting mengemban amanah kemanusiaan untuk mendidik anak bangsa. Seorang teman alumnus perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, rela mengajar di taman kanak-kanak (TK) tanpa mendapat gaji.

Keikhlasan dia mengajar TK dikarenakan tidak ada guru yang mau mendidik anak-anak. Dia lulusan terbaik di angkatannya. Dia hanya ingin mendarmabhaktikan ilmu dan hidupnya untuk pendidikan anak-anak di pedesaan.

Dengan demikian, jangan anggap enteng guru honorer. Siapa yang dapat mengukur tinggi rendahnya etos kerja? Apakah tinggi rendahnya etos kerja hanya diukur dari nrimo digaji rendah? Etos kerja tidak mudah diukur dengan angka-angka statistik, apalagi hanya dilihat dari sekilas saja.

Lebih lanjut, apakah pemerintah hanya akan mencari tenaga beretos kerja tinggi melalui sistem seleksi CPNS yang sarat dengan kecurangan. Apakah sistem seleksi semacam ini yang diinginkan oleh mereka yang memandang guru honorer dengan sebelah mata, mencari orang-orang yang belum jelas latar belakang dan belum teruji kredibilitasnya?

Jika memang demikian, betapa sistem pendidikan Indonesia akan semakin tidak karuan, kalau tidak mau disebut amburadul. Mengangkat orang-orang yang belum berpengalaman dan menafikan orang-orang yang telah rela mendarmabaktikan ilmunya untuk mendidik anak bangsa.

Maka, yang kita butuhkan sekarang adalah bagaimana membangun sistem pendidikan di negeri ini. Sistem pendidikan yang memihak. Sistem pendidikan yang tidak hanya berorientasi uang. Sistem pendidikan yang mementingkan meningkatkan kualitas para guru dan tenaga administrasinya daripada membuat sekolah-sekolah berstandar internasional yang tidak jelas juntrungan-nya.

Sistem ini dapat dimulai dengan segera mengangkat guru honorer yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun. Atau mengangkat mereka yang telah memenuhi standar kualifikasi tanpa harus mengerdilkan fungsi dan peran guru honorer lainnya.

Guru honorer juga manusia biasa yang butuh kelayakan sandang, pangan dan papan. Guru honorer bukanlah seseorang yang beretos kerja rendah. Mereka bukan pegawai biasa. Mereka bagaikan malaikat yang selalu patuh dan taat atas perintah Tuhan.

Sudah saatnya martabat guru honorer diangkat ke taraf insani —meminjam istilah Driyarkara. Mereka tidak hanya diperas tenaganya untuk memenuhi dahaga penguasa dan demi kepentingan politik praktis.

Namun, mereka juga perlu diperhatikan hak-haknya sebagai manusia. Manusia yang bermartabat, sebagaimana tenaga-tenaga kependidikan lain yang akan digaji minimal Rp 2 juta per bulan pada tahun 2009. Semoga! (32)

–– Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia” (2006) dan ”Agenda Pendidikan Nasional” (2008).

Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah. Mereka mempunyai potensi yang luar biasa.