Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Kamis, 24 Juli 2008
Selamatkan Masa Depan Anak Jabar
Forum Kompas Edisi Jawa Barat
Rabu, 23 Juli 2008 | 16:45 WIB
Oleh Benni Setiawan
Berita kurang enak datang dari Indramayu dan Subang. Menurut data, sepanjang tahun 2006, jumlah gadis desa di bawah umur yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial mencapai 42.771 orang. Tahun berikutnya, jumlahnya bertambah menjadi 745.817 orang. Pada semester I-2008, jumlahnya sudah lebih dari 400.000 orang. Sebagian besar korban berasal dari keluarga miskin di kawasan pesisir Subang dan Indramayu (Kompas, 21/7/2008).
Anak-anak yang seharusnya belajar dan bersosialisasi dengan banyak teman harus menanggung beban berat sebagai pekerja seks komersial (PSK), sebuah pekerjaan yang tidak patut menurut norma agama dan masyarakat. Namun, mengapa pekerjaan ini dilakukan masyarakat kita dan harus melibatkan anak-anak di bawah umur? Bukan takdir
Menjadi PSK bukanlah takdir yang harus dijalani seseorang. Masih banyak pekerjaan halal lain yang dapat dikerjakan. Menjadi PSK bukan akhir dari dunia. Masih banyak jalan untuk keluar dari jeratan ini. Menjadi PSK juga bukan kutukan dari nenek moyang. Oleh karena itu, keinginan kuat untuk mengubah kultur dan tradisi dari dalam diri sendiri menjadi keniscayaan.
Budaya masyarakat yang menempatkan kekayaan sebagai panglima, misalnya, sudah saatnya diubah. Kekayaan bukan segalanya dalam kehidupan. Kehidupan harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Salah satunya ialah dengan mengamalkan ilmu yang kita miliki.
Ilmu tidak saja didapat dari bangku sekolah. Ilmu juga didapat dari hasil interaksi dengan sesama dan pengalaman empirik seseorang. Dengan ilmu kita akan menjadi kaya. Ilmu adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan.
Dengan pandangan seperti ini, kekayaan yang harus didapat dengan berbagai upaya, termasuk menjadi PSK, dapat diminimalisasi sedemikian rupa. Pandangan ini juga akan dapat meruntuhkan mitos kekayaan yang berwujud rumah mewah, mobil, emas, sawah, dan sebagainya. Kekayaan seperti itu adalah bentuk kekayaan masyarakat feodal.
Masyarakat feodal adalah yang masih menuhankan pangkat, derajat, dan jabatan. Mereka adalah masyarakat yang selalu bangga dengan garis keturunan dan malu jika miskin.
Pada era pasar bebas ini, sudah saatnya ilmu pengetahuan menjadi hal yang harus diburu. Artinya, seseorang akan merasa kecil jika tidak memiliki dasar ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan, pada era teknologi informasi seperti saat ini, pertaruhan ilmu menjadi hal utama. Jika seseorang tidak memiliki bekal ilmu, ia akan kalah bersaing dengan orang asing yang siap menyerbu pangsa pasar dalam negeri.
Maka dari itu, sudah saatnya anak-anak usia produktif (5-18 tahun) mendapatkan bimbingan, arahan, dan pendidikan yang maksimal. Anak usia ini adalah generasi penerus bangsa. Mereka adalah tulang punggung bangsa Indonesia pada masa yang akan datang.
Pendidikan
Kemudian, bagaimana menjadikan mereka berilmu? Pertama, orangtua merupakan elemen paling penting dalam hal ini. Orangtua adalah pendidik utama. Sebagaimana dalil kedua dalam filsafat pendidikan Karya Lengkap Driyarkara (2006), mendidik terutama adalah hak dan kewajiban orangtua. Pendidikan adalah aspek dari propagasi dan kontinuasi manusia. Propagasi dan kontinuasi tidak dibatasi lingkungan fisik.
Sesudah dilahirkan secara fisik, manusia (muda) masih harus dilahirkan secara rohani. Ini adalah proses kelahiran yang lebih lama, panjang, dan sulit. Dengan dilahirkan secara fisik saja manusia muda belum dapat menjalankan kemanusiaannya. Si manusia muda harus dibangun sedikit demi sedikit sehingga menjadi manusia yang patut disebut pribadi.
Lebih lanjut, orangtua si anak merupakan kesatuan yang dibawa oleh kodrat sendiri. Selain itu, si anak merupakan kontinuasi dari hidup orangtuanya. Hak dan kewajiban ini adalah bawaan dari kodrat, tidak boleh dicabut oleh siapa pun.
Kedua, sesuai dengan dalil ketiga, adalah kewajiban negara mengakui, melindungi, dan membantu pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak dan kewajiban ini adalah fundamental (asasi). Tingkatnya sama dengan hak-hak kemerdekaan, berpikir bebas, beragama menurut keyakinannya sendiri, dan sebagainya. Setiap pengurangan hak ini merupakan pelanggaran kemanusiaan, pemerkosaan demokrasi.
Jadi, kemiskinan bukanlah alasan seseorang untuk menjadikan anak-anaknya sebagai PSK, apalagi didorong motif kekayaan. Setiap orangtua berhak dan berkewajiban melindungi, mengasihi, dan mendidik anak-anaknya menjadi manusia muda yang berpribadi.
Pemerintah sebagai pemegang otoritas kenegaraan pun berhak dan berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan layak. Hal itu bertujuan agar masyarakat mampu berpikir rasional dan kritis, bahwa kekayaan bukan segalanya dalam kehidupan, apalagi mencari kekayaan dengan menjual dan mempekerjakan anak-anak sebagai PSK.
Benni Setiawan Pemerhati Pendidikan
Selasa, 22 Juli 2008
Saatnya Partai Golkar Introspeksi
Lampung Post, Selasa, 22 Juli 2008
Benni Setiawan
Peneliti Lentera Institute
Tahun ini mungkin bukan tahun Partai Golkar (Golkar) mendulang kemenangan dalam pilkada langsung gubernur. Jago yang diusung Partai Golkar tumbang dan kalah bersaing dengan partai lain. Sebagaimana terjadi di Jawa Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Maluku.
Kekalahan demi kekalahan yang dialami Partai Golkar sudah saatnya dijadikan ajang introspeksi bagi kader, simpatisan, dan pengurus partai. Ini karena kekalahan dalam pilgub akan dapat mengancam eksistensi Partai Golkar dalam memperoleh kemenangan dalam Pemilu 2009, yang tahapannya sudah dimulai.
Pemilu 2009 yang didahului kampanye panjang kurang lebih sembilan bulan, mulai 12 Juli lalu, akan sangat melelahkan. Artinya, konsentrasi partai akan terbelah memikirkan pemilu dan pemenangan pilkada yang masih terus berjalan hingga akhir 2008.
Keadaan ini juga akan dialami Partai Golkar (kader, pengurus, dan simpatisan). Jika Partai Golkar tidak pandai-pandai mengatur waktu, akan banyak kehilangan momentum lima tahunan ini.
Mesin Partai dan Friksi
Momentum lima tahunan ini (baik pilkada dan pemilu) merupakan pertaruhan dan pertarungan elite partai dan mesin partai. Kekalahan Partai Golkar di beberapa pilgub menurut hemat penulis disebabkan mandeknya mesin partai dan friksi intern Partai Golkar.
Sebagaimana terjadi di Pilgub Sumatera Utara; setidaknya ada dua kader (pengurus) aktif yang mencalonkan gubernur dan wakil gubernur dari Partai Golkar. Friksi ini sudah saatnya diakhiri dan diselesaikan dengan jalan damai.
Artinya, setiap pengurus di daerah sudah saatnya duduk satu meja menyelesaikan siapa yang akan menjadi calon pemimpin. Sengketa ini sudah saatnya diselesaikan pengurus di daerah masing-masing, tanpa melibatkan pengurus pusat.
Ini akan lebih dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada simpatisan dan kader. Campur tangan pusat pada dasarnya hanya akan menimbulkan konflik baru yang akhirnya merugikan Partai Golkar.
Persoalan mesin partai pun demikian. Mandeknya mesin partai salah satunya disebabkan terlalu banyak campur tangan pimpinan pusat dalam menentukan calon dan arogansi calon itu sendiri. Mekanisme konvensi lebih pada sebagai ajang "jorjoran" politik. Konvensi bukan salah satu cara mencari kader terbaik, melainkan hanya formalitas tanpa makna.
Dalam konvensi biasanya sudah ada calon "kuat" lagi "tunggal". Konvensi biasanya didominasi calon dari intern Partai Golkar yang menduduki posisi penting. Maka, konvensi yang menghabiskan biaya tidak sedikit hanya dijadikan alat dan mencari keuntungan broker politik.
Broker politik merasa senang hidup di bawah naungan Partai Golkar. Mereka beranggapan partai ini masih mempunyai kekuatan dan dana besar.
Hal-hal tersebut di atas sudah saatnya menjadi perhatian semua pihak, terutama pengurus Partai Golkar. Ini disebabkan, menurut survei Indo Barometer (5--16 Juni 2008) di 33 provinsi yang melibatkan 1.200 responden, perolehan Partai Golkar pada Pemilu 2009 di bawah perolehan PDI Perjuangan. PDI Perjuangan memperoleh 23,8 persen sedangkan Partai Golkar hanya 12 persen.
Jika survei ini sahih (benar adanya), perolehan suara Partai Golkar hanya 50% dari perolehan suara PDI-P. Dan ini sesuai dengan fenomena kekalahan jago Partai Golkar pada pilgub di beberapa daerah kini. Lebih dari itu, asumsi kemenangan 30% yang ditargetkan DPP Partai Golkar meleset.
Sudah saatnya Partai Golkar mengoreksi segala kekurangan dan kelebihannya. Partai Golkar tidak boleh terlalu larut dalam konflik internal yang akhirnya akan merugikan massa depan partai. Partai Partai Golkar juga kiranya perlu memberikan kewenangan keputusan dan penetapan calon bupati, wakil bupati, gubernur, dan wakil gubernur pada tingkat DPD dan DPC. Pembagian kewenangan ini akan lebih mudah diawasi dan dipertanggungjawabkan secara moral jika calon-calonnya kalah.
Selanjutnya, pola atau mekanisme konvensi harus diarahkan pada pencarian bibit unggul, bukan sebagai ajang legitimasi dan seremonial partai. Jika dalam uji kapasitas dan kapabilitas pengurus, dalam strata yang lebih tinggi, kalah dengan pengurus yang lebih rendah atau calon lain, ia harus menyerahkan dengan tulus peluang maju dalam pilkada kepada yang "berhak", yaitu mereka yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni.
Akhirnya, sejarah perjalanan Partai Golkar masih panjang. Masih banyak yang perlu diperbaiki dan didayagunakan. Wallahualam.
Rabu, 16 Juli 2008
Rapor Merah Anggota DPR
Pikiran Rakyat, Rabu, 09 Juli 2008.
Oleh Benni Setiawan*)
Lagi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menukarkan uang di money changer di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta beberapa waktu lalu. Adalah Bulyan Royan, anggota DPR Fraksi Bintang Reformasi, kedapatan membawa uang 6.600 dolar Amerika Serikat dan 10.000 euro. Uang ini diduga suap projek pengadaan kapal patroli di Dirjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan (Dephub). Tertangkapnya Bulyan Royan semakin menambah deret panjang daftar anggota DPR yang terjerat korupsi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa anggota DPR yang notabene adalah wakil rakyat dan pemimpin masyarakat dengan sadar melakukan tindak pidana korupsi?
Sepertinya anggota DPR yang terhormat ini kurang puas dengan gaji bulanan mereka yang mencapai Rp 50-an juta (gaji pokok Rp 16 juta dan tunjangan berkisar Rp 38 juta hingga Rp 65 juta). Anggota DPR juga tidak puas dengan segala fasilitas yang diberikan rakyat kepadanya. Seperti bebas jalan tol, subsisi pembelian bahan bakar minyak (BBM), rumah dinas, dan berbagai fasilitas kantor lainnya.
Anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat ini juga tidak mempunyai sense of crisis. Di tengah rakyat yang semakin terpuruk akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 24 Mei lalu dan harga gas elpiji yang naik mulai 1 Juli di saat gencarnya sosialisasi kebijakan energi baru (konversi minyak tanah ke gas), petani harus menjual gabahnya dengan harga murah karena Inpres No. 1/2008 yang tidak berpihak kepada petani, petani pun harus menunda musim tanam karena sawah mereka kering akibat kemarau, orang tua calon peserta didik baru juga harus menggadaikan barang miliknya untuk membayar biaya pendaftaran dan uang gedung sekolah, dan seterusnya, anggota dewan sebagai penyambung aspirasi rakyat malah menari-nari di atas penderitaan rakyat. Mereka mengorupsi uang rakyat.
Tidak peka
Anggota DPR tidak peka terhadap persoalan rakyat. Mereka lebih peka dan sensitif jika presiden dan wakil presidennya digoyang dengan hak angket. Anggota DPR juga tidak peduli melihat mahasiswa ditabrak, dipukul, dan dihajar oleh polisi akibat demonstasi. Mereka lebih sensitif jika tidak mendapat jatah uang hasil korupsi. Anggota DPR juga tidak peka terhadap penderitaan masyarakat akibat langkanya BBM. Mereka lebih sensitif apabila kantongnya tidak berisi uang puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Pendek kata, anggota DPR saat ini lebih mementingkan diri mereka sendiri daripada orang lain. Mereka lebih bangga disebut anggota DPR yang terhormat dan kaya daripada anggota DPR yang miskin dan dekat dengan rakyat. Dengan demikian, anggota DPR kita sedang mengidap penyakit mental yang akut.
Menurut psikolog humanis Abraham Maslow, penyakit mental yang menyebabkan seseorang berperilaku nyeleneh (abnormal—semacam korupsi) disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk mengenali dan memuaskan kebutuhan-kebutuhannya terutama kebutuhan akan rasa aman, memiliki-dimiliki, serta kebutuhan akan penghargaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Eric Fromm (1996), bahwa kebanyakan kita (manusia) berharap untuk dicintai, bukan hanya untuk dimanjakan atau diberi makan tetapi untuk dipahami, dipelihara, dan dihormati. Jika hal demikian tidak terpenuhi bisa menyebabkan manusia berperilaku tidak wajar (Nurul Huda SA: 2002).
Dengan demikian, perilaku korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR pada dasarnya adalah ketakutan anggota DPR akan rasa tidak memiliki (miskin) dan hilangnya legitimasi atas kekuasaan yang telah dimiliki.
Anggota DPR sekarang mungkin "balas dendam". Artinya, ketika ingin menjabat, ia harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk kampanye dan setor kepada partai politik. Uang jutaan hingga ratusan juta hilang dalam waktu sekejab. Maka, saat ia menjabat menjadi anggota DPR, uang rakyat harus dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Perilaku menyimpang ini sudah saatnya dihentikan oleh anggota DPR. Anggota DPR sudah saatnya memberi contoh yang baik bagi rakyat Indonesia. Ia harus menyadari bahwa keberadaanya saat ini di gedung MPR/DPR di Senayan adalah representasi rakyat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 230 juta jiwa. Menjadi anggota DPR bukanlah saat menguras pundi-pundi negara.
Pemimpin
Menjadi anggota DPR adalah menjadi "negarawan", yaitu seorang pemimpin yang mampu memimpin diri sendiri dan orang lain. Seorang pemimpin adalah pengayom, pelayan, dan pelindung masyarakat. Pengayom di saat masyarakat sedang kesusahan, pelayan di saat masyarakat membutuhkan, dan pelindung masyarakat dari rasa takut, baik dari dalam diri sendiri (intern) dan dari orang lain (ekstern), baik masyarakat, pemerintah, dan negara.
Pemimpin juga seseorang yang mampu menjadi teladan, peneguh, dan pelangsung cita-cita kemerdekaan bangsa. Sebagaimana petuah bijak Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.***
Penulis, peneliti sosial.
Selasa, 08 Juli 2008
Golput Bukan Pilihan Bijak
Jawa Pos, Metropolis, Senin, 07 Juli 2008
Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute
Gong hajat politik lima tahunan segera berbunyi. Pada Rabu, 23 Juli 2008, masyarakat Jawa Timur memasuki babak baru proses demokratisasi. Masyarakat Jawa Timur akan memilih lima pasang calon gubernur dan wakil gubernur (cagub-cawagub) untuk periode 2008-2013. Kelima pasang cagub-cawagub itu adalah putra terbaik Jawa Timur. Mereka telah dipilih melalui mekanisme partai politik dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mereka adalah pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji), Sutjipto-Ridwan Hisyam (SR), Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam), Achmady-Suhartono (Achsan), dan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa).
Kelima pasang calon tersebut telah memaparkan visi-misi di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur. Mereka juga telah berusaha sekuat tenaga untuk menyosialisasikan diri kepada masyarakat. Melalui mimbar umum (kampanye terbuka), dialog terbatas, alat peraga kampanye (baliho, stiker, kalender, spanduk), dan melalui tim sukses masing-masing. Tentu semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Demikian pula pemerintah daerah. Setidaknya, dana lebih dari Rp 550 miliar sudah dianggarkan untuk putaran pertama hajatan politik lima tahunan itu. Dana tersebut berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) dan pajak yang dibayarkan masyarakat.
Dana yang tidak sedikit tersebut tentu perlu dikelola dengan baik. Artinya, masyarakat Jawa Timur sudah saatnya sadar bahwa pilgub tahun ini merupakan proses panjang perjalanan demokratisasi di daerah.
Rakyat terlibat dalam proses demokratisasi dengan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara dan mencoblos tanda gambar pasangan calon untuk putaran pertama cagub-cawagub. Meluangkan waktu 10 hingga 15 menit untuk menggunakan hak pilih akan sangat membantu kesuksesan dan kelancaran proses demokratisasi.
Pemborosan Anggaran
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana menekan angka golongan putih (golput)? Tren golput di beberapa pilgub cenderung meningkat. Pada Pilgub DKI Jakarta dengan 5,7 juta pemilih, jumlah golput mencapai 2 juta (34,5 persen). Di Jawa Barat, dengan 27,9 juta pemilih, jumlah golput 9,1 juta (32,6 persen). Di Jawa Tengah baru-baru ini, dengan 25,8 juta pemilih, jumlah golput bahkan mencapai 11,6 juta (45 persen).
Fenomena golput di Jawa Timur diperkirakan juga cukup tinggi. Prediksi itu berdasar hasil pilkada di tingkat kabupaten/kota, baik pemilihan bupati (pilbup) maupun pemilihan wali kota (pilwali). Setidaknya, angka golput di Jawa Timur mencapai 30 persen.
Angka itu memang lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah golput di beberapa negara Amerika Latin dan Amerika Serikat. Meski demikian, golput bukanlah pilihan bijak.
Mengapa? Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja daerah. Uang APBD terbuang sia-sia jika tingkat partisipasi masyarakat rendah. Padahal, dalam momentum pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan.
Golput 30 persen akan memboroskan anggaran minimal Rp 101 miliar jika dihitung berdasar indeks rata-rata per pemilih Rp 11.600 dikalikan 30 persen dari 29.045.000 pemilih. Jika golput 35 persen, pemborosan anggaran mencapai minimal Rp 118 miliar. Jika golput 40 persen, pemborosan anggaran mencapai minimal Rp 134 miliar. Jika golput 45 persen, pemborosan anggaran mencapai minimal Rp 151 miliar. Angka tersebut sudah lebih dari 25 persen di antara total anggaran putaran pertama Rp 550 miliar.
Kedua, golput juga akan menguntungkan pasangan calon. Artinya, pasangan calon gubernur yang menang dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit akan terbantu oleh pilihan masyarakat yang golput. Tentu hal tersebut sangat merugikan pasangan calon lain. Lebih dari itu, legitimasi kekuasaan gubernur terpilih akan berkurang.
Pragmatis
Pilihan masyarakat untuk golput juga ditengarai disebabkan beberapa faktor. Pertama, faktor materi. Ada sebuah paradigma di masyarakat bahwa jika ada pasangan calon yang memberikan uang kepada calon pemilih, dia akan memilih. Jika tidak ada pasangan calon yang memberi uang, dia akan golput. Milih ora milih podo wae. Aku yo jik tetep rekoso. Sing penak wong nduwuran. (Memilih atau tidak sama saja. Saya juga tetap susah. Yang senang pejabat.)
Pandangan masyarakat seperti itu tentu ada benarnya. Setelah pemilihan usai, biasanya pemimpin kita, seperti presiden, wakil presiden, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, lupa akan janji-janjinya. Mereka meninggalkan begitu saja masyarakat pemilih. Proses pendidikan dan demokratisasi di daerah tidak berjalan lagi. Maka, tidak aneh jika banyak warga yang apatis dan cenderung berperilaku pragmatis.
Kedua, banyak masyarakat Jawa Timur yang bekerja di luar wilayah Jawa Timur (perantau). Di tengah semakin sulitnya mencari nafkah, orang-orang rantau memilih tetap tinggal di perantauan dan enggan pulang. Biaya perjalanan pulang menurut mereka lebih besar daripada mencoblos pada hari H.
Peran Tokoh Masyarakat
Kedua faktor penyebab golput tersebut pada dasarnya dapat ditekan atau diminimalkan. Terutama untuk penyebab pertama. Peran serta tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pamong desa, misalnya, sangat berpengaruh di sini.
Tokoh masyarakat harus mau dan mampu mendidik warga agar mempunyai kesadaran politik. Politik tidak hanya diukur dengan uang atau hadiah lain. Pelaksanaan pilkada akan menentukan masa depan daerah. Jawa Timur akan dibawa ke mana terletak pada kebijakan pemimpin daerah, dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur.
Ruang-ruang publik yang masih hidup di masyarakat Jawa Timur, seperti acara arisan RT, poskamling, tahlilan malam Jumat, sudah saatnya dijadikan ajang untuk menyosialisasikan program kerja calon dan menyadarkan masyarakat tentang arti penting memilih.
Memilih adalah pilihan bijak. Dengan memilih, kita menjadi bagian dari masyarakat dan turut serta dalam pembangunan daerah. Pilihan kita menentukan arah massa depan Jawa Timur. Selamat memilih dan mencoblos tanda gambar (foto) pada 23 Juli 2008. Masa depan Jawa Timur ada di tangan Anda. Ayo nyoblos Rek, ojo golput!
Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute
Gong hajat politik lima tahunan segera berbunyi. Pada Rabu, 23 Juli 2008, masyarakat Jawa Timur memasuki babak baru proses demokratisasi. Masyarakat Jawa Timur akan memilih lima pasang calon gubernur dan wakil gubernur (cagub-cawagub) untuk periode 2008-2013. Kelima pasang cagub-cawagub itu adalah putra terbaik Jawa Timur. Mereka telah dipilih melalui mekanisme partai politik dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mereka adalah pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji), Sutjipto-Ridwan Hisyam (SR), Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam), Achmady-Suhartono (Achsan), dan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa).
Kelima pasang calon tersebut telah memaparkan visi-misi di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur. Mereka juga telah berusaha sekuat tenaga untuk menyosialisasikan diri kepada masyarakat. Melalui mimbar umum (kampanye terbuka), dialog terbatas, alat peraga kampanye (baliho, stiker, kalender, spanduk), dan melalui tim sukses masing-masing. Tentu semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Demikian pula pemerintah daerah. Setidaknya, dana lebih dari Rp 550 miliar sudah dianggarkan untuk putaran pertama hajatan politik lima tahunan itu. Dana tersebut berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) dan pajak yang dibayarkan masyarakat.
Dana yang tidak sedikit tersebut tentu perlu dikelola dengan baik. Artinya, masyarakat Jawa Timur sudah saatnya sadar bahwa pilgub tahun ini merupakan proses panjang perjalanan demokratisasi di daerah.
Rakyat terlibat dalam proses demokratisasi dengan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara dan mencoblos tanda gambar pasangan calon untuk putaran pertama cagub-cawagub. Meluangkan waktu 10 hingga 15 menit untuk menggunakan hak pilih akan sangat membantu kesuksesan dan kelancaran proses demokratisasi.
Pemborosan Anggaran
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana menekan angka golongan putih (golput)? Tren golput di beberapa pilgub cenderung meningkat. Pada Pilgub DKI Jakarta dengan 5,7 juta pemilih, jumlah golput mencapai 2 juta (34,5 persen). Di Jawa Barat, dengan 27,9 juta pemilih, jumlah golput 9,1 juta (32,6 persen). Di Jawa Tengah baru-baru ini, dengan 25,8 juta pemilih, jumlah golput bahkan mencapai 11,6 juta (45 persen).
Fenomena golput di Jawa Timur diperkirakan juga cukup tinggi. Prediksi itu berdasar hasil pilkada di tingkat kabupaten/kota, baik pemilihan bupati (pilbup) maupun pemilihan wali kota (pilwali). Setidaknya, angka golput di Jawa Timur mencapai 30 persen.
Angka itu memang lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah golput di beberapa negara Amerika Latin dan Amerika Serikat. Meski demikian, golput bukanlah pilihan bijak.
Mengapa? Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja daerah. Uang APBD terbuang sia-sia jika tingkat partisipasi masyarakat rendah. Padahal, dalam momentum pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan.
Golput 30 persen akan memboroskan anggaran minimal Rp 101 miliar jika dihitung berdasar indeks rata-rata per pemilih Rp 11.600 dikalikan 30 persen dari 29.045.000 pemilih. Jika golput 35 persen, pemborosan anggaran mencapai minimal Rp 118 miliar. Jika golput 40 persen, pemborosan anggaran mencapai minimal Rp 134 miliar. Jika golput 45 persen, pemborosan anggaran mencapai minimal Rp 151 miliar. Angka tersebut sudah lebih dari 25 persen di antara total anggaran putaran pertama Rp 550 miliar.
Kedua, golput juga akan menguntungkan pasangan calon. Artinya, pasangan calon gubernur yang menang dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit akan terbantu oleh pilihan masyarakat yang golput. Tentu hal tersebut sangat merugikan pasangan calon lain. Lebih dari itu, legitimasi kekuasaan gubernur terpilih akan berkurang.
Pragmatis
Pilihan masyarakat untuk golput juga ditengarai disebabkan beberapa faktor. Pertama, faktor materi. Ada sebuah paradigma di masyarakat bahwa jika ada pasangan calon yang memberikan uang kepada calon pemilih, dia akan memilih. Jika tidak ada pasangan calon yang memberi uang, dia akan golput. Milih ora milih podo wae. Aku yo jik tetep rekoso. Sing penak wong nduwuran. (Memilih atau tidak sama saja. Saya juga tetap susah. Yang senang pejabat.)
Pandangan masyarakat seperti itu tentu ada benarnya. Setelah pemilihan usai, biasanya pemimpin kita, seperti presiden, wakil presiden, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, lupa akan janji-janjinya. Mereka meninggalkan begitu saja masyarakat pemilih. Proses pendidikan dan demokratisasi di daerah tidak berjalan lagi. Maka, tidak aneh jika banyak warga yang apatis dan cenderung berperilaku pragmatis.
Kedua, banyak masyarakat Jawa Timur yang bekerja di luar wilayah Jawa Timur (perantau). Di tengah semakin sulitnya mencari nafkah, orang-orang rantau memilih tetap tinggal di perantauan dan enggan pulang. Biaya perjalanan pulang menurut mereka lebih besar daripada mencoblos pada hari H.
Peran Tokoh Masyarakat
Kedua faktor penyebab golput tersebut pada dasarnya dapat ditekan atau diminimalkan. Terutama untuk penyebab pertama. Peran serta tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pamong desa, misalnya, sangat berpengaruh di sini.
Tokoh masyarakat harus mau dan mampu mendidik warga agar mempunyai kesadaran politik. Politik tidak hanya diukur dengan uang atau hadiah lain. Pelaksanaan pilkada akan menentukan masa depan daerah. Jawa Timur akan dibawa ke mana terletak pada kebijakan pemimpin daerah, dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur.
Ruang-ruang publik yang masih hidup di masyarakat Jawa Timur, seperti acara arisan RT, poskamling, tahlilan malam Jumat, sudah saatnya dijadikan ajang untuk menyosialisasikan program kerja calon dan menyadarkan masyarakat tentang arti penting memilih.
Memilih adalah pilihan bijak. Dengan memilih, kita menjadi bagian dari masyarakat dan turut serta dalam pembangunan daerah. Pilihan kita menentukan arah massa depan Jawa Timur. Selamat memilih dan mencoblos tanda gambar (foto) pada 23 Juli 2008. Masa depan Jawa Timur ada di tangan Anda. Ayo nyoblos Rek, ojo golput!