Wawasan, Sabtu, 30 October 2010
PENYAKIT bangsa ini sungguh kronis. Salah satu penyakit itu adalah degradasi moral mulai dari pucuk pimpinan hingga masyarakat bawah. Lihatlah betapa praktik korupsi di Indonesia sudah menjadi gurita. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat penting di berbagai departemen, namun juga pekerja kelas ”coro”. Sebagaimana terjadi di Kementerian Keuangan yang menyeret nama Gayus Tambunan.
Korupsi juga telah menyebar hingga ke pelosok daerah. Pimpinan daerah (bupati/wali kota) banyak terseret dalam pusaran korupsi sistemik. Namun, di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, beberapa koruptor dibebaskan saat peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-65. Belum lagi ulah beberapa anggota dewan yang plesir (melancong) ke luar negeri dengan dalih kunjungan kerja.
Persoalan kebangsaan ini sudah saatnya diselesaikan secara arif dan bijaksana. Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana menyelesaikan persoalan dan penyakit bangsa Indonesia ini? Salah satunya adalah dengan mengajarkan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Menurut pendapat ini, tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.
Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter menurut Foerster. Pertama, keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Itu dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh atau desakan dari pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Karakter itulah yang menentukan bentuk seorang pribadi dalam segala tindakannya (Doni A. Koesoema: 2010).
Maka dari itu, menurut Driyarkara, pada diri manusia yang harus dididik adalah bakatbakat tabiat baik, misalnya cinta pada sesama manusia, rendah hati, cintah Tanah Air, dan lain-lain. Manusia tidak mesti ditentukan oleh tabiattabiatnya.
Dialah yang harus membangun budi pekertinya sendiri. Sebelumnya, hal ini terutama dilakukan oleh manusia itu sendiri. Sang pendidik hanya memberi petunjuk dan pimpinan, dan ini hanya sementara saja sehingga manusia muda itu cukup terbentuk untuk berdiri dan berjalan sendiri. Untuk menggunakan tabiat baik itu, manusia harus mempergunakan budinya. Budi harus disadarkan dengan diisi oleh nilai-nilai ini.
Nilai-nilai ini tidak cukup hanya diisikan dengan cara yang abstrak. Dibutuhkan latihan yang praktis, lagi lama. Dengan jalan ini, maka hidup menjadi westengestaltung, atau penjelmaan nilai-nilai (A. Sudiarja SJ, dkk (peny) Karya Lengkap Driyarkara: 2006). Nilai-nilai praktis ini dapat dibangun melalui lingkungan terkecil dalam diri setiap manusia, yaitu rumah tangga dan keluarga.
Lingkungan inilah yang mempunyai peran penting dalam mendidik manusia muda menjadi mandiri. Orangtua dapat mengajarkan halhal kecil melalui sikap, tutur kata yang lembut dan baik, dan berinteraksi sosial. Di sinilah masa penting pembentukan karakter. Yaitu umur 0-8 tahun (golden age).
Sekolah Dasar
Maka tidak aneh jika Romo Mangunwijaya menekankan arti penting tingkat dasar (Sekolah Dasar). Dari sinilah cikal bakar terbentuknya karakter manusia disemai. Sebagaimana cerita Lintang dalam Laskar Pelangi, yang terus bersemangat menatap masa depan bermula dari sekolah SD Muhammadiyah Gantong.
Namun sampai saat ini kita masih menyaksikan pendidikan di tingkat SD sungguh menyedihkan. Banyak bangunan sekolah reot dan hampir roboh. Satu guru memenang hampir seluruh mata pelajaran dengan gaji rendah, kurikulum yang tidak tertata rapi, dan minimnya perhatian pemerintah.
Maka dari itu, pembenahan sistem pendidikan harus dimulai dari tingkat dasar. Guruguru SD harus lebih banyak mendapat porsi beasiswa dalam menempuh program strata satu (S1) dan S2. Ketika SD di Indonesia dipenuhi oleh guru-guru yang mumpuni dalam bidangnya, maka persoalan bangsa ini sedikit demi sedikit akan terurai.
Pendidikan tingkat SD merupakan benteng bagi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi cerdas dan berkarakter. Jika pemerintah tidak segera membenahi pendidikan di tingkat SD dan cenderung mengabaikannya, maka akan sulit bagi bangsa ini bangkit dari keterpurukan.
Pada akhirnya, mewujudkan pendidikan karakter yang akan membekas lama adalah di SD. Membenahi sistem pendidikan tingkat dasar merupakan investasi bagi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi penerus berkarakter. f Benni Setiawan Peneliti, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia dan Agenda Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar