Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Minggu, 19 Oktober 2008
Ketika Wong Cilik Jadi Dermawan
Kompas edisi Jatim, Jum'at, 17 Oktober 2008.
Penyaluran dana bantuan tunai langsung (BLT) yang menuai protes dari sejumlah kalangan ternyata menyisakan pelajaran berharga. Sebuah pelajaran (pendidikan) yang diajarkan secara langsung oleh orang miskin (wong cilik) kepada siapa saja yang ingin belajar dan mengambil hikmahnya. Pelajaran tersebut adalah solidaritas.
Solidaritas
Di tengah keadaan yang semakin susah, solidaritas biasanya akan pudar. Hal ini dikarenakan, ego pribadi akan muncul karena banyak tekanan baik dari intern maupun ekstern setiap manusia. Solidaritas biasanya muncul karena ada faktor kepentingan bersama.
Namun, wong cilik mengajarkan kepada kita semua arti penting saling berbagi. Mereka memberikan rizki yang telah diberikan Tuhan kepada sesamanya. Uang BLT yang sedianya Rp. 400.000,- tidak mereka terima secara penuh. Artinya, uang tersebut disisihkan sebagian dan disetor kepada Ketua RT atau Kepala Dusun (Kadus) untuk diberikan kepada sesama warga miskin yang tidak mendapat jatah BLT.
Mereka menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami juga dialami oleh orang lain. Maka rizki sedikit dari program BLT juga harus dirasakan oleh sesamanya. Sebagaimana terjadi di berbagai daerah, seperti di Jember, Probolinggo, Surabaya dan daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Warga di Surabaya, misalnya, dengan tulus ikhlas menyumbangkan Rp. 75.000,- kepada Kadus untuk dibagikan kepada warga lain yang tidak mendapat jatah BLT. Mereka berujar, “kulo niki tiyang mlarat. Namung, kulo tasih saget (gadah) pidamelan lan tasih gadah arto kagem dhahar. Kulo mboten kuwowo manawi mirsani sederek kulo ingkang langkung mlarat ketimbang kulo”. Saya ini orang miskin. Namun, saya masih dapat bekerja dan masih punya uang untuk makan. Saya tidak kuat kalu melihat saudara saya yang lebih miskin daripada saya.
Welas asih
Ketika saya mendengarkan perkataan tulus warga desa yang notabene adalah tetangga, saya langsung merinding. Betapa orang miskin di desa, masih mempunyai rasa welas asih kepada sesamanya. Mereka tidak pernah meng-aku-kan dirinya. Mereka lebih menekankan bagaimana ke-kita-an.
Ke-aku-an hanya akan meninggalkan kesombongan. Sedangkan ke-kita-an akan meninggalkan meminjam istilah A. Munir Mulkhan teologi welas asih.
Teologi welas asih adalah perwujudun cinta tulus ikhlas manusia kepada sesamanya. Manusia menyadari bahwa dirinya tidaknya berarti tanpa adanya orang lain. Manusia menyadari bahwa orang lain di sana lebih membutuhkan daripada dirinya.
Dengan demikian, apa yang mereka kerjakan senantiasa hanya mengharap ridho dari Tuhan Yang Maha Kasih. Ketulusan dan keikhlasan dalam memberi barang yang berharga muncul dengan sendirinya tanpa ada paksaan dari orang lain.
Orang-orang yang demikian mungkin adalah manusia pilihan Tuhan. Manusia yang sempurna dalam ibadahnya.
Sebagaimana dalam filsafat, Tzu Chi (sebuah gerakan yang dipelopori oleh biksuni Cheng Yen di Taiwan). Jika ingin berhasil mencapai suatu tingkatan dalam ibadah, jangan tinggal di atas gunung yang sepi atau dalam ruangan tertutup sambil membaca Parita untuk diri sendiri. Pencapaian tingkatan dalam melatih diri itu hanya dapat didapat di masyarakat. Master Cheng Yen, tak menekankan berapa banyak uang yang disumbangkan, melainkan seberapa besar niat baik dalam menyumbang (Intisari, April 2008).
Wong cilik, telah mempraktekan teori-teori di atas. Mungkin, mereka juga tidak tahu teori tentang welas asih. Namun, dalam jiwanya ada hati yang selalu mendorong untuk berbuat baik, tanpa harus ada yang memerintah.
Wong cilik—yang notabene mereka tidak berpendidikan tinggi--telah mengajarkan kepada kita semua tentang arti penting hidup berdampingan. Saling merasakan penderitaan orang lain di tengah himpitan ekonomi yang sebenarnya mendera dirinya sendiri.
Wong cilik, sepertinya sejenak melupakan kepenatan dalam hidupnya. Ia masih bisa tersenyum melihat secercah cahaya hidup. Ia sering kali “menundukkan kepala” guna melihat orang-orang yang hidup lebih menderita jika dibandingkan dengan dirinya.
Perilaku dan keteladanan wong cilik ini patut kita tiru. Kesederhanaan, ketabahan, dan sikap welas asih kepada orang lain disaat senang. Kesenangan atau kegembiraan dalam pandangan wong cilik harus dibagi. Karena mereka menyadari, bahwa hidup ini tidak akan bermanfaat tanpa melakukan derma (amal). Beramal dalam waktu lapang dan sempit selalu diajarkan oleh tuntunan keyakinan dan keagamaan apapun.
Dengan demikian, patutlah kita, sebagai orang yang mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, mempunyai jabatan, pangkat dan kedudukan, serta rizki yang melimpah malu kepada wong cilik, jika kita tidak pernah berempati dan berderma kepada sesama.
Jabatan, pangkat, dan kedudukan tidaklah langgeng. Ia sewaktu-waktu hilang ditelan massa.
Jika disaat diberi rizki lebih oleh Tuhan Yang Maha Kaya, tidak pernah berempati dan berderma kepada sesama, maka, suatu saat ketika kita jatuh miskin, tidak mempunyai jabatan, pangkat dan kedudukan, kita akan dinistakan oleh Tuhan dan masyarakat.
Maka, pada dasarnya, saat ini kita telah “ditertawakan” kalau tidak mau disebut “dipermalukan” oleh wong cilik (orang miskin). Karena disaat himpitan ekonomi dan kerasnya hidup, mereka masih menyisakan ruang untuk berderma dan merasakan penderitaan orang lain. Bagaimana dengan diri Anda? Wallahu a’lam.
Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.
1 komentar:
he he bagus sekali kang beni
kapan ada artikel lagi aq tunggu lho
mampir ya di http://shoihun08.blogspot.com
Posting Komentar