Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Kamis, 30 April 2009
Belajar dari yang Kecil
Peranda, Koran Jakarta, Kamis, 30 April 2009
Judul : Cerita Kecil Saja
Penulis : Stephie Kleden-Beetz
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Terbit : 2009
Tebal : xvi + 131 halaman
Harga : Rp. 60.000,-
Kecil tidak selamanya mungil, jelek, dan tidak bermakna. Dari sesuatu yang kecil kita dapat belajar tentang banyak hal. Seperti Lebah. Makhluk kecil ini banyak mengajarkan kita akan makna hidup. Lebah selalu bergerombol, mengisyaratkan kepada kita pentingnya hidup rukun. Lebah juga tidak suka menganggu. Namun, jika ia diganggu, maka Lebah akan menyerang penganggu sampai di ”ujung dunia” sekalipun. Inilah isyarat hidup dari Lebah untuk saling tolong menolong dan menjauhi perbuatan tercela yang merugikan orang lain. Lebah selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (madu). Madu terasa manis dan mempunyai banyak manfaat. Dari Lebah manusia diharapkan mampu bermanfaat bagi orang lain. ”Jangan katakan apa yang telah diberikan orang lain kepada dirimu, tetapi katakanlah apa yang telah kamu berikan kepada orang lain”, kata-kata bijak ini tampaknya cocok untuk memberikan gambaran mengenai hal tersebut.
Demikian pula dengan buku Cerita Kecil Saja ini. Buku berisi 51 cerita kecil atau ulasan pendek—rata-rata hanya 1-2 halaman, terdiri dari dua sampai empat alenia-- ini begitu memesona. Memesona bagi siapapun yang melihatnya. Buku yang ditulis oleh mantan koresponden Deutche Welle, radio nasional Jerman ini, dikemas dengan indah dan memikat. Desain sampul dan ukuran buku dalam format kecil yang begitu sederhana, namun indah, ditambah dengan judul yang unik akan mampu mendorong alam bawah sadar kita, bahwa buku ini penting untuk dibaca.
Halaman demi halaman dari buku ini sayang untuk dilewatkan begitu saja. Hal ini karena, pengemasan bahasa yang santun dan mudah dipahami dibalut dengan pengalaman penulis yang luas, menjadikan setiap kata begitu berharga.
Lebih dari itu, dengan membaca buku ini, kita seperti diajak bertamasya ke ”alam lain” yang sebelumnya belum pernah kita rasakan. Alam yang menyadarkan diri kita, bahwasanya yang kecil itu begitu indah dan nyata. Alam yang selama ini ada mungkin tak terpikirkan dan tanpa kita sadari berpengaruh dalam proses kehidupan setiap manusia. Alam yang menuntun manusia menjadi dirinya sendiri tanpa mengabaikan realitas di sekelilingnya.
Stephie Kleden-Beetz, mendasarkan cerita-ceritanya dari pengalaman dan perenungan bertemu dengan orang dan sahabat, dibungkus dengan pengetahuan luas yang ia pelajari selama ini. Kutipan percakapan yang ada di beberapa cerita pun dirangkai dengan kalimat bernas penuh makna filosofis. Lebih lanjut, dalam setiap cerita disertai dengan gambar dan foto sesuai dengan tema yang menjadikan buku ini semakin menarik untuk dicermati. Di setiap akhir cerita, penulis yang kini tinggal di Malang, Jawa Timur, ini menyitir kata-kata mutiara dari filsuf dan orang terkenal.
Penulis buku kelahiran Flores Timur, Nusa Tenggara Timur ini, tampak sangat kaya akan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup. Hal ini tampak dari isi dan tema yang sangat beragam. Seperti, tema sosial politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan teologi.
Lebih dari itu, kakak dari Ignas Kleden melalui buku ini, ingin menyumbangkan dan berbagi pengalaman mengenai perjalanan kehidupan. Ia juga ingin menunjukkan kepada khalayak bahwasannya kehidupan itu indah. Kehidupan akan semakin menarik (indah) ketika kita menyempatkan diri untuk melihat hal-hal kecil yang ada di sekeliling kita. Sebuah pekerjaan yang mungkin selalu kita remehkan.
Ditulis dengan rapi dan tanpa menggurui menjadikan buku ini layak Anda baca, sebagai acuan dalam hidup. Atau setidaknya buku ini akan mengilhami setiap gerak langkah Anda dalam menelusuri lorong kehidupan.
Akhirnya, buku ini menyadarkan betapa yang kecil itu tidak selamanya buruk. Dari hal kecil kita banyak belajar untuk memahami sesuatu yang besar. Seperti Lebah kecil yang mengajarkan filsafat kehidupan kepada manusia.
*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Kedok Bopeng Sekolah Gratis
WACANA, Suara Merdeka, Kamis, 30 April 2009
SETELAH mencanangkan sekolah sehari penuh, sekolah kebangsaan, kini pendidikan Indonesia kembali dihebohkan dengan program sekolah berstandar internasional (SBI). SBI dalam proses pendidikannya dilaksanakan dengan pengantar bahasa Inggris. Kurikulumnya pun berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB).
SBI pada dasarnya jamak kita ketahui di beberapa perguruan tinggi yang membuka kelas internasional. Kelas ini diperuntukkan bagi mereka yang menginginkan kuliah di dua tempat dan mendapat dua gelar kesarjanaan. Demikian pula dengan sekolah internasional, beberapa penyelenggara mengagendakan sebuah terobosan baru agar peserta didik dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah luar negeri dan dapat bersaing di kancah global.
Di sisi lain pemerintah kini merencanakan sekolah gratis bagi satuan pendidikan SD maupun SMP baik berstatus negeri maupun swasta. Namun, sebagaimana diiklankan di sejumlah media massa, SD dan SMP sekolah rintisan berstandar internasional (SRBI) maupun SBI tidak gratis. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana nasib sekolah gratis di tengah kegencaran rencana pemerintah menginternasionalkan sekolah-sekolah di Indonesia?
SBI muncul berdasarkan, Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 Ayat (3) yang berbunyi, ”Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”
SBI menurut Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo adalah sekolah-sekolah yang sudah memenuhi standar nasional yang berdimensi ke tingkat internasional.
Menurut data setidak-tidaknya sudah ada sebanyak 100 sekolah tingkat satuan pendidikan SD, SMP sebanyak 260 sekolah, SMA 200 sekolah dan SMK 200 sekolah yang berstandar internasional. Konon jumlah ini masih jauh dari harapan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Akal-akalan
Menurut Satria Dharma, Direktur The Centre for the Betterment of Education (CBE), program prestisius ini didanai oleh pemerintah pusat 50 persen, pemerintah provinsi 30 persen, dan pemerintah kabupaten/kota 20 persen. Padahal, untuk setiap sekolah pemerintah pusat mengeluarkan Rp 300 juta setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.
Jumlah peserta didik akan dibatasi antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia.
Dengan sebutan SBI, sekolah ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai kemampuan pas-pasan. Lebih dari itu, SBI hanya dapat diikuti oleh orang-orang yang mempunyai uang banyak. Program ini, hanyalah akal-akalan pemerintah di tengah ketidakberdayaan menyelenggarakan pendidikan yang memerdekaan dan mengangkat manusia muda ke taraf insani.
Program ini akan semakin mengerdilkan sistem pendidikan nasional. Program ini pun akan semakin membuat jurang pemisah antara sekolah orang-orang miskin dan orang-orang kaya. Orang-orang miskin dengan daya kemampuan sedang hanya bisa sekolah di sekolah produk lokal. Adapun anak orang-orang kaya dapat sekolah di kelas internasional.
Sekolah gratis yang diancang oleh pemerintahpun tidak akan ada artinya. Ia akan mati. Hal ini karena, pemerintah terus mendorong sekolah-sekolah menjadi SRBI dan SBI hingga mencapai 75 persen dalam setiap provinsi. Sisa 25 persen sekolah non-SRBI dan SBI hanyalah ”sekolah buangan”, tempat orang miskin tanpa fasilitas dan penunjang belajar yang memadai.
Dengan demikian, sekolah gratis yang diiklankan secara besar-besaran hanya sebagai ”kedok” keberpihakan pemerintah terhadap wong cilik. Kedok ini sangatlah bopeng. Sekolah gratis di tengah SRBI dan SBI merupakan bentuk kepura-puraan pemerintah. Hal ini semakin membuktikan pemerintah saat ini tidak mampu menyediakan, mendidik, dan menjadikan anak bangsa mandiri dengan pendidikan.
Kritik Mubyarto
Pendidikan model SRBI dan SBI hanya akan semakin menjauhkan anak bangsa dari realitas budaya Nusantara. Sekolah model ini telah dikritik Prof Mubyarto enam tahu lalu. Sembari mengutip Simon Markus, Prof Mubyarto, mengkritik kebijakan ini. Adalah pandangan yang keliru jika para penyelenggara sekolah menganggap sekolahnya sekadar sebagai ”persiapan” atau sebagai ”batu loncatan” melanjutkan sekolah ke Singapura atau Australia.
Inilah pandangan yang rupanya terpengaruh secara negatif oleh paham globalisasi yang sangat kuat yang menganggap ”daya saing” internasional, yang disamaartikan dengan ”standar internasional” sebagai ”tujuan” utama pendidikan sehingga upaya-upaya kita termasuk dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang khas Indonesia dianggap tidak diperlukan lagi, karena sekolah kita perlu memenuhi atau harus ”berstandar internasional”.
Renungan almarhum Prof Mubyarto ini sudah saatnya juga direnungkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan. Pemerintah sudah saatnya bangga dengan kurikulum khas nasional Indonesia. Hal ini akibat banyak tokoh Indonesia yang mumpuni seperti Ki Hajar Dewantara, Driyarkara dan YB Mangunwijaya yang telah meletakkan dasar pendidikan dengan cukup baik bahkan banyak diadobsi oleh negara asing. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mau atau tidak menggali khasanah pemikiran asli Indonesia ini.
Kekhasan pendidikan Indonesia akan semakin mengokohkan semangat nasionalisme yang akhir-akhir ini mulai tergerus. Peserta didik sudah saatnya diajarkan untuk mengenal budayanya sendiri. Mengenal budaya sendiri berarti paham identitas diri sebagai manusia Indonesia. Ketika manusia Indonesia sudah tidak lagi mengetahui kesejarahan dalam hidupnya, maka ia akan terasing di negeri sendiri.
Pada akhirnya, ketika pemerintah terus mendorong SRBI dan SBI bermunculan, maka program sekolah gratis tidak ada gunanya. Program ini hanya akan membuang energi dan biasa di tengah krisis finansial global. Maka, segera hentikan SRBI dan SBI, mari menuju pendidikan berkualitas dengan sekolah yang terjangkau oleh rakyat. Wallauhu a'lam. (35)
–– Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008).
Sabtu, 25 April 2009
Selektif Memilih Perguruan Tinggi
KAMPUS, Suara Merdeka, Sabtu, 25 April 2009
Diberitakan, sekitar 5.000 ijasah S1 dan S2 guru di Nusa Tenggara Barat (NTB) illegal. Kasus serupa pernah terjadi di Yogyakarta, ribuan ijasah yang dikeluarkan sebuah sekolah tinggi di Bantul ditengarai palsu. Ironisnya, pemegang ijasah adalah para pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi DIY. Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X pun meradang. Pegawai yang terbukti menggunakan ijasah palsu harus mengembalikan uang gaji dan tunjangan kepada negara!
MARAKNYA ijasah ilegal dan palsu mengindikasikan masyarakat masih terbuai gelar, pangkat, dan kedudukan. Masyarakat memandang, dengan memegang ijasah strata satu dan dua, kesejahteraannya dapat terjamin. Dengan memegang ijasah sarjana atau master, seseorang akan mudah mendapatkan jabatan dan kedudukan di pemerintahan.
Paradigma feodal ini tak ubahnya ketika gelar dari keraton menjadi tren di awal tahun 1970an. Orang-orang yang memperoleh gelar kehormatan dari keraton seringkali menempatkan diri sebagai warga masyarakat yang linuwih. Ia merasa dirinya keturunan darah biru, sehingga apa yang dilakukannya seolah merupakan representasi masyarakat kelas elit yang patut dihormati dan diikuti masyarakat lain (proletar).
Ironisnya, lembaga mulia seperti pendidikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem feodal ini. Masyarakat yang memegang gelar kesarjanaan bangga menyandingkan gelar-gelar di depan atau di belakang namanya. Bahkan, namanya yang pendek tertutupi oleh gelar kesarjanaan yang panjang.
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa perguruan tinggi sebagai institusi resmi yang bisa mengeluarkan gelar kesarjanaan justru terjebak dalam sikap pragmatis? Perguruan tinggi sebagai lembaga mulia tampaknya mulai bergeser perannya di dalam masyarakat.
Kini, di dalam masyarakat ada adagium, memperoleh ijasah dan gelar sangat mudah. Hanya dengan kuliah beberapa bulan saja, gelar dan ijasah sudah dapat dibawa pulang. Tentunya harus membayar biaya administrasi yang ditentukan atau sebagaimana dijanjikan di awal perkuliahan.
Hanya Setahun
Saya tertegun, ketika seorang pejabat di daerah saya dengan bangga mengatakan, ’’Tidak usah serius kuliah S2, tak ada gunanya. Anggota Dewan saja setahun sudah dapat gelar MSi atau MH’’.
Apa yang dikatakan pejabat itu bukanlah omong kosong. Beberapa pejabat dan anggota Dewan tanpa bersusah payah membuat makalah dan menulis tesis, dalam setahun bisa memperoleh gelar master.
Bahkan, tanpa ijasah S1, seseorang dapat dengan mudah mendapatkan ijasah S2. Ketika saya desak di mana kampusnya, sang pejabat enggan memberitahukannya.
Fakta tersebut makin menegaskan, ada perguruan tinggi yang sengaja didirikan untuk mengobral ijasah bagi pegawai, pejabat, atau anggota dewan. Adanya perguruan tinggi seperti ini tentu didorong oleh animo masyarakat untuk mendapat gelar.
Dengan memperoleh ijasah S1, misalnya, seseorang dengan mudah naik pangkat ke golongan IIIA. Mereka tak perlu menunggu 3-4 tahun (bagi pegawai struktural) atau 2-3 tahun (pegawai fungsional) untuk naik pangkat.
Kenaikan pangkat tentu juga akan menambah pundi-pundi uangnya. Tanpa harus bekerja keras, mereka mendapatkan gaji berlimpah. Tidak aneh apabila kita sering menemui pegawai di kantor-kantor layanan masyarakat yang hanya datang, absen, duduk, main game, dan ngobrol di kantor. Tidak ada pekerjaan lain selain hal-hal tersebut.
Kemudahan mendapat ijasah juga didukung oleh makin banyaknya perguruan tinggi berubah status atau membuka program magister. Hampir seluruh perguruan tinggi kini mempunyai program S2, meski tidak ada guru besar atau tenaga pengajar yang mumpuni (doktor, S3).
Dengan meminjam seorang guru besar dari kampus lain, sebuah perguruan tinggi bisa membuka program magister. Sistem kuliahnya pun tahu sama tahu. ’’Yang penting bayar lunas. Mau masuk kuliah atau tidak, terserah,’’ kata seorang pegawai bagian administrasi di sebuah PTS di Yogyakarta.
Cari Informasi
Karena itu, selektiflah dalam memilih perguruan tinggi. Sebelum mendaftar, cari informasi selengkap mungkin tentang profil perguruan tinggi yang hendak dituju. Berapa jumlah guru besar dan staf pengajarnya, bagaimana akreditasinya, dan seterusnya.
Jangan mudah percaya dengan brosur atau selebaran. Sekiranya memungkinkan, calon mahasiswa perlu datang langsung melihat kondisi kampus yang akan dituju. Hal ini penting, karena banyak perguruan tinggi yang ’’asli tapi palsu’’ (aspal), yang dikelola dengan managemen duit. Artinya, siapa yang siap bayar jutaan rupiah mudah mendapatkan gelar kesarjanaan yang diinginkan.
Guna mencegah masyarakat berperilaku pragmatis seperti ini, Departemen Pendidikan Nasional (c.q. Direktorat Perguruan Tinggi) perlu mendata ulang perguruan tinggi yang sehat dan tidak.
Pemerintah juga harus berani menindak perguruan tinggi nakal!
Perguruan tinggi nakal hanya makin memperkeruh iklan pendidikan tinggi Indonesia. Merekalah yang menurunkan martabat kampus sebagai lembaga tertinggi dalam strata sosial masyarakat Indonesia.
Jika peserta didik yang kurang memenuhi nilai standar Ujian Nasional (UN) 5,5 saja diharuskan menggulang di tahun depan, mengapa banyak perguruan tinggi yang mengobral murah ijasah —bahkan palsu (ilegal)— dibiarkan hidup dan berkembang pesat?
Keberanian pemerintah juga perlu didukung oleh semua elemen masyarakat. Sudah saatnya masyarakat berfikir, kuliah bukan hanya tempat mencari ijasah. Kuliah adalah ajang adu intelektual.
Di kampus, mahasiswa berproses menjadi manusia muda menuju taraf insani, pengembangan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 UU Sisdiknas Pasal 1.
Pada akhirnya, memilih perguruan tinggi yang mempunyai integritas serta visi-misi yang jelas merupakan pilih bijak. Sebab perguruan tinggi bukanlah tempat mencari ijasah dan gelar, melainkan tempat berproses dan menuntut ilmu. (32)
—Benni Setiawan, penulis buku ’’Manifesto Pendidikan Indonesia’’ (2006) dan ’’Agenda Pendidikan Nasional’’ (2008); mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selasa, 21 April 2009
Lonceng Kematian Sektor Usaha
Kontan, Senin, 20 April 2009
Benni Setiawan
Peneliti Lentera Institute
Sektor usaha mikro yang lesu akan kian mengancam posisi buruh
Perusahaan konsultan the Political and Economic Risk Consultancy (PERC) kembali menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dalam survei tahunannya yang melibatkan 14 negara Asia, Australia dan Amerika Serikat. Dengan skor di atas 7, Indonesia dinilai masih rawan korupsi dari sektor publik dan swasta hingga tidak menarik untuk bisnis dan investasi.
Masih gamang
Hasil survei itu dilansir PERC dua hari lalu dengan melibatkan 1.700 responden yang berasal dari pengusaha asing di 16 negara. Dikutip dari laman AFP, hasil survei menempatkan Indonesia dengan skor 8,32 dan empat negara lainnya dalam zona “korupsi serius”, yakni Thailand (7,63), Kamboja (7,25), India (7,21) dan Vietnam (7,11). Sementara Filipina yang tahun lalu menempati urutan pertama berada di zona “moderate” dengan skor 7. Diikuti berturut-turut dengan Malaysia (6,70), Taiwan (6,47), China (6,16), Macau (5,84), Korea Selatan (4,64), Jepang (3,99), USA (2,89), Australia (2,40), Hongkong (1,89) dan Singapura (1,07).
Survei ini juga membuktikan bahwa komitmen pemerintahan SBY-JK dalam memberantas korupsi masih gamang. Artinya, pemerintah masih belum dapat menjamin bahwa pengurusan surat-surat dalam investasi bebas dari pungli dan korupsi.
Lebih dari itu, pengusaha masih ragu dengan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi. Keraguan pengusaha ini tentunya akan menganggu iklim investasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Mandegnya investasi ke dalam negeri tentunya juga akan menganggu jalannya sektor usaha. Apalagi kini sektor usaha mikro sedang lesu akibat krisis finansial global sejak akhir tahun lalu.
Sektor usaha mikro yang lesu tentunya akan kian mengancam keberadaan buruh. Kian banyak buruh yang di-PHK akibat ketidakmampuan perusahaan membayar gaji. Dampak lanjutanya, sistem sosial menjadi terganggu karena maraknya demo buruk dan merajelelanya kejahatan.
Karena itu, pemerintah sudah saatnya merealisasikan janji pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Tidak hanya sekadar retorika, namun aksi nyata. Pemberantasan korupsi tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya keberanian semua pihak untuk menghentikannya. Pemberantasan korupsi bukan hanya slogan yang mudah diucapkan tetapi sulit direalisasikan. Ia membutuhkan treatmen yang tepat dan geniun.
Pertama, pemotongan jalur birokrasi. Panjangnya jalur birokrasi perizinkan akan kian membuka peluang terjadinya korupsi berjamaah. Jika perizinan dapat dilakukan dalam satu meja, mengapa harus tiga meja? Jika dapat dipermudah mengapa harus dipersulit?
Pemangkasan jalur birokrasi perizinan menjadi syarat mutlak kenyamanan seorang investor menanamkan sahamnya di Indonesia. Jangan sampai seorang investor trauma (kapok) berinvestasi di Indonesia.
Layanan e-government
Sebuah kisah nyata pernah dialami seorang pengusaha dari China ingin menanamkan investasinya di Indonesia. Ia terperangah kaget ketika sampai di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, seorang petugas imigrasi meminta ”uang jasa” untuk memuluskan niat baiknya. Tidak tanggung-tanggung, petugas meminta uang Rp. 10 juta. Petugas berjanji akan memudahkan jalan dalam investasi. Sesampainya di dinas perizinan, ia kembali ”dipalak”, dengan alasan ini itu. Singkat cerita, seorang pengusaha tersebut telah menghabiskan uang Rp. 100 juta hanya untuk masuk dan meminta izin. Setelah dihitung-hitung, ia memilih kembali ke negaranya dan kemudian menanamkan sahamnya di Singapura.
Kedua, pembentukan sistem layanan e-government. Dengan sistem ini seorang investor tidak perlu lagi harus datang ke Indonesia untuk melihat secara nyata perusahaan atau bidang usaha yang ingin diajak bekerjasama. Seorang investor cukup melihat data dan atau profil perusahaan dari layar komputer.
Sistem e-government juga memungkinkan mencegah tatap muka yang berpotensi korup. E-government juga dapat menjamin kenyamanan dan kerahasiaan seorang investor.
Tanpa hal yang demikian, iklim investasi Indonesia akan kian lesu dan mandul. Ini terjadi karena, persepsi publik, khususnya exspatriat atau orang asing, menjadi negatif. Mereka beranggapan Indonesia belum memungkinkan menjadi negara tujuan investasi utama. Perginya investor dari Indonesia menjadi lonceng kematian bagi sektor usaha.
Minggu, 19 April 2009
Panduan Menjadi Pemilih Kritis
Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 19 April 2009
PEMILU legislatif 9 April 2009 telah usai.Menurut berbagai lembaga survei,Partai Demokrat unggul dengan angka 20,3%.Kemenangan partai Demokrat ini telah mengubah konstelasi politik nasional.
Partai ”gaek”seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar harus mengakui kehebatan Partai Demokrat. Pencapaian besar Partai Demokrat ini memaksa partai gurem keluar dari Senayan. Setidaknya hanya ada sembilan partai politik yang berhak duduk di kursi parlemen. Tidak hanya itu, kemenangan Partai Demokrat akan semakin meneguhkan posisi SBY sebagai calon presiden terkuat pada pemilihan umum presiden (pilpres) Juli 2009 ini.
Partai Golkar yang semula pernah mengajukan Sang Ketua Umum (M Jusuf Kalla) untuk menjadi capres sudah mulai mengubah jurus. Beberapa fungsionaris DPP Partai Golkar kembali menyerukan pentingnya duet SBY-JK, yang sempat terhenti akibat ”insiden Achmad Mubarok”. Dan sepertinya,Partai Demokrat juga tidak keberatan dengan kehadiran partai berlambang beringin itu.
Menurut beberapa pengamat politik, sikap tersebut didasari keyakinan bahwa kemenangan Partai Demokrat di pilpres nanti tidak dapat dipisahkan dari kekuatan partai penguasa Orde Baru itu. Jika dua kekuatan besar ini bersatu, tinggal ada satu ”Blok” lagi yang kemungkinan besar menjadi rival SBY-JK, yaitu Blok M yang dipimpin Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri. Bak gayung bersambut,geliat Blok M mencari dukungan disambung hangat oleh Partai Hanura dan Partai Gerindra.
Ketiga tokoh ini telah bertemu. Bahkan, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto dan Ketua Dewan Penasihat Partai Gerindra Prabowo Subijanto, sudah menandatangani nota kesepahaman untuk ”menyelamatkan” pelaksanaan Pemilu 2009. Terlepas dari sengitnya persaingan antarelite parpol, masih ada agenda besar bangsa Indonesia pascapemilu legislatif 9 April. Agenda tersebut adalah pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilihan presiden dan wakil presiden putaran pertama dijadwalkan pada Rabu 8 Juli, dan putaran kedua pada Selasa, 8 September 2009.
Jadwal tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa poin, di antaranya pemutakhiran data pemilih, pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, verifikasi, kampanye, dan pengadaan logistik. Selain jadwal, ketentuan lain yang memiliki pengaruh signifikan terhadap proses pemilu presiden 2009 adalah Pasal 9 UU Pilpres, bahwa syarat pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah dengan perolehan 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional.
Perlu diingat bahwa Pilpres 2009 merupakan pertarungan terakhir bagi kandidat tersebut di atas. Maka jangan heran, jika mereka ”mati-matian”merebut suara rakyat demi tercapainya cita-cita menjadi RI 1 dan RI 2. Buku Who Wants To Be The Next President, karya J Kristiadi dkk ini, merupakan panduan bagi calon pemilih kritis. Buku ini memaparkan perjalanan sejarah pemilu bangsa Indonesia sejak 1955 hingga sekarang. Buku ini menyajikan sekian teori politik yang dapat dijadikan bahan bacaan dan sebagai pembanding atas realitas politik di negeri ini.
Buku ini dikemas dengan bahasa populer yang mudah dipahami. Membaca buku ini seperti membaca sejarah panjang sistem pemerintahan di Indonesia.Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan data mengenai kabinet dan kebijakan pemerintah sejak era perjuangan kemerdekaan (Kabinet Presidensial) hingga era Reformasi (Kabinet Indonesia Bersatu). Lebih dari itu, buku ini juga dikemas secara sederhana dan pada akhir pembahasan ada joke yang cukup untuk mengendurkan urat saraf setelah membaca karya setebal 120 halaman ini.
Namun sayangnya, di bab lima buku ini,sebagai bagian yang membahas Who Want To Be The Next President? tidak ditulis secara memadai. Tulisan mengenai Who Want To Be The Next President? hanya didasarkan pada data dan kajian yang dilakukan Niniek L Karim dan Bagus Takwim pada tahun 2004, yang telah dipublikasikan media massa terbitan Ibu Kota dan telah diterbitkan dalam sebuah buku.Calon yang dianalisis (aspek yang menonjol, kelebihan, dan kelemahan) pun hanya mukamuka lama, seperti Megawati Soekarno Putri,Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Muhammad Jusuf Kalla, yang telah jamak diketahui masyarakat umum.
Belum dibahas—mungkin karena kekurangan data—calon seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X, Prabowo Subijanto,dan Sutiyoso. Dalam pembahasan kans terpilih pun, hanya didasarkan pada data dan analisis beberapa lembaga survei, yang juga telah dipublikasikan di berbagai media massa cetak maupun elektronik. Lebih dari itu,data survei tersebut diterima mentah dan tidak diolah sehingga masyarakat menjadi paham dan mengerti mengapa angka-angka tersebut dapat muncul.
Kurang mendalamnya pembahasan mengenai hal yang terpenting ini, menjadikan buku ini seperti kejar tayang. Buku ini sepertinya dipaksakan untuk segera terbit dan mengejar waktu yang semakin sempit. Meski demikian, sebagaimana telah diutarakan di muka, sebagai sebuah buku,karya ini patut dibaca siapa pun yang ingin menjadi pemilih kritis, pemilih yang memilih berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya, bukan dari hasil bujuk rayu atau ikut-ikutan. (*)
Benni Setiawan,
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta