Forum, Kompas Jateng,Kamis, 10 Juni 2010 | 13:44 WIB
Sungguh ironis, di tengah perayaan Ke-102 Hari Kebangkitan Nasional, bangsa Indonesia khususnya Jawa Tengah masih berkutat menyelesaikan persoalan gizi buruk. Indikator Kompas edisi Jateng, tepat 20 Mei yang diperingati sebagai hari kebangkitan nasional, menunjukkan, kasus gizi buruk pada 2006-2009 rata-rata mencapai sekitar 2.000 penderita setiap tahun. Angka tersebut bila diakumulasikan dengan kasus yang belum tertangani tahun sebelumnya yang rata-rata sebanyak 2.200 kasus, total gizi buruk di Jateng dalam setahun, lebih dari 4.000 kasus.
Sayangnya, belum semua kasus itu tertangani hingga tuntas karena yang berhasil disembuhkan rata-rata baru sekitar 1.600 penderita per tahun. Sisanya, sekitar 40 kasus berakhir dengan kematian dan lebih dari 2.500 kasus lainnya menjadi beban penanganan tahun berikutnya.
Tingginya angka penderita gizi buruk ini tentunya berkait erat dengan permasalahan kemiskinan. Menurut data Bank Dunia, dengan kriteria penghasilan 2 dollar per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 124 juta orang atau separuh lebih (56,4 persen) dari jumlah penduduk Indonesia (220 juta jiwa).
Kemiskinan menjadikan seseorang tidak mempunyai daya beli. Artinya, mereka akan kesulitan memberikan makanan sehat dan bergizi pada anak- anaknya. Mereka hanya mampu membeli bahan makan pokok saja, itu pun tidak setiap hari. Mereka sering kali menahan lapar akibat tidak tersedianya bahan makanan di dapurnya.
Akibat kemiskinan, menurut Unicef, sebanyak 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 55 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sumber air yang aman. Menurut sumber tersebut, keadaan yang demikian ini menyebabkan setiap tahun 100.000 anak berusia di bawah 3 tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Ditambahkan, setiap hari ada sekitar 5.000 anak di bawah umur 5 tahun yang meninggal karena diare itu (Kompas, 28 Maret 2008).
Kemiskinan telah merenggut banyak korban jiwa. Kemiskinan juga telah merampas hak hidup manusia. Ia kehilangan kesempatan untuk hidup, mendapat penghidupan yang layak dengan cukup pangan dan gizi, serta kehilangan daya nalar intelektual akibat tidak tercukupinya nutrisi dalam tubuh.
Maka, sudah saatnya gizi buruk sebagai imbas dari kemiskinan diselesaikan secara bijak dan cermat. Beberapa hal yang sekiranya perlu diagendakan adalah, pertama, membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan. Ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup banyak akan mengurangi tingkat pengangguran. Dengan bekerja, mereka mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan setiap hari termasuk memberi makanan yang bergizi bagi anak-anaknya.
Banyaknya lapangan pekerjaan juga akan mampu mengurangi tingkat kriminalitas. Kriminalitas akibat kemiskinan akan lebih berbahaya dari pada faktor lain. Orang yang miskin-lapar akan berbuat apa saja demi mendapatkan sesuap nasi untuk mempertahankan hidup.
Lapangan pekerjaan pun semestinya tidak membedakan atau mensyaratkan lulusan pendidikan tertentu. Hal ini karena biaya pendidikan tidak mungkin dapat dijangkau masyarakat miskin. Oleh karena itu, dalam membuka lapangan pekerjaan hendaknya pemerintah, pengusaha, dan pihak terkait lebih melihat pada kemampuan atau niat mau bekerja keras. Syarat pendidikan hanya akan semakin menambah derita warga miskin.
Ketika harus mensyaratkan pendidikan sebagai modal dalam bekerja, pekerjaan pemerintah selanjutnya adalah memberikan akses pendidikan gratis dan berkualitas bagi rakyat.
Tentunya kita masih ingat janji Gubernur Jateng terpilih saat kampanye tahun lalu. Pemimpin baru di Jateng berjanji akan membuka akses lapangan kerja yang luas. Dengan maraknya kasus gizi buruk, sudah saatnya Gubernur merealisasikan janjinya tersebut.
Kedaulatan pangan
Kedua, membangun kedaulatan pangan. Artinya, pangan harus tersedia dengan cukup dan murah bagi rakyat kecil. Ketika pangan murah dan banyak, rakyat tidak akan kelaparan yang berakibat pada gizi buruk. Kedaulatan pangan juga berarti kesejahteraan bagi petani.
Kesejahteraan petani ditandai dengan murahnya harga bibit dan pupuk serta tingginya nilai jual gabah. Dengan kesejahteraan bagi petani, ia akan mandiri dan bangkit dari kemiskinan. Hal ini karena, menurut BPS, sebanyak 57 persen penduduk miskin di Indonesia adalah petani.
Ketiga, mengefektifkan kembali penyuluhan masyarakat melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu). Posyandu sudah saatnya merangkul warga pendatang. Selain itu, melalui penyuluhan yang benar dan teratur, orangtua akan merasa terpanggil untuk memeriksakan anaknya sebulan sekali. Kendala kesadaran orangtua yang enggan membawa anak ke posyandu sebagaimana dilaporkan Kompas edisi Jateng (20 Mei 2010) mungkin disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat akan arti penting posyandu.
Tokoh agama
Keempat, peran serta tokoh agama. Tokoh agama sudah saatnya mengabarkan kepada umatnya bahwa kemiskinan bukanlah kutukan atau kehendak Tuhan. Tuhan tidak menginginkan umatnya miskin dan menderita. Dalam ajaran Islam misalnya, disebutkan bahwa, "Tuhan tidak akan pernah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut mengubahnya sendiri". Oleh karena itu, mendorong umat untuk terus berusaha dan bekerja guna keluar dari jeratan kemiskinan adalah kunci utamanya.
Pada akhirnya, anak-anak Indonesia khususnya di Jateng perlu dibebaskan dari derita gizi buruk akibat kemiskinan orangtuanya. Ketika anak Indonesia masih saja dalam belenggu gizi buruk akibat orangtua mereka miskin dan pemerintah hanya diam seribu bahasa, saat ini kita sedang menyaksikan dan meninggalkan generasi muda penerus bangsa yang lemah (rapuh).
BENNI SETIAWAN Peneliti, Tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar