Search

Kamis, 18 November 2010

Transformasi Teologis ala Mbah Maridjan

Jurnal Nasional, Rabu, 10 Nov 2010

Oleh Benni Setiawan
GUNUNG Merapi dan Mbah Maridjan seperti dua sejoli. Satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Ketika Merapi erupsi, masyarakat akan ingat sosok Mbah Maridjan.
“Apa kabar? Dia sedang apa? Apakah dia tetap bertahan dan enggan mengungsi? Apakah Mbah Maridjan selamat dari erupsi Merapi?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab oleh berita media massa cetak dan elektronik. Selasa Pahing, (26/10), Mbah Maridjan berpulang menghadap Sang Khalik dalam posisi sujud. Walaupun Mbah Maridjan telah berpulang. Namun, laki-laki sepuh yang riang dan santun ini meninggalkan sebuah pelajaran hidup dalam kepemimpinan khusus hal transformasi teologis. Salah satunya tampak ketika menjawab beberapa pertanyaan mengenai keteguhan tetap tinggal di lereng Merapi.
Pelajaran Kepemimpinan
Mbah Maridjan sejak erupsi Merapi tahun 2006--yang menjadikan nama dia tenar dan menjadi selebritis--tetap teguh pendirian tidak mau mengungsi. Ketika ditanya mengapa enggan mengungsi, dia menjawab bahwa tugasnya menjaga Merapi. Sebagaimana tugas yang dimandatkan Sri Sultan Hamangkubuwana IX. Merapi tidak berbahaya, karena gunung teraktif di dunia ini memberi manfaat (numrapi).
Pascaerupsi tanah-tanah di sekitar Merapi menjadi subur. Penambang akan mendapatkan material (pasir dan batu) yang melimpah dari sisa-sisa erupsi. Maka berkah Merapi ini harus disyukuri. Salah satunya bagi Mbah Maridjan adalah tetap tinggal di kediaman. Jika Mbah Maridjan turun gunung dan ikut serta mengungsi, dia akan diguyu cah cilik (diterwakan anak kecil). Dengan lagak lucu, dia mempraktikan, “Mbah Maridjan ngungsi, Mbah Maridjan ngungsi”, sambil tepuk tangan. Menerima amanat harus dijaga dengan taruhan nyawa. Dia tidak mau tinggal gelanggang, colong playu, lari dari tugas dan tanggung jawab.
Apa yang diimani Mbah Maridjan ini memberi pelajaran kepada siapa saja, bahwa pantang bagi seorang pemimpin untuk lari dari tanggung jawab. Dia harus menunaikan amanatnya walaupun harus dibayar dengan kematian.
Manunggaling Kawula Gusti
Lebih dari itu, satu hari sebelum meninggal dunia, dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta Mbah Maridjan menjawab pertanyaan secara filosofis. Mengapa Mbah Maridjan tidak mau ikut mengungsi, apakah tidak takut mati? Mbah Maridjan menjawab jika nyawa masih sayang raga, maka dia tidak akan ditinggal (meninggal dunia).
Apa yang dikatakan Mbah Maridjan ini meminjam istilah Zoetmoelders, merupakan konsep manunggaling kawula Gusti (menyatu hamba dengan Tuhan). Konsepsi ini hanya dimiliki orang-orang yang telah mempunyai kearifan atau kewaskitaan. Tidak sembarang orang dapat mempunyai konsepsi ini. Mbah Maridjan memandang apa yang sedang terjadi di Merapi hal biasa. “Merapi lagi mbangun” (Merapi sedang membangun),” katanya. Maka dia selalu mengantar sesaji setiap tahun untuk Sing Mbaurekso Merapi. Sebagai juru kunci (Abdi Dalem) dia pemimpin upacara itu. Ritual ini untuk menjaga mikrokosmos dan makrokosmos antara Sing Mbaurekso dengan Keraton Yogyakarta.
Sing Mbaurekso adalah Tuhan Penguasa Jagat. Dia sumber keselamatan dan pemberi rizki. Maka warga masyarakat harus selalu memberikan sesaji (persembahan) kepada Tuhan sebagai perantara agar diselamatkan dan diberi rizki yang melimpah dari-Nya.
Sedangkan Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan rakyat atau hamba yang harus selalu patuh dan taat kepada Tuhan. Tanpa ketaatan dan kepatuhan, Tuhan akan murka dan mendatangkan musibah. Mbah Maridjan melakukan ritual ini dengan penuh kepercayaan bahwa dia Abdi Dalem yang sekaligus penganut agama Islam. Dia harus menggelar ritual sesuai adat istiadat dan tidak lupa merapalkan doa-doa. Sebagaimana kaum santri, meminjam istilah Clifford Geetz sebagai perwujudkan kaum muslim.
Transformasi Teologis
Pola ini sealur benang merah dengan pola transformasi teologis “Islam-Jawa” Wali Sanga. Misal, tetap memelihara pelbagai bentuk selamatan tetapi "rohnya" sudah diganti dengan ajaran tauhid. Dengan pola transformasinya--hasil ijtihadnya--itu, Mbah Maridjan berusaha memelihara agar umat tak terperosok ke dalam syirik. Tradisi Jawa tetap terpelihara, tatanan keraton tetap dihormati dan dilestarikan, tetapi tak terjadi gejolak sosial (Kompas, 29 Oktober 2010).
Mbah Maridjan telah pergi. Namun spirit nguri-nguri kebudayaan khusus Jawa dan sikap keislaman patut kita apresiasi. Dia telah mampu melakukan transformasi teologis "Jawa-Islam" tanpa harus mengurangi keagungan antarkeduanya.
Mbah Maridjan merupakan sedikit di antara pemimpin bangsa saat ini yang mampu memberi teladan baik. Dia pantang meninggalkan gelanggang yang merupakan tanggung jawabnya. Dia meyakini, Merapi bukan hantu yang menakutkan, melainkan sebuah gunung tempat bersemayam Sing Mbaurekso dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar. Inilah yang disebut Ahmad Syafii Ma‘arif, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagai satu kata dengan perbuatan. Selamat jalan Mbah Maridjan. Doa kami senantiasa menyertai kepergianmu menghadap Sang Maha Pencipta. Wallahu a‘lam.

Peneliti, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar