Search

Kamis, 30 April 2009

Kedok Bopeng Sekolah Gratis




WACANA, Suara Merdeka, Kamis, 30 April 2009

SETELAH mencanangkan sekolah sehari penuh, sekolah kebangsaan, kini pendidikan Indonesia kembali dihebohkan dengan program sekolah berstandar internasional (SBI). SBI dalam proses pendidikannya dilaksanakan dengan pengantar bahasa Inggris. Kurikulumnya pun berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB).

SBI pada dasarnya jamak kita ketahui di beberapa perguruan tinggi yang membuka kelas internasional. Kelas ini diperuntukkan bagi mereka yang menginginkan kuliah di dua tempat dan mendapat dua gelar kesarjanaan. Demikian pula dengan sekolah internasional, beberapa penyelenggara mengagendakan sebuah terobosan baru agar peserta didik dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah luar negeri dan dapat bersaing di kancah global.

Di sisi lain pemerintah kini merencanakan sekolah gratis bagi satuan pendidikan SD maupun SMP baik berstatus negeri maupun swasta. Namun, sebagaimana diiklankan di sejumlah media massa, SD dan SMP sekolah rintisan berstandar internasional (SRBI) maupun SBI tidak gratis. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana nasib sekolah gratis di tengah kegencaran rencana pemerintah menginternasionalkan sekolah-sekolah di Indonesia?

SBI muncul berdasarkan, Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 Ayat (3) yang berbunyi, ”Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”

SBI menurut Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo adalah sekolah-sekolah yang sudah memenuhi standar nasional yang berdimensi ke tingkat internasional.

Menurut data setidak-tidaknya sudah ada sebanyak 100 sekolah tingkat satuan pendidikan SD, SMP sebanyak 260 sekolah, SMA 200 sekolah dan SMK 200 sekolah yang berstandar internasional. Konon jumlah ini masih jauh dari harapan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Akal-akalan
Menurut Satria Dharma, Direktur The Centre for the Betterment of Education (CBE), program prestisius ini didanai oleh pemerintah pusat 50 persen, pemerintah provinsi 30 persen, dan pemerintah kabupaten/kota 20 persen. Padahal, untuk setiap sekolah pemerintah pusat mengeluarkan Rp 300 juta setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.

Jumlah peserta didik akan dibatasi antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia.

Dengan sebutan SBI, sekolah ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai kemampuan pas-pasan. Lebih dari itu, SBI hanya dapat diikuti oleh orang-orang yang mempunyai uang banyak. Program ini, hanyalah akal-akalan pemerintah di tengah ketidakberdayaan menyelenggarakan pendidikan yang memerdekaan dan mengangkat manusia muda ke taraf insani.

Program ini akan semakin mengerdilkan sistem pendidikan nasional. Program ini pun akan semakin membuat jurang pemisah antara sekolah orang-orang miskin dan orang-orang kaya. Orang-orang miskin dengan daya kemampuan sedang hanya bisa sekolah di sekolah produk lokal. Adapun anak orang-orang kaya dapat sekolah di kelas internasional.

Sekolah gratis yang diancang oleh pemerintahpun tidak akan ada artinya. Ia akan mati. Hal ini karena, pemerintah terus mendorong sekolah-sekolah menjadi SRBI dan SBI hingga mencapai 75 persen dalam setiap provinsi. Sisa 25 persen sekolah non-SRBI dan SBI hanyalah ”sekolah buangan”, tempat orang miskin tanpa fasilitas dan penunjang belajar yang memadai.

Dengan demikian, sekolah gratis yang diiklankan secara besar-besaran hanya sebagai ”kedok” keberpihakan pemerintah terhadap wong cilik. Kedok ini sangatlah bopeng. Sekolah gratis di tengah SRBI dan SBI merupakan bentuk kepura-puraan pemerintah. Hal ini semakin membuktikan pemerintah saat ini tidak mampu menyediakan, mendidik, dan menjadikan anak bangsa mandiri dengan pendidikan.
Kritik Mubyarto
Pendidikan model SRBI dan SBI hanya akan semakin menjauhkan anak bangsa dari realitas budaya Nusantara. Sekolah model ini telah dikritik Prof Mubyarto enam tahu lalu. Sembari mengutip Simon Markus, Prof Mubyarto, mengkritik kebijakan ini. Adalah pandangan yang keliru jika para penyelenggara sekolah menganggap sekolahnya sekadar sebagai ”persiapan” atau sebagai ”batu loncatan” melanjutkan sekolah ke Singapura atau Australia.

Inilah pandangan yang rupanya terpengaruh secara negatif oleh paham globalisasi yang sangat kuat yang menganggap ”daya saing” internasional, yang disamaartikan dengan ”standar internasional” sebagai ”tujuan” utama pendidikan sehingga upaya-upaya kita termasuk dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang khas Indonesia dianggap tidak diperlukan lagi, karena sekolah kita perlu memenuhi atau harus ”berstandar internasional”.

Renungan almarhum Prof Mubyarto ini sudah saatnya juga direnungkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan. Pemerintah sudah saatnya bangga dengan kurikulum khas nasional Indonesia. Hal ini akibat banyak tokoh Indonesia yang mumpuni seperti Ki Hajar Dewantara, Driyarkara dan YB Mangunwijaya yang telah meletakkan dasar pendidikan dengan cukup baik bahkan banyak diadobsi oleh negara asing. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mau atau tidak menggali khasanah pemikiran asli Indonesia ini.

Kekhasan pendidikan Indonesia akan semakin mengokohkan semangat nasionalisme yang akhir-akhir ini mulai tergerus. Peserta didik sudah saatnya diajarkan untuk mengenal budayanya sendiri. Mengenal budaya sendiri berarti paham identitas diri sebagai manusia Indonesia. Ketika manusia Indonesia sudah tidak lagi mengetahui kesejarahan dalam hidupnya, maka ia akan terasing di negeri sendiri.

Pada akhirnya, ketika pemerintah terus mendorong SRBI dan SBI bermunculan, maka program sekolah gratis tidak ada gunanya. Program ini hanya akan membuang energi dan biasa di tengah krisis finansial global. Maka, segera hentikan SRBI dan SBI, mari menuju pendidikan berkualitas dengan sekolah yang terjangkau oleh rakyat. Wallauhu a'lam. (35)

–– Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar