Search

Jumat, 02 April 2010

Kuliah Kerja Nyata Tematis

Media Indonesia, Kolom Pendidikan, Senin, 29 Maret 2010 00:00 WIB

Slogan 'Bali ndeso mbangun ndeso' pernah dipopulerkan oleh pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo-Rustriningsih. Sebuah gagasan genuine dalam membangun Jawa Tengah ke depan. Bali ndeso berarti pulang ke desa dengan maksud mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat desa. Mbangun ndeso berarti membangun tatanan masyarakat dengan penuh keikhlasan demi kemakmuran bangsa dan negara. Pendek kata, cita-cita ideal ini menghendaki terciptanya desa sejahtera yang berarti kemakmuran negara. Artikel ini akan mencoba mengkritisi program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal yang menggandeng dua universitas besar yaitu Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam penyelenggaraan kuliah kerja nyata (KKN) tematis pada tahun 2010.

KKN tematis bersama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini bertujuan untuk merangsang mahasiswa terdorong kembali ke daerahnya masing-masing setelah lulus. Sampai saat ini, masih ada sekitar 123 kabupaten (62%) di kawasan Indonesia timur, 58 kabupaten (29%) di Sumatra, 18 Kabupaten (9%) di Jawa, dan 18 kabupaten (9%) di Bali yang tergolong daerah tertinggal.

Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faisal Zaini menilai keterlibatan mahasiswa dalam pembangunan daerah tertinggal penting karena mahasiswa adalah agen perubahan yang diharapkan dapat menggerakkan masyarakat di daerah berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi (Media Indonesia, 15 Januari 2010). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menjadikan mahasiswa siap terjun ke daerah untuk membangun masyarakatnya?

Sejak dini

Kesiapan mahasiswa untuk terjun ke daerah harus dimulai sejak masuk di bangku kuliah (semester pertama). Mahasiswa harus mempunyai cakrawala atau pandangan yang luas bahwa kuliah bukan hanya sekadar mengisi waktu kosong, daripada menjadi penganggur, untuk mencari gelar, dihormati masyarakat, lulus jadi pegawai negeri sipil (PNS), dan seterusnya. Dalam setiap diri mahasiswa harus ditanamkan semangat kepemudaan yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Karena itu penting untuk ditawarkan skema leadership training program yang berorientasi membangun kembali desa asal mereka, terutama ketika masa orientasi mahasiswa di awal perkuliahan.

Jiwa kepemimpinan ini dapat dipupuk dengan menanamkan pada diri setiap mahasiswa bahwa ia adalah manusia terpilih (khoiro al ummah, the chosen people). Maka, tugasnya bukan hanya belajar dan membaca buku, membuat makalah serta dapat mengerjakan ujian semester dengan baik sehingga mendapatkan nilai A. Mahasiswa harus dapat mengisi waktunya untuk bergaul, bertukar informasi dan pengalaman, berorganisasi, dan memperluas jaringan. Dengan demikian mereka akan siap menghadapi kehidupan nyata yang kompleks.

Penting untuk sedini mungkin menghidupkan kesadaran mahasiswa tentang relevansi kehidupan kampus dengan kerasnya kehidupan di luar kampus. Karena kehidupan itu sendiri sering kali tidak sesuai antara teori yang senantiasa digeluti di bangku perguruan tinggi dan kenyataan yang akan mereka terima dan alami. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin mahasiswa dapat memperluas jaringan dan mengasah keterampilannya dengan berorganisasi di tengah semakin rigidnya peraturan dan padatnya sistem kurikulum pada perguruan tinggi?

Buka ruang

Sebagaimana kita ketahui bersama, di seluruh perguruan tinggi kini diterapkan sistem presensi (mengikuti kuliah) minimal 75% secara ketat. Tanpa batas minimal ini, seorang mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti ujian semester. Maka secara otomatis mereka harus mengulang di tahun depan. Ketatnya sistem perkuliahan ini sering kali membuat mahasiswa gamang menatap masa depan. Mahasiswa seakan diformat sedemikian rupa agar segera lulus pada semester delapan, memperoleh nilai memuaskan, bahkan cum laude (dengan pujian), bekerja sesuai dengan bidang yang digeluti (linier), dan seterusnya.

Dengan keadaan seperti ini, sulit bagi mahasiswa untuk berkembang mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki. Mahasiswa terkekang (baca: dikekang) oleh sistem pendidikan yang kaku, sehingga mereka tidak dapat berbuat banyak. Tidak banyak mahasiswa yang berpikiran progresif dan mau melawan arus. Mahasiswa lebih banyak berpikiran pragmatis dalam meniti karier. Maka tidak aneh, ketika lulus pun, mereka akan menjadi penganggur terbuka yang kini jumlahnya mencapai 1.183.140 sarjana.

Guna menunjang suksesnya program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini, perguruan tinggi harus mau membuka ruang gerak mahasiswa untuk berkarya. Ruang terbuka dimaksud adalah, salah satunya, dengan mencoba memasukkan unsur keterampilan sosial (social skills) ke beberapa pokok bahasan mata kuliah secara berkesinambungan. Tanpa adanya ruang terbuka ini sulit bagi pemerintah umumnya dan mahasiswa pada khususnya untuk berkarya di daerah (apalagi daerah tertinggal).

Untuk menjaga konsistensi sekaligus membuktikan bahwa keterampilan sosial tersebut berguna secara nyata, program KKN tematis kembali ke desa juga harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Artinya, waktu satu hingga dua bulan dalam KKN akan sangat bermanfaat jika sisipan program keterampilan sosial mendapatkan relevansinya dalam program KKN tematis terebut. Jika ini yang terjadi berarti setiap komponen di perguruan tinggi dapat bekerja sama dan saling mendukung dalam menyukseskan program kerja ini secara berkesinambungan. Kesinambungan merupakan kata kunci suksesnya rencana program ini.

Misalnya, angkatan pertama, yang menurut data kementerian mencapai 6.000 mahasiswa dari UGM Yogyakarta, melakukan pendataan kebutuhan dan meletakkan fondasi kegiatan. Mahasiswa angkatan kedua dan seterusnya berkewajiban melanjutkan program tersebut, hingga target-target yang telah ditetapkan tercapai. Dengan demikian KKN bukan hanya sebagai ajang pindah tidur, hura-hura, liburan, dan sarana mencari calon jodoh, tapi mempunyai arti bagi masyarakat.

KKN tematis kembali ke desa akan lebih bermanfaat jika menyentuh persoalan riil di masyarakat dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Prinsip kemandirian dapat dilakukan mahasiswa dengan mengajak masyarakat memetakan sendiri kebutuhan mereka berdasarkan potensi daerahnya masing-masing. Semacam community need assessment yang dilanjutkan dengan serangkaian focus group discussion (FGD) adalah di antara teknik-teknik KKN tematis yang harus dikembangkan mahasiswa di tengah masyarakat. Hal ini karena, selain masyarakat sudah sadar bahwa kemajuan daerah tidak akan pernah terwujud tanpa adanya peran serta masyarakat desa itu sendiri, juga akan membantu mereka untuk merumuskan beragam skema solusi alternatif yang selama ini tidak pernah ditemukan jalan keluarnya. Pemetaan potensi masyarakat dan sumber daya alam daerah menjadi kunci utama program ini. Tanpa hal tersebut, KKN tematis hanya akan semakin menambah beban negara.

Selain mengoptimalkan program KKN tematis ini, pemerintah perlu memberikan dukungan kepada putra daerah untuk berkiprah di daerahnya. Salah satunya dengan memberikan modal dan pelatihan sebagaimana pernah diprogramkan oleh calon Presiden M Jusuf Kalla pada Pemilu 2009 lalu. Pemberian modal melalui bank pemerintah yang sudah mulai dirintis sudah saatnya terus disosialisasikan dan menjadi agenda kerja bersama.

KKN tematis kembali ke desa pada dasarnya merupakan manifestasi dari apa yang telah dikatakan oleh Paulo Freire bahwa seseorang bukanlah intelektual jika hanya mau hidup di kota dan melupakan desanya. Semakin banyak intelektual hidup di kota, berarti sistem pendidikan di Tanah Air gagal menciptakan iklim atau tradisi pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan. Pendidikan seperti ini hanya akan semakin melanggengkan sistem feodal. Kaum intelektual hanya akan menjadi menara gading yang jauh bersentuhan dengan realitas sosial.

Pada akhirnya, program KKN tematis yang digawangi oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini perlu didukung sebagai upaya mengembalikan intelektual ke desa. Kaum intelektual harus kembali ke desa membangun tatanan masyarakat yang berkepribadian dan berkemandirian. Tanpa sentuhan kaum intelektual di desa, akan semakin banyak pemuda desa menjadi penganggur, masyarakat desa terampas hak-haknya oleh penguasa daerah, dan bangsa ini akan kehilangan kesempatan untuk bersaing dengan bangsa lain. Semoga rencana Kementerian PDT ini merupakan ijtihad dalam mengurangi pengangguran dan menjadikan bangsa Indonesia semakin bermartabat.

Oleh Benni Setiawan Pengamat Pendidikan, tinggal di Sukoharjo

2 komentar:

mohammad maulana mengatakan...

numpang boss...

Unknown mengatakan...

analisisnya dalam, memang hari ini KKN jauh dari kata ideal, ya seperti saudara ungkap tadi, (hanya gitu - gitu saja), sangat besar pengaruh dari sistem yang ada di perguruan tinggi hari ini...
menjadikan mahasiswa lebih fokus untuk bisa berkumis, berbusana, berambut dll. tidak malah mengembangkan mahasiswa untuk mampu berinovasi dan berkreatifitas.
salam lestari...

http://pandangankafy.blogspot.com

Posting Komentar