Search

Senin, 30 Maret 2009

Wapres bukan “Ban Serep”



Resensi, Surabaya Post, Minggu, 29 Maret 2009 | 23:07 WIB

Judul : Wapres: Pendamping atau Pesaing? Peranan Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Penulis : Roy B.B. Janis

Penerbit : Bhuana Ilmu Populer (BIP), Jakarta

Terbit : 2008

Tebal : 376 halaman

Peresensi : Benni Setiawan*)



Persaingan menuju RI pada pemilu 2009 semakin memanas. Banyak bermunculkan bakal calon Presiden yang diusulkan oleh partai politik, maupun koalisi (blok). Setidaknya hingga saat ini sudah ada nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang siap kembali berlaga di 2009. Sebagai incumbent SBY begitu orang menyapanya, ditantang kembali oleh rivalnya di 2004 yang juga ketua umum partai demokrasi Indonesia perjuangan (PDI P), Megawati Soekarno Putri. Nama Wiranto yang di 2004 capres dari Partai Golkar juga ingin menguji keberuntungan dengan partai hati nurani rakyat (Hanura) yang dibidaninya. Selain wajah lama, ada nama Prabowo Subiyanto yang diusulkan oleh Partai Gerindra, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diusung oleh Partai RepublikaN, Muhaimin Iskandar yang mulai santer disebut di intern PKB, Dedy Mizwar, dan M. Jusuf Kalla.

Dari sekian nama tersebut di atas yang menarik perhatian adalah kesiapan Wapres Jusuf Kalla, yang juga ketua umum partai Golkar untuk maju menjadi Capres di 2009. JK, begitu dia sering disapa, maju selain untuk menyelamatkan citra partai Golkar, juga karena alasan ”pelecehan” yang dilakukan oleh Achmad Mubarok (fungsionaris DPP Partai Demokrat). Pencalonan JK ini sempat mampu memecah kebuntuan iklim demokrasi di Indonesia. Kesiapan JK untuk maju selain akan menambah warna pada pemilu 2009 juga semakin menguatkan adanya perbedaan pandangan dengan SBY.

Pembawaan JK yang santun dan humoris konon akan mampu menandingi kharisma SBY. Walaupun dalam poling, JK, masih berada di posisi bawah. Namun, yang menarik dari pencalonan JK, adalah keberanian seorang wakil presiden (wapres) menantang presiden. Hal ini kurang wajar, jika menggunakan analogi demokrasi ala Amerika Serikat. Konon, di Amerika Serikat tidak ada sejarahnya Wapres menantang Presiden dalam hajatan pemilu. Bahkan, Wapres harus berada di belakang presiden minimal satu langkah, sebagai penggambaran posisi Wapres yang hanya ”wakil”. Bahkan, orang Amerika dan penganut mazhab demokrasi ala negeri Abang Sam, beranggapan bahwa pencalonan diri seorang Wapres menantang Presiden merupakan hal yang tabu.

Keadaan ini tentunya tidak berlaku di Indonesia. Karena kiblat demokrasi Indonesia tidak melulu ke negeri yang kini dipimpin oleh Barack Husein Obama Jr. Seorang Wapres bisa saja menjadi pesaing yang boleh jadi dapat mengalahkan Presidennya.

Keberanian JK, untuk mencalonkan diri sebagai Presiden juga semakin menguatkan anggapan bahwa posisi pengusaha asal Sulawesi ini tidak hanya sebagai Wapres ban serep. Bahkan, ia menyatakan sejak awal, bahwa kehadirannya bersama SBY, bukan karena kemauan diri sendiri, namun karena permintaan ketua dewan penasehat partai Demokrat itu. Maka tidak aneh jika, JK mempunyai terobosan dan agenda penyelamatan bagi bangsa lewat kewenangannya menjalankan tugasnya sebagai Wapres.

Keberadaan JK, sebagai wapres yang dipilih langsung oleh rakyat pada pemilu 2004, tentunya berbeda dengan wapres di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Saat Orde Baru berkuasa, posisi Wapres memang betul-betul hanya ban serep. Ia tidak mempunyai kewenangan apapun selain mengawasi jalannya pembangunan. Seluruh aspek kehidupan bangsa menjadi kendali Soeharto. Wapres Soeharto mulai Sri Sultan Hamengku Buwono IX hingga Tri Sutrisno hanyalah hiasan, atau patut-patut dalam bahasa Jawa. Maka tidak aneh jika, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Prof Harun al Rasyid, membuat pernyataan kontroversial. Bahwa wapres periode 1998-2003, tidak perlu ada lagi. Karena sejarah membuktikan bahwa tanpa Wapres pun roda pemerintahan tetap berjalan (hlm. 10).

Di masa orde lama ala Soekarno, juga demikian adanya. Bung Hatta tidak banyak diberi kewenangan oleh Bung Karno dalam menjalankan pemerintahan. Padahal Bung Karno dan Bung Hatta sering disebut Dwitunggal. Des Alwi Abu Bakar menyatakan ”Om cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan dengan saya. Jadi, Om berhenti saja jadi wakil presiden” (hlm. 52). Setelah pengunduran diri Bung Hatta, banyak pengamat mengatakan bahwa kepemimpinan Soerkarno sudah tidak terkontrol. Soekarno kehilangan sebagai jiwa kepemimpinannya setelah Hatta meninggalkannya.

Melalui buku ini, Roy B.B. Janis, ingin mengatakan bahwa posisi Wapres adalah pekerjaan mulia. Wapres bukanlah ban serep dalam pemerintahan. Wapres berhak menangani dan bertanggung jawab atas bidang-bidang tertentu. Hal ini tentunya dengan koordinasi bersama dengan Presiden. Wapres tidak hanya sebagai hiasan politik saja. Wapres mempunyai kewenangan dan kewajiban yang sama dengan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan memajukan peradaban bangsa.

Buku ini menjadi menarik untuk dibaca karena disertai foto-foto eksklusif dan penggambaran sosok wapres dari Hatta hingga JK. Nilai lebih dari buku ini adalah diedit dengan sempurna oleh seorang wartawan yang berpengalaman dalam bidang politik ketatanegaraan. Sehingga, dalam menyajikan sebuah data menjadi fakta, menjadi bacaan yang renyah dan mudah dipahami.



*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=41371be284c70c592049717c38e42081&jenis=d41d8cd98f00b204e9800998ecf8427e

2 komentar:

Sekolah Pramugari mengatakan...

Selamat Sore… Salam Kenal dari Balikpapan… Boleh bertukar link..? :)

tolong mengatakan...

bos... dimana bisa cari lagi buku ini skarang (2010), di gramedia udah g ada. tolong balas ke email yah.... please cs@gudangrusak.com

Posting Komentar