Search

Kamis, 24 Juli 2008

Selamatkan Masa Depan Anak Jabar


Forum Kompas Edisi Jawa Barat
Rabu, 23 Juli 2008 | 16:45 WIB

Oleh Benni Setiawan

Berita kurang enak datang dari Indramayu dan Subang. Menurut data, sepanjang tahun 2006, jumlah gadis desa di bawah umur yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial mencapai 42.771 orang. Tahun berikutnya, jumlahnya bertambah menjadi 745.817 orang. Pada semester I-2008, jumlahnya sudah lebih dari 400.000 orang. Sebagian besar korban berasal dari keluarga miskin di kawasan pesisir Subang dan Indramayu (Kompas, 21/7/2008).

Anak-anak yang seharusnya belajar dan bersosialisasi dengan banyak teman harus menanggung beban berat sebagai pekerja seks komersial (PSK), sebuah pekerjaan yang tidak patut menurut norma agama dan masyarakat. Namun, mengapa pekerjaan ini dilakukan masyarakat kita dan harus melibatkan anak-anak di bawah umur? Bukan takdir

Menjadi PSK bukanlah takdir yang harus dijalani seseorang. Masih banyak pekerjaan halal lain yang dapat dikerjakan. Menjadi PSK bukan akhir dari dunia. Masih banyak jalan untuk keluar dari jeratan ini. Menjadi PSK juga bukan kutukan dari nenek moyang. Oleh karena itu, keinginan kuat untuk mengubah kultur dan tradisi dari dalam diri sendiri menjadi keniscayaan.

Budaya masyarakat yang menempatkan kekayaan sebagai panglima, misalnya, sudah saatnya diubah. Kekayaan bukan segalanya dalam kehidupan. Kehidupan harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Salah satunya ialah dengan mengamalkan ilmu yang kita miliki.

Ilmu tidak saja didapat dari bangku sekolah. Ilmu juga didapat dari hasil interaksi dengan sesama dan pengalaman empirik seseorang. Dengan ilmu kita akan menjadi kaya. Ilmu adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan.

Dengan pandangan seperti ini, kekayaan yang harus didapat dengan berbagai upaya, termasuk menjadi PSK, dapat diminimalisasi sedemikian rupa. Pandangan ini juga akan dapat meruntuhkan mitos kekayaan yang berwujud rumah mewah, mobil, emas, sawah, dan sebagainya. Kekayaan seperti itu adalah bentuk kekayaan masyarakat feodal.

Masyarakat feodal adalah yang masih menuhankan pangkat, derajat, dan jabatan. Mereka adalah masyarakat yang selalu bangga dengan garis keturunan dan malu jika miskin.

Pada era pasar bebas ini, sudah saatnya ilmu pengetahuan menjadi hal yang harus diburu. Artinya, seseorang akan merasa kecil jika tidak memiliki dasar ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan, pada era teknologi informasi seperti saat ini, pertaruhan ilmu menjadi hal utama. Jika seseorang tidak memiliki bekal ilmu, ia akan kalah bersaing dengan orang asing yang siap menyerbu pangsa pasar dalam negeri.

Maka dari itu, sudah saatnya anak-anak usia produktif (5-18 tahun) mendapatkan bimbingan, arahan, dan pendidikan yang maksimal. Anak usia ini adalah generasi penerus bangsa. Mereka adalah tulang punggung bangsa Indonesia pada masa yang akan datang.
Pendidikan

Kemudian, bagaimana menjadikan mereka berilmu? Pertama, orangtua merupakan elemen paling penting dalam hal ini. Orangtua adalah pendidik utama. Sebagaimana dalil kedua dalam filsafat pendidikan Karya Lengkap Driyarkara (2006), mendidik terutama adalah hak dan kewajiban orangtua. Pendidikan adalah aspek dari propagasi dan kontinuasi manusia. Propagasi dan kontinuasi tidak dibatasi lingkungan fisik.

Sesudah dilahirkan secara fisik, manusia (muda) masih harus dilahirkan secara rohani. Ini adalah proses kelahiran yang lebih lama, panjang, dan sulit. Dengan dilahirkan secara fisik saja manusia muda belum dapat menjalankan kemanusiaannya. Si manusia muda harus dibangun sedikit demi sedikit sehingga menjadi manusia yang patut disebut pribadi.

Lebih lanjut, orangtua si anak merupakan kesatuan yang dibawa oleh kodrat sendiri. Selain itu, si anak merupakan kontinuasi dari hidup orangtuanya. Hak dan kewajiban ini adalah bawaan dari kodrat, tidak boleh dicabut oleh siapa pun.

Kedua, sesuai dengan dalil ketiga, adalah kewajiban negara mengakui, melindungi, dan membantu pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak dan kewajiban ini adalah fundamental (asasi). Tingkatnya sama dengan hak-hak kemerdekaan, berpikir bebas, beragama menurut keyakinannya sendiri, dan sebagainya. Setiap pengurangan hak ini merupakan pelanggaran kemanusiaan, pemerkosaan demokrasi.

Jadi, kemiskinan bukanlah alasan seseorang untuk menjadikan anak-anaknya sebagai PSK, apalagi didorong motif kekayaan. Setiap orangtua berhak dan berkewajiban melindungi, mengasihi, dan mendidik anak-anaknya menjadi manusia muda yang berpribadi.

Pemerintah sebagai pemegang otoritas kenegaraan pun berhak dan berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan layak. Hal itu bertujuan agar masyarakat mampu berpikir rasional dan kritis, bahwa kekayaan bukan segalanya dalam kehidupan, apalagi mencari kekayaan dengan menjual dan mempekerjakan anak-anak sebagai PSK.
Benni Setiawan Pemerhati Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar