Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Jumat, 12 Desember 2008
Turunkan Bendera Parpol di Lokasi Bencana!
Oleh Benni Setiawan
Pikiran Rakyat, Jum'at, 12 desember 2008
Bencana alam sepertinya tidak bosan melanda negeri ini. Setelah serangkaian bencana alam yang menghancurkan semesta alam Aceh (2005), Jember dan Banjarnegara (2006), Yogyakarta dan Jawa Tengah (Mei 2006), Jakarta (Februari 2007), kini banjir dan tanah longsor menerpa semesta alam Jawa Barat. Seperti tanah longsor di Cianjur yang menewaskan belasan jiwa dan banjir yang melanda wilayah Bandung dan sekitarnya.
Banjir dan tanah longsor di Cianjur dan Bandung Jawa Barat ini menambah deret panjang data bencana alam di Indonesia. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banjir dan tanah longsor mendominasi bencana 2006-2007, khususnya di Pulau Jawa. Bencana itu terjadi di lebih dari 2.850 desa pada 61 kabupaten/kota. Jumlah bencana itu meningkat jika dibandingkan dengan periode tahun 2000-2003, yakni 1.288 desa.
Banyaknya bencana alam di Indonesia ini tentunya selalu meninggalkan duka yang mendalam bagi korban. Mereka ada yang kehilangan sanak keluarga, harta benda, dan cita-cita yang diimpikan sejak lama. Akan tetapi, ada yang bertepuk tangan dengan senyum riang gembira ketika musibah tahunan ini melanda beberapa daerah. Mereka adalah partai politik.
Arena bermain
Partai politik sepertinya menemukan gelanggang atau arena bermainnya. Dengan adanya bencana alam, mereka beralasan inilah saat yang tepat mendekatkan diri dengan konstituen. Kehadiran mereka pun dapat berguna bagi masyarakat yang sedang membutuhkan dan mencitrakan diri sebagai partai politik yang dekat dan peduli kepada rakyat.
Partai politik berebut simpati dengan menampung dan menyalurkan bantuan, mendirikan banyak posko, memberikan layanan kesehatan dan pertolongan cepat tanggap selama 24 jam. Di balik "misi mulia" tersebut mereka juga tidak lupa melakukan aksi pemasangan seribu satu bendera di berbagai sudut lokasi bencana alam. Dengan telah tertancapnya bendera-bendera tersebut mereka merasa telah memerhatikan korban bencana alam dan turut serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ironisnya, banyak di antara mereka yang tidak mengeluarkan keringat sedikit pun.
Keadaan ini dapat kita jumpai pada banjir dan tanah longsor yang meluluhlantakkan bumi Cianjur Jabar, beberapa waktu lalu. Di sepanjang jalan, di pojok kampung selalu ada bendera parpol yang berkibar sepanjang hari. Bahkan, pemasangan bendera parpol di berbagai tempat strategis menjadi rebutan kader-kader partai.
Lebih lanjut, partai politik tidak hanya mengibarkan bendera di berbagai lokasi bencana. Sebagai aksi simpatik dan pernyataan bahwa daerah ini "telah dikuasai" parpol tertentu, kader partai ada yang kerjaannya berkeliling lokasi bencana menggunakan mobil yang dipenuhi atribut parpol. Ironis memang, di tengah penderitaan yang tak kunjung usai, ada sebagian masyarakat lain yang merasa diuntungkan atas peristiwa ini.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dikerjakan oleh partai politik tersebut sebagai bukti pemihakan dan perhatiannya kepada wong cilik?
Pemihakan semu
Kehadiran parpol dengan misi pemasangan seribu bendera di lokasi bencana alam hanyalah bentuk pemihakan semu. Mereka tampaknya ingin cuci tangan terhadap dosa-dosa politik yang telah mereka lakukan.
Parpol ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa dirinya adalah lembaga yang patut untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan model pemasangan bendera di lokasi bencana alam. Akan tetapi, mereka melupakan satu hal, bahwa rakyat sekarang tidak mudah dibohongi dengan janji-janji politik yang muluk-muluk.
Rakyat sekarang sudah dapat menilai perilaku anggota dewan, sebagai representasi parpol. Berkat kehadiran media elektronik (televisi) dan media cetak (koran) rakyat mengetahui wakil-wakil rakyat di Senayan.
Betapa tidak, di tengah semakin banyaknya sekolah roboh akibat dimakan usia, gedung DPR RI yang masih megah dan kokoh dibiayai dengan anggaran APBN sebesar Rp 32 miliar. Belum lagi uang tunjangan yang diberikan kepada anggota dewan yang terhormat sebagai ganti uang sewa rumah dinas yang sedang direnovasi dan kunjungan kerja ke luar negeri yang tidak ada manfaatnya. Hal tersebut dilakukan anggota dewan di tengah penderitaan 49,5 persen penduduk miskin di Indonesia (versi Bank Dunia, dengan indikator penghasilan di bawah 2 dolar Amerika Serikat per hari).
Mereka menutup mata atas penderitaan dan rintihan rakyat. Rakyat hanya berarti bagi mereka ketika musim pemilihan umum datang. Setelah itu, rakyat adalah rakyat dengan penderitaan, dan anggota dewan adalah "putra terbaik bangsa" yang patut menikmati berbagai fasilitas dan tunjangan.
Kehadiran parpol di lokasi bencana dengan pemihakan semu pada dasarnya semakin menyayat hati rakyat. Rakyat dibuat bingung oleh rekayasa politik yang "menjijikkan".
Bendera Merah Putih
Sudah selayaknya semua pihak sadar mengenai hal ini. Bendera parpol di lokasi bencana alam saatnya diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih. Kehadiran bendera parpol di lokasi bencana hanya akan semakin mengerdilkan peran dan fungsi partai politik. Lebih dari itu, kehadirannya hanya akan meninggalkan konflik di tengah masyarakat.
Hal ini tentunya berbeda jika yang ada di tengah lokasi bencana alam adalah bendera Merah Putih. Bendera ini sebagai pengikat bahwa kita merasakan penderitaan dan beban berat korban bencana alam. Dengan hadirnya bendera Merah Putih diharapkan mampu memupuk rasa nasionalisme dan rasa memiliki bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini mulai luntur. ***
Penulis, peneliti sosial pada Lentera Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar