Gagasan, Solo Pos, Senin, 27 Desember 2010 , Hal.4
Catatan akhir tahun keberagamaan Indonesia tahun 2010 dinilai kelam oleh beberapa lembaga. Moderate Muslim Society menilai tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia.
Sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Yaitu pengusiran dua kasus, pembubaran kegiatan atas nama agama tiga kasus, diskriminasi karena keyakinan empat kasus, penyerangan dan perusakan 24 kasus, ancaman, tuntutan dan intimidasi 15 kasus, kriminalisasi paham keagamaan tiga kasus, penutupan dan penolakan rumah ibadah 24 kasus dan penghalangan kegiatan beribadah enam kasus.
Pantauan The Wahid Institute sepanjang tahun 2010 menemukan 63 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Ironisnya, pelaku pelanggaran kebebasan beragama paling banyak justru pemerintah daerah dan kepolisian (72 persen). Bentuk pelanggaran yang dilakukan meliputi pembatasan dan pemaksaan untuk meninggalkan keyakinan tertentu (25 kasus atau 40 persen), pencabutan izin atau pelanggaran menggunakan rumah ibadah (19 kasus atau 30 persen), serta pembiaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat terhadap umat beragama (14 kasus atau 22 persen).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana membangun harmoni kerukunan umat beragama agar tindak intoleransi dapat ditekan pada tahun mendatang?
Persaingan
Setiap terjadi konflik antarumat beragama, kita mengalami kesulitan untuk menemukan akar pokok penyebabnya. Bahkan penyebab utamanya seringkali berakar bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut nonteologis, terutama pada persaingan politik dan ekonomi dari para elite pemimpinnya.
Dengan demikian, pemicu utama dari setiap konflik antaragama bukan karena perbedaan doktrin ajaran, tetapi lebih pada perebutan pengaruh politik dan ekonomi dari masing-masing pemeluknya. Celakanya, seperti dipaparkan oleh Lester Kurtz dalam Gods in the Global Village (1995), religious conflict can be extraordinarily bitter, and is aften destructive because the parties to the dispute view themselves as respresentative of supraindividual claims, of flighting not for themselves but only for a cause which can give the conflict a radicalism and mercilessness.
Lebih lanjut, Kurtz menjelaskan watak dari konflik antaragama cenderung mengabaikan kualitas kesalehan individu yang dimusuhi dan bahkan yang sering terjadi adalah baik yang memerangi maupun yang diperangi sama-sama rendah kualitas keberagamaannya.
Di sini yang menjadi garis pembeda hanyalah sebuah sikap prejudice dan sebuah kategori yang sangat artifisial dan menyesatkan, yaitu setiap orang yang dianggap “bukan kelompok kita” harus dimusnahkan. Karena konflik agama sifatnya sangat emosional dan destruktif maka emosi massa yang terlibat akan sangat mudah dikobarkan dengan cara dihasut.
Bagi pihak yang merasa dirugikan sulit untuk berdamai sebelum melakukan pembalasan setimpal, sedangkan pihak yang merasa unggul akan semakin agresif agar lawan benar-benar lumpuh, sehingga peluang pembalasan semakin menyempit.
Semangat untuk saling memusnahkan akan bertambah ketika faktor keyakinan eskatologis ikut andil, yaitu anggapan siapa yang berhasil membunuh lawan berarti pintu surga sudah menunggu. Demikian absurd dan kompleksnya pertikaian antaragama sehingga setiap konflik antaragama cenderung merusak prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia (Komaruddin Hidayat: 2006).
Konflik antaragama yang dibumbui oleh motif ekonomi dan politik hanya akan semakin memperkeruh situasi kebangsaan. Situasi kebangsaan Indonesia sudah saatnya dibangun dengan suasana tenang dan damai. Jika kedamaian dicederai dengan berbagai urusan politik (kekuasaan) dan ekonomi maka persoalan keagamaan hanya dijadikan kedok kebrutalan pihak-pihak yang tidak bertangung jawab.
Piagam Madinah
Namun demikian, intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala dan sekaligus ujian umat beragama. Apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Kelompok minoritas belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat masih menganggap kelompok minoritas sebagai ancaman bagi kehidupan umat beragama.
Padahal kelompok minoritas wajib dilindungi sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Dalam konsepsi Islam (Piagam Madinah) misalnya, Nabi Muhammad melarang umat Islam memusuhi dan memerangi kaum kafir dhimi (kelompok minoritas Madinah kala itu). Jika mereka dimusuhi maka ia akan berhadapan langsung dengan Nabi Muhammad.
Menilik semangat Piagam Madinah dalam membangun masyarakat madani ini maka tidak ada pembedaaan antara minoritas dan mayoritas. Semua umat beragama mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Semua umat beragama sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah kualitas keimanan dan pengabdian kepada Tuhannya.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan wajib memberikan kemudahan bagi umat beragama beribadat secara tenang tanpa tekanan. Salah satunya dengan mempermudah pendirian rumah ibadah tanpa syarat yang neka-neka dan njlimet, serta menjamin kebebasan guna melaksanakan agama sebagaimana amanat UUD 1945.
Peristiwa intoleransi tidak boleh terulang di kemudian hari. Sudah saatnya semua pihak sadar bahwa kerukunan umat beragama merupakan modal sosial bangsa Indonesia. Jika hal ini tercederai oleh kelompok-kelompok yang mengaku beragama, maka perlu dipertanyakan komitmen mereka terhadap agama yang mereka yakini.
Dan jika pemerintah membiarkan hal ini tetap terjadi maka kondisi kebangsaan Indonesia akan runtuh karena sikap pemerintah yang tidak tegas dan membiarkan masyarakatnya “berperang” atas nama agama.
- Oleh : Benni Setiawan Peneliti Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Jumat, 31 Desember 2010
Teologi Antikemiskinan
Opini, Jurnal Nasional, 15 Desember 2010
HIDUP miskin tentu bukan pilihan. Namun, sampai saat ini bangsa Indonesia masih bertarung melawan kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia menurut Bank Dunia dengan kriteria penghasilan US$2 per hari mencapai lebih dari 124 juta orang atau 56 persen dari total penduduk Indonesia 230 juta. Akibat kemiskinan ini, menurut UNICEF, 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses sanitasi dasar dan 55 juta orang, tidak memiliki akses sumber air aman. Menurut sumber itu, keadaan ini menyebabkan setiap tahun 100 ribu anak berusia di bawah tiga tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Juga setiap hari ada sekitar 5.000 anak di bawah umur lima tahun meninggal karena diare itu. Pertanyaan kemudian, bagaimana agama sebagai way of life (sistem hidup) dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan?
Beberapa Pendekatan
Dalam kacamata (pendekatan) konservatif kemiskinan sebagai gejala nasib. Menurut pendekatan budaya menyatakan, kemiskinan sebagai warisan dan mentalitas seseorang. Namun, dua pendekatan ini ditolak pendekatan struktural. Pendekatan struktural menyatakan, kemiskinan sebagai produk struktur yang timpang (tidak adil), yang diciptakan oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Haedar Nashir, dalam perspektif agama Islam, kemiskinan kondisi keduafaan, yakni dha'if atau lemah secara ekonomi dan mustadhaf atau tertindas secara politik. Hingga kemiskinan termasuk keadaan lemah secara sosial-ekonomi dan politik sekaligus. Gejala dhaif (lemah, jamak: duafa) selalu terkait mustadh'af (tertindas), yang terkait proses istidh'af (proses yang menciptakan keduafaan) dan kekuatan mustadhif (pelaku yang memperlemah atau menindas orang lain).
Melihat realitas ini, saat peran agama dalam membebaskan warga dari belenggu kemiskinan. Agama sebagai sebuah sistem nilai tentu mempunyai kewenangan menyelesaikan persoalan ini. Ini karena agama tidak hanya berhubungan ibadah ritual, melainkan ibadah atau hubungan antarsesama manusia dan lingkungan (hablu mina Allah wa hablu minan nas).
Islam, misal, mengajarkan kepada umat manusia peduli kepada kaum miskin. Ancaman bagi orang yang tidak peduli dengan kaum miskin termasuk orang yang mendustakan agama.
Hal ini tampak jelas dalam Al Quran Surat Al Maun (107) 1-3 yang artinya "Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Bagaimana mengimplementasikan ayat itu? Islam mengajarkan kepada umat membayar zakat. Yaitu zakat fitrah (jiwa) dan zakat mal (harta benda). Pembayaran dan penggelolaan zakat dengan sistem konvensional sudah saatnya diakhiri. Artinya, pengumpulan dan pembagian zakat yang kurang dirasakan manfaat oleh kaum miskin dapat ubah.
Menurut Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam menyatakan, zakat yang nilai ibadahnya diberikan kepada orang lain yang tidak mampu yang seagama masih bersifat subyektif. Maka, makna zakat harus diobyektifkan agar bisa diterima siapa saja. Makna zakat berdimensi sosial. Zakat bisa digunakan menekan angka kemiskinan yang tidak memandang agama.
Komitmen Sosial
Ketika agama telah menjadi sebuah sistem dan mampu menjawab tantangan zaman tentu agama tidak akan terpinggirkan. Artinya, tesis Ernest Gellner (1994) menyatakan, agama akan terpinggirkan dalam masyarakat industrialisasi dan globalisasi, tidak akan terbukti. Kuntowijoyo (1999), menyebutkan, misi Islam paling besar adalah pembebasan. Ini berarti, Islam harus membebaskan manusia dari aliran kungkungan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absurditas. Namun, karena dunia modern menciptakan sistem-sistem yang membelenggu manusia, baik itu sistem produksi teknologi modern, sosial ekonomi maupun sistem-sistem lain yang menyebabkan manusia tidak dapat mengaktualisasikan diri seperti manusia merdeka dan mulia.
Maka, Islam harus merevolusi diri, merombak semua itu. Yakni, dengan revolusi pembebasan. Dengan misi teologi seperti ini, Islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat mengisi kehampaan spiritual produk dunia modern industrial. Sungguh sudah saatnya, Islam kembali menyelamatkan manusia dari belenggu dunia modern. Untuk mengembalikan nilai-nilai Islam yang revolusioner di dalam teologi Islam sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Asghar Ali Engineer (1999) merekomendasikan, untuk mengembalikan seperti semula komitmen Islam terhadap terciptanya keadilan sosial ekonomi dan golongan masalah lemah.
Sudah saatnya agama bangkit dan mengubah dalam sistem sosial. Artinya, proses keberagamaan yang selama ini berkutat pada persoalan furuiyah sudah saatnya diubah. Agama harus bisa menjawab berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat, seperti kemiskinan. Kemiskinan, adalah persoalan wajib yang harus diselesaikan semua kalangan termasuk di dalam agama. Pasalnya, agama adalah sistem masyarakat yang melekat dan selalu hidup di tengah perkembangan zaman. Ketika agama tidak lagi menyentuh persoalan-persoalan ini, maka, ia akan banyak ditinggalkan oleh umat. Pada akhirnya, ketika komitmen sosial agama telah menjadi spirit dan ruh dalam masyarakat, kemiskinan akan hilang dari bumi Nusantara.
Benni Setiawan, Peneliti dan Pemerhati Masalah Sosial
HIDUP miskin tentu bukan pilihan. Namun, sampai saat ini bangsa Indonesia masih bertarung melawan kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia menurut Bank Dunia dengan kriteria penghasilan US$2 per hari mencapai lebih dari 124 juta orang atau 56 persen dari total penduduk Indonesia 230 juta. Akibat kemiskinan ini, menurut UNICEF, 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses sanitasi dasar dan 55 juta orang, tidak memiliki akses sumber air aman. Menurut sumber itu, keadaan ini menyebabkan setiap tahun 100 ribu anak berusia di bawah tiga tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Juga setiap hari ada sekitar 5.000 anak di bawah umur lima tahun meninggal karena diare itu. Pertanyaan kemudian, bagaimana agama sebagai way of life (sistem hidup) dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan?
Beberapa Pendekatan
Dalam kacamata (pendekatan) konservatif kemiskinan sebagai gejala nasib. Menurut pendekatan budaya menyatakan, kemiskinan sebagai warisan dan mentalitas seseorang. Namun, dua pendekatan ini ditolak pendekatan struktural. Pendekatan struktural menyatakan, kemiskinan sebagai produk struktur yang timpang (tidak adil), yang diciptakan oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Haedar Nashir, dalam perspektif agama Islam, kemiskinan kondisi keduafaan, yakni dha'if atau lemah secara ekonomi dan mustadhaf atau tertindas secara politik. Hingga kemiskinan termasuk keadaan lemah secara sosial-ekonomi dan politik sekaligus. Gejala dhaif (lemah, jamak: duafa) selalu terkait mustadh'af (tertindas), yang terkait proses istidh'af (proses yang menciptakan keduafaan) dan kekuatan mustadhif (pelaku yang memperlemah atau menindas orang lain).
Melihat realitas ini, saat peran agama dalam membebaskan warga dari belenggu kemiskinan. Agama sebagai sebuah sistem nilai tentu mempunyai kewenangan menyelesaikan persoalan ini. Ini karena agama tidak hanya berhubungan ibadah ritual, melainkan ibadah atau hubungan antarsesama manusia dan lingkungan (hablu mina Allah wa hablu minan nas).
Islam, misal, mengajarkan kepada umat manusia peduli kepada kaum miskin. Ancaman bagi orang yang tidak peduli dengan kaum miskin termasuk orang yang mendustakan agama.
Hal ini tampak jelas dalam Al Quran Surat Al Maun (107) 1-3 yang artinya "Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Bagaimana mengimplementasikan ayat itu? Islam mengajarkan kepada umat membayar zakat. Yaitu zakat fitrah (jiwa) dan zakat mal (harta benda). Pembayaran dan penggelolaan zakat dengan sistem konvensional sudah saatnya diakhiri. Artinya, pengumpulan dan pembagian zakat yang kurang dirasakan manfaat oleh kaum miskin dapat ubah.
Menurut Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam menyatakan, zakat yang nilai ibadahnya diberikan kepada orang lain yang tidak mampu yang seagama masih bersifat subyektif. Maka, makna zakat harus diobyektifkan agar bisa diterima siapa saja. Makna zakat berdimensi sosial. Zakat bisa digunakan menekan angka kemiskinan yang tidak memandang agama.
Komitmen Sosial
Ketika agama telah menjadi sebuah sistem dan mampu menjawab tantangan zaman tentu agama tidak akan terpinggirkan. Artinya, tesis Ernest Gellner (1994) menyatakan, agama akan terpinggirkan dalam masyarakat industrialisasi dan globalisasi, tidak akan terbukti. Kuntowijoyo (1999), menyebutkan, misi Islam paling besar adalah pembebasan. Ini berarti, Islam harus membebaskan manusia dari aliran kungkungan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absurditas. Namun, karena dunia modern menciptakan sistem-sistem yang membelenggu manusia, baik itu sistem produksi teknologi modern, sosial ekonomi maupun sistem-sistem lain yang menyebabkan manusia tidak dapat mengaktualisasikan diri seperti manusia merdeka dan mulia.
Maka, Islam harus merevolusi diri, merombak semua itu. Yakni, dengan revolusi pembebasan. Dengan misi teologi seperti ini, Islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat mengisi kehampaan spiritual produk dunia modern industrial. Sungguh sudah saatnya, Islam kembali menyelamatkan manusia dari belenggu dunia modern. Untuk mengembalikan nilai-nilai Islam yang revolusioner di dalam teologi Islam sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Asghar Ali Engineer (1999) merekomendasikan, untuk mengembalikan seperti semula komitmen Islam terhadap terciptanya keadilan sosial ekonomi dan golongan masalah lemah.
Sudah saatnya agama bangkit dan mengubah dalam sistem sosial. Artinya, proses keberagamaan yang selama ini berkutat pada persoalan furuiyah sudah saatnya diubah. Agama harus bisa menjawab berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat, seperti kemiskinan. Kemiskinan, adalah persoalan wajib yang harus diselesaikan semua kalangan termasuk di dalam agama. Pasalnya, agama adalah sistem masyarakat yang melekat dan selalu hidup di tengah perkembangan zaman. Ketika agama tidak lagi menyentuh persoalan-persoalan ini, maka, ia akan banyak ditinggalkan oleh umat. Pada akhirnya, ketika komitmen sosial agama telah menjadi spirit dan ruh dalam masyarakat, kemiskinan akan hilang dari bumi Nusantara.
Benni Setiawan, Peneliti dan Pemerhati Masalah Sosial
Rabu, 01 Desember 2010
Menyoal Mental Feodal
Harian Joglosemar, Senin, 08/11/2010
Benni Setiawan
Penulis buku,
tinggal di Sukoharjo
Memperoleh gelar kesarjanaan bagi seseorang merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Dengan gelar ini mereka dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Dengan gelar ini pula, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dapat naik pangkat dan jabatan. Tanpa harus menunggu empat tahun, ia dapat menduduki pangkat dan jabatan penting di pemerintahan. Dengan kenaikan pangkat dan jabatan maka pundi-pundi uang pun akan bertambah. Mereka dapat hidup sejahtera dengan gaji yang hampir setiap tahun naik.
Kecukupan sandang, pangan, dan papan ini akan mengantarkan seseorang dalam posisi yang mulia di tengah masyarakat. Masyarakat (terutama ekonomi lemah) akan hormat dan patuh terhadap mereka. Seorang dengan gelar berjejer akan dengan mudah menduduki strata sosial yang tinggi di masyarakat, apalagi dia adalah seorang PNS (abdi negara).
Karena dorongan inilah sering kali seseorang menghalalkan segala cara guna mendapatkan sebuah gelar kesarjanaan. Cara-cara pintas pun dilakukan. Seperti membeli kepada pembuat jasa ijazah palsu yang semakin menyemut di tengah riuhnya kota. Dengan uang Rp 25 juta hingga Rp 50 juta, seseorang sudah dapat menyandingkan gelar di belakang nama mereka, tanpa harus kuliah.
Uang sebanyak itu tidak menjadi masalah besar bagi seseorang yang gila gelar dan kedudukan. Gelar bagi mereka merupakan kunci utama dalam mempertahankan hidup dan gengsi di tengah perubahan zaman yang semakin cepat.
Paradigma ini tak ubahnya saat masa kolonialisme dulu. Seseorang yang mempunyai gelar kebangsawanan akan dengan mudah mengakses ruang publik. Dengan gelar ini mereka dapat sekolah, menjadi abdi dalem, dan bergaul dengan masyarakat non-pribumi.
Tampaknya paradigma ini masih melekat kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Bahkan dalam sistem ketenagakerjaan. Ia lebih bernafsu menjadi pegawai negeri sipil (PNS) daripada entrepreneurship (pengusaha). Menjadi PNS dalam pandangan masyarakat lebih mulia daripada yang lain. Karena mereka menduduki strata sosial non-pribumi. Maka tidak aneh jika di masa pendaftaran CPNS sebagaimana bulan ini, banyak generasi muda (fresh graduate) berlomba menjadi abdi negara.
Padahal dalam masyarakat kolonial (baca: feodal), PNS merupakan sebuah pekerjaan yang melayani hajat hidup penjajah. Mereka diangkat oleh penjajah untuk melanggengkan misi menguras sumber daya alam dan manusia bumi Nusantara. Seorang PNS tidak dapat mengatakan tidak kepada majikannya (penjajah, sekarang pemerintah), hatta itu pilihan politik. Mereka akan manut, tunduk takluk terhadap kemauan sang penguasa.
Harus Diakhiri
Mentalitas ini sudah saatnya diakhiri. Kita sudah merdeka 65 tahun. Ironis memang! Di tengah zaman global seperti ini masih ada orang yang berpikiran dan bermental feodal.
Kemudian apa yang dapat dilakukan guna mengakhiri periodeisasi feodalis ini? Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, kesadaran perguruan tinggi (PT) untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satu aturan wajib bagi sebuah PT adalah mengajukan akreditasi program studi (prodi) atau jurusan kepada direktorat perguruan tinggi (Dikti) setiap empat tahun sekali. Hanya (prodi) yang memenuhi kualifikasi saja yang boleh menyelenggarakan pendidikan. Dengan ini pula perkembangan prodi dapat terpantau dan meminimalisir terjadi pelanggaran seperti pembuatan ijazah palsu.
Namun, program akreditasi ini bukan ajang untuk membantai Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sebagaimana terjadi baru-baru ini. Akreditasi merupakan wahana koreksi antara institusi pendidikan tinggi dengan pemerintah. Ketika banyak PTS bangkrut karena ketidakmampuan membiayai operasional disebabkan sedikitnya jumlah mahasiswa, maka kewajiban pemerintah untuk membantu. Inilah kewajiban pemerintah sebagai pengayom masyarakat. Pendek kata, akreditasi merupakan hubungan simbiosis mutualisme antara penyelenggaraan PT dengan pemerintah.
Kedua, kepedulian media massa. Artinya, banyak penyelenggara pendidikan palsu sengaja mengiklankan produknya di media massa. Iklan yang tidak mendidik ini perlu ditolak. Hal ini karena media massa sebagai salah satu pilar demokrasi tentunya tidak mau disebut “calo” atau “broker” ijazah palsu karena menerima “iklan bodong”. Pemikiran pragmatis mendapatkan pemasukan besar dari iklan tentunya tidak boleh mengabaikan etika dan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, memaksimalkan peran serta kopertis/kopertais (koordinator perguruan tinggi agama Islam) di setiap wilayah. Jaringan pemalsu ijazah dapat diputus jika peran kopertis/kopertais bekerja secara maksimal. Pekerjaan kopertis/kopertais bukan hanya tukang stempel kenaikan pangkat dosen. Kopertis/kopertais bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan yang memadai dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah koordinasinya.
Jika kopertis/kopertais mampu memaksimalkan perannya dalam membina sebuah PT, maka sulit bagi jaringan pemalsu ijazah beroperasi dengan leluasa. Lebih dari itu, kopertis/kopertais tidak menjadi “macan ompong” yang tidak mempunyai kuasa dan kewenangan menindak sebuah PT nakal.
Keempat, keberanian pemerintah pusat dan daerah untuk memberhentikan pegawainya secara tidak hormat. Pegawai dengan ijazah palsu selain merusak citra pemerintah juga hanya akan menjadi problem bagi terselenggaranya pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Pegawai dengan ijazah palsu hanya ingin mengeruk kekayaan negara demi kepentingan pribadi. Mereka pasti tidak akan mampu bekerja maksimal, karena dalam benak dan niatnya hanya ingin mendapatkan penghidupan yang layak tanpa harus bekerja keras.
Pada akhirnya, gelar kesarjanaan ternyata masih menjadi barang mahal di tengah era globalisasi. Globalisasi dan modernisasi ternyata belum mampu menggerus mental feodal masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam. (***)
Benni Setiawan
Penulis buku,
tinggal di Sukoharjo
Memperoleh gelar kesarjanaan bagi seseorang merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Dengan gelar ini mereka dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Dengan gelar ini pula, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dapat naik pangkat dan jabatan. Tanpa harus menunggu empat tahun, ia dapat menduduki pangkat dan jabatan penting di pemerintahan. Dengan kenaikan pangkat dan jabatan maka pundi-pundi uang pun akan bertambah. Mereka dapat hidup sejahtera dengan gaji yang hampir setiap tahun naik.
Kecukupan sandang, pangan, dan papan ini akan mengantarkan seseorang dalam posisi yang mulia di tengah masyarakat. Masyarakat (terutama ekonomi lemah) akan hormat dan patuh terhadap mereka. Seorang dengan gelar berjejer akan dengan mudah menduduki strata sosial yang tinggi di masyarakat, apalagi dia adalah seorang PNS (abdi negara).
Karena dorongan inilah sering kali seseorang menghalalkan segala cara guna mendapatkan sebuah gelar kesarjanaan. Cara-cara pintas pun dilakukan. Seperti membeli kepada pembuat jasa ijazah palsu yang semakin menyemut di tengah riuhnya kota. Dengan uang Rp 25 juta hingga Rp 50 juta, seseorang sudah dapat menyandingkan gelar di belakang nama mereka, tanpa harus kuliah.
Uang sebanyak itu tidak menjadi masalah besar bagi seseorang yang gila gelar dan kedudukan. Gelar bagi mereka merupakan kunci utama dalam mempertahankan hidup dan gengsi di tengah perubahan zaman yang semakin cepat.
Paradigma ini tak ubahnya saat masa kolonialisme dulu. Seseorang yang mempunyai gelar kebangsawanan akan dengan mudah mengakses ruang publik. Dengan gelar ini mereka dapat sekolah, menjadi abdi dalem, dan bergaul dengan masyarakat non-pribumi.
Tampaknya paradigma ini masih melekat kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Bahkan dalam sistem ketenagakerjaan. Ia lebih bernafsu menjadi pegawai negeri sipil (PNS) daripada entrepreneurship (pengusaha). Menjadi PNS dalam pandangan masyarakat lebih mulia daripada yang lain. Karena mereka menduduki strata sosial non-pribumi. Maka tidak aneh jika di masa pendaftaran CPNS sebagaimana bulan ini, banyak generasi muda (fresh graduate) berlomba menjadi abdi negara.
Padahal dalam masyarakat kolonial (baca: feodal), PNS merupakan sebuah pekerjaan yang melayani hajat hidup penjajah. Mereka diangkat oleh penjajah untuk melanggengkan misi menguras sumber daya alam dan manusia bumi Nusantara. Seorang PNS tidak dapat mengatakan tidak kepada majikannya (penjajah, sekarang pemerintah), hatta itu pilihan politik. Mereka akan manut, tunduk takluk terhadap kemauan sang penguasa.
Harus Diakhiri
Mentalitas ini sudah saatnya diakhiri. Kita sudah merdeka 65 tahun. Ironis memang! Di tengah zaman global seperti ini masih ada orang yang berpikiran dan bermental feodal.
Kemudian apa yang dapat dilakukan guna mengakhiri periodeisasi feodalis ini? Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, kesadaran perguruan tinggi (PT) untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satu aturan wajib bagi sebuah PT adalah mengajukan akreditasi program studi (prodi) atau jurusan kepada direktorat perguruan tinggi (Dikti) setiap empat tahun sekali. Hanya (prodi) yang memenuhi kualifikasi saja yang boleh menyelenggarakan pendidikan. Dengan ini pula perkembangan prodi dapat terpantau dan meminimalisir terjadi pelanggaran seperti pembuatan ijazah palsu.
Namun, program akreditasi ini bukan ajang untuk membantai Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sebagaimana terjadi baru-baru ini. Akreditasi merupakan wahana koreksi antara institusi pendidikan tinggi dengan pemerintah. Ketika banyak PTS bangkrut karena ketidakmampuan membiayai operasional disebabkan sedikitnya jumlah mahasiswa, maka kewajiban pemerintah untuk membantu. Inilah kewajiban pemerintah sebagai pengayom masyarakat. Pendek kata, akreditasi merupakan hubungan simbiosis mutualisme antara penyelenggaraan PT dengan pemerintah.
Kedua, kepedulian media massa. Artinya, banyak penyelenggara pendidikan palsu sengaja mengiklankan produknya di media massa. Iklan yang tidak mendidik ini perlu ditolak. Hal ini karena media massa sebagai salah satu pilar demokrasi tentunya tidak mau disebut “calo” atau “broker” ijazah palsu karena menerima “iklan bodong”. Pemikiran pragmatis mendapatkan pemasukan besar dari iklan tentunya tidak boleh mengabaikan etika dan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, memaksimalkan peran serta kopertis/kopertais (koordinator perguruan tinggi agama Islam) di setiap wilayah. Jaringan pemalsu ijazah dapat diputus jika peran kopertis/kopertais bekerja secara maksimal. Pekerjaan kopertis/kopertais bukan hanya tukang stempel kenaikan pangkat dosen. Kopertis/kopertais bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan yang memadai dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah koordinasinya.
Jika kopertis/kopertais mampu memaksimalkan perannya dalam membina sebuah PT, maka sulit bagi jaringan pemalsu ijazah beroperasi dengan leluasa. Lebih dari itu, kopertis/kopertais tidak menjadi “macan ompong” yang tidak mempunyai kuasa dan kewenangan menindak sebuah PT nakal.
Keempat, keberanian pemerintah pusat dan daerah untuk memberhentikan pegawainya secara tidak hormat. Pegawai dengan ijazah palsu selain merusak citra pemerintah juga hanya akan menjadi problem bagi terselenggaranya pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Pegawai dengan ijazah palsu hanya ingin mengeruk kekayaan negara demi kepentingan pribadi. Mereka pasti tidak akan mampu bekerja maksimal, karena dalam benak dan niatnya hanya ingin mendapatkan penghidupan yang layak tanpa harus bekerja keras.
Pada akhirnya, gelar kesarjanaan ternyata masih menjadi barang mahal di tengah era globalisasi. Globalisasi dan modernisasi ternyata belum mampu menggerus mental feodal masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam. (***)